MEDIA KONSOLIDASI;
Sejarah Maulid yang
Terlupakan
Tradisi yang
Mendunia
Maulid
Nabi merupakan sebuah tradisi yang telah melekat erat dalam hati banyak umat
Islam di Indonesia. Tradisi ini, meski dirayakan secara rutin tiap tahun, tidak
sedikit pula masyarakat yang merayakannya setiap pekan. Di Jakarta misalnya, di
Jakarta, peringatan maulid dilakukan berkali-kali dalam setahun, tanpa harus
menunggu 12 Rabiul Awal.
Tampaknya,
maulid dalam hal ini pun mengalami pergeseran makna, dari yang semula berarti
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, berubah menjadi tradisi berkumpul
membaca rawi dan bersalawat atas Nabi Muhammad. Tradisi ini pun oleh pemerintah
Indonesia ditetapkan sebagai hari nasional sehingga tak heran jika pada
berbagai kalender, ketika bertepatan dengan 12 Rabiul Awal yang diyakini
sebagai hari kelahiran Nabi, diberikan warna merah sebagai tanda hari libur
nasional. Bahkan di Istana Negara pun diadakan peringatan maulid Nabi dengan
mengundang berbagai tokoh dan ulama dari berbagai daerah dan negara. Tradisi
peringatan maulid di Istana seperti ini juga banyak dilakukan oleh Negara lain
seperti, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Libya.
Di
berbagai Negara berpenduduk mayoritas muslim, peringatan maulid Nabi juga menjadi
tradisi penting. Di Turki, perayaan mauldi dilakukan dengan menghias
masjid-masjid dengan beraneka lampu yang indah. Di Mesir, para penguasa Mamluk,
perayaan besar-besaran untuk memperingati Maulid dan diselenggarakan di
pelataran benteng Kairo. Mereka mendengarkan pidato tentang sejarah Nabi. Di
Irak Utara peringatan Maulid Nabi dipersiapkan sejak awal bulan Muharram;
pondok-pondok didirikan bagi tamu-tamu yang datang dari luar kota. Singkat
cerita, tradisi maulid ternyata tidak hanya berupa Grebeg Mulud, Sekaten
yang merupakan budaya lokal, melainkan sudah go internasional, menjadi
budaya di banyak Negara.
Dasar Hukum Tradisi
Maulid
Tradisi
peringatan maulid dengan berbagai rangkaian kegiatannya memang hal yang baru dalam
tradisi umat Islam. Diperkirakan tradisi maulid saat ini (1434 H/2012 M) telah
mencapai usianya yang ke-900 tahunan. Ini karena Maulid dalam catatan sejarah,
baru muncul di abad ke-6 H. Dengan demikian, tentu tradisi peringatan maulid
seperti itu tidak ada pada masa Nabi dan sahabat. Imam al-Sakhawi sebagaimana
dikutip oleh Imam al-Dimyathi dalam I'ânat al-Thâlibîn manyatakan bahwa
tak seorangpun dari kalangan salaf (ulama klasik) yang memperingati maulid
Nabi, kecuali setelah abad ketiga hijriyah. Umat Islam merayakan malam-malam
maulid dengan banyak sedekah dan membaca sirah nabawiyah.
Tradisi
baru yang bernama maulid Nabi tersebut merupakan ungakapan rasa syukur yang
mendalam atas kelahiran sang manusia pilihan, Nabi Muhammad saw. Ungkapan rasa
syukur tersebut diperingati dengan mempelajari perjalanan hidup beliau (al-sîrah
al-Nabawiyyah), agar dapat diteladani dan dijadikan pelajaran sehingga
bertambahlah rasa syukur atas segala nikmat dan sabar atas segala cobaan.
Tradisi dengan tujuan seperti itu memiliki dasar berupa ayat,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآَيَاتِنَا
أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ
اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (5)
"Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa
ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): 'Keluarkanlah kaummu dari
gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada
hari-hari Allah.' Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur."
(Qs. Ibrahim: 5)
Allah
swt mengabadikan metode dakwah Nabi Musa yang salah satunya adalah mengingatkan
umatnya kepada hari-hari Allah. Yang dimaksud dengan hari-hari Allah adalah
berbagai peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum terdahulu. Baik itu
peristiwa baik yang tidak lain adalah nikmat maupun peristiwa buruk dan siksa
yang dialami mereka. Peritiwa baik dan buruk tersebut tidak untuk sekedar
diperingati atau dirayakan, melainkan dijadikan pelajaran. Jika peristiwa itu buruk,
dapat dijadikan pelajaran untuk bersabar (shabbâr), dan jika peristiwa
itu baik dapat dijadikan pelajaran untuk bersyukur (syakûr).
Dalam
ayat lain, Allah berfirman
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Kaurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan". (Q.S. Yunus: 58)
Ayat
kedua ini juga memberikan peringatan bagi kita agar tidak berbangga dengan
tradisi Maulid itu. Misalnya, dengan mengadakan perayaan maulid itu, berarti
kita telah mampu melakukan ibadah. Kita tidak diperkenankan membanggakan amal
perbuatan yang telah kita lakukan meski perbuatan tersebut adalah baik, namun
yang patut kita banggakan adalah karunia dan rahmat Allah swt. Tanpa itu, kita
tidak dapat berbuat kebaikan apapun. Maka, dalam tradisi perayaan maulid, bukan
seberapa banyak, meriah dan rutin kita merayakan maulid Nabi, melainkan gembira
dan bahagia karena dikaruniai ketaatan pada ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. Maka ungkapan kegembiraan itu pun harus dibuktikan dengan upaya menambah
keimanan dan ketaatan pada ajaran agama.
Rasulullah saw sendiri mencontohkan cara mensyukuri hari
kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis disebutkan,
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ
الأَنْصَارِيّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ
وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari, bahwa Rasulullah saw perah
ditanya perihal puasa pada hari Senin. Kemudian beliau menjawab, "Pada
hari itu, aku dilahirkan dan pada hari itu juga wahyu (al-Qur'an) diturunkan
kepadaku. (H.R. Muslim)
Maulid Nabi,
Riwayatmu Dulu
Peringatan maulid Nabi saw,
yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, masih menyisakan banyak pertanyaan. Penentuan
tanggal 12 rabiul Awal sebagai hari ulang tahun kelahiran Nabi adalah hal yang masih
samar. Kesamaran sejarah tersebut berangkat dari sejarah kalender
dalam Islam. Keinginan untuk mengingat hari kelahiran Muhammad sendiri baru
muncul pada masa khalifah Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun 638-an Masehi
(22-32 H). Ketika itu, khalifah Umar ingin menjadikan penanggalan Hijriyah
sebagai sebagai sistem penanggalan resmi pemerintahan Islam pada masanya. Namun,
berbagai pendapat pun muncul untuk menetapkan dasar awal dimulainya kalender
resmi itu. Para sahabat menemukan kesulitan ketika muncul gagasan untuk
menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai patokan awal sistem penanggalan
Hijriyah. Sebab tidak satupun di antara mereka yang tahu persis kapan dan
tanggal berapa Nabi dilahirkan.
Di samping
itu, tradisi orang Arab saat itu juga tidak terbiasa mencatat sejarah mereka
dengan tulisan kerena kebiasaan menulis merupakan satu hal yang baru pada zaman
itu. Mereka juga tidak terbiasa dengan
hisab tahun, meski beberapa nama-nama bulan dalam kalender hijriyah saat
itu telah dikenal. Mereka biasa mengingat sejarah dengan peristiwa-peristiwa
besar, seperti penyerangan Ka'bah oleh tentara bergajah yang dipipin oleh
Abrahah yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa peristiwa tersebut diperkirakan bertepatan dengan tanggal 12
Rabiul Awal Tahun Gajah atau 20 April 571 Masehi.
Mengenai asal-usul peringatan maulid ini, seorang
pengkaji Islam dari Universitas Leiden Belanda, Noco Kptein telah memaparkan dalam
disertasinya tentang Maulid Nabi saw. Dalam disertasi tersebut dipaparkan bahwa
peringatan maulid ini pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Fatimiyyah di
Mesir, tepatnya pada masa pemerintahan al-Mu'izz li Dinillah yang
berkuasa pada pertengahan bad X Masehi (953-975 M), atau empat abad setelah
Nabi saw wafat. Terkait kitab yang menjadi rujukannya adalah Târîkh
al-Ikhtilâf bi al-Maulid al-Nabawiy karya al-Imam al-Sandubi.
Al-Mu'izz li Dinillah adalah seorang penguasa yang
beraliran Syiah. Ia cenderung menjadikan Maulid sebagai alat untuk mencapai
kepentingan legitimasi politik. Mereka ingin menguatkan diri dengan memiliki
kaitan silsilah dengan Nabi Muhammad saw.
Di kalangan Sunni, berdasrkan catatan pakar sejarah, peringatan maulid pertama kali digelar
oleh penguasa Suriah, Sultan Attabiq Nuruddin (w. 575 H).
Pada masa itu,
Maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan syair-syair
yang berisi pemujaan terhadap raja (ode) dan sangat kental nuansa politiknya.
Peringatan Maulid pernah dilarang pada masa pemerintahan al-Afdhal Amirul
Juyusy, karena dianggap sebagai bid'ah yang terlarang.
Kemudian pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi, tradisi
ini dihidupkan kembali. Bagi sebagian kalangan, Sultan Salahuddin al-Ayyubi
adalah orang pertama yang mengadakan perayaan maulid nabi. Hal ini bisa benar
jika yang dimaksud adalah yang pertama menghidupkan kembali tradisi yang telah
mati dan sama sekali bukan untuk kepentingan politik. Selain itu, peringatan
maulid ini juga dilakukan untuk membakar semangat juang umat Islam yang sedang
terlibat dalam perang Salib melawan bangsa-bangsa Eropa (Perancis, Jerman, dan
Inggris.) Pada waktu itu, Yerussalem dan Masjid al-Aqsha dikuasai oleh musuh,
tetapi umat Islam banyak yang kehilangan semangat juang. Pasukan Islam terpecah
menjadi kelompok-kelompok politik kecil, sementara kekhalifahan hanyalah
dianggap sebagai jabatan simbolik saja.
Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang melihat kedaan tersebut
menilai bahwa peringatan maulid Nabi saw akan mampu membangkitkan kembali
semangat juang umat Islam. Hal ini karena dalam peringatan tersebut diungkapkan
betapa gigihnya perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat dalam menghadapi berbagai
serangan kaum kafir.
Pada musim haji tahun 579 H (1183 M), Sultan Salahuddin
menginstruksikan kepada seluruh jamaah haji agar sepulang dari menunaikan
ibadah haji, mereka memperingati Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabiul Awal
melalui berbagai macam kegiatan yang mampu membangkitkan semangat jihad pasukan
Islam. Pada peringatan maulid tahun itu, Sultan Salahuddin mengadakan sayembara
penulisan riwayat Nabi saw dengan menggunakan bahasa yang paling indah. Para
ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti sayembara tersebut. Akhirnya
Syeikh Ja'far al-Barzanji lah yang berhasil memenangkan sayembara tersebut
dengan karyanya yang berjudul 'Iqd al-Jawâhir (kalung permata). Kemudian
karya tersebut lebih dikenal dengan kitab al-Barznji. Kitab inilah yang
populer dipakai ketika peringatan maulid Nabi saw, termasuk di Indonesia.
Pada akhirnya, perjuangan Sultan Salahuddin menunjukkan hasil positif,
semangat umat Islam pun kembali bangkit. Sultan berhasil menghimpun berbagai
kekuatan yang sebelumnya sempat lumpuh. Karenanya, pada 1187 M, atau empat
tahun pasca-peringatan ini, Yerussalem dapat direbut kembali dan masjid
al-Aqsha pun dapat dibebaskan dari cengkeraman musuh. Sultan Salahuddin
membantah klaim yang menyatakan bahwa peringatan maulid adalah bid'ah yang
terlarang, karena peringatan ini adalah untuk syi'ar, bukan untuk ritual.
Al-Imam al-Suyuti dalam al-Hawi li al-Fatawa, menyebutkan
bahwa gagasan menghidupkan kembali perngatan maulid ini bukan semata-mata dari
gagasan Sultan Salahuddin, melainkan usulan dari saudara iparnya,
Muzhaffaruddin Gekburi, Attabeq (setingkat Bupati) di Irbil, Irak Utara.
Muzhaffaruddin memperingati maulid untuk mengimbangi maraknya perayaan Natal
yang dilakukan oleh kaum Nasrani di daerah kekuasaannya. Pada mulanya, ia
mengadakan perayaan ini hanya berskala lokal istana saja dan tidak rutin setiap
tahun. Namun kemudian, Sultan Salahuddin menjadikannya sebagai gerakan global
untuk membangkitkan semangat juang Muslimin dalam menghadapi tentara Salib.
Mencermati
kembali sejarah peringatan Maulid Nabi, menarik kiranya jika semangat Maulid
tidak hanya dijadikan sebagai budaya atau tradisi biasa, melainkan harus
kembalikan sebagai media syia'r dan menyatukan umat, membangkitkan semangat
juang umat Islam. Dengan demikian, maulid dapat menjadi media konsolidasi umat
Islam.
Maulid, Anjing Laut,
dan Hot Dog
Imam
Malik pernah ditanya tentang Babi yang menyerupai ikan beliau menjawab, haram.
Di lain kesempatan beliau ditanya tentang ikan yang menyerupai babi, beliau
menjawab halal. Padahal binatang yang dimaksud oleh si penanya adalah sama.
Maka, dalam hal ini jawaban tergantung pada soalnya. Jika yang ditanyakan
adalah spesies babi, apapun bentuknya adalah haram. Namun jika yang ditanyakan
adalah ikan, apapun bentuknya adalah halal.
Kiasan
yang sama juga seringkali ditegaskan oleh guru kami, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA. Untuk memahami kontroversi seputar tradisi maulid, dapat digunakan
logika kuliner. "Hot Dog" yang berarti "Anjing Panas"
adalah makanan yang terbuat dari roti lonjong, diiris melintang, lalu diisi
dengan sosis bakar dan sayuran, juga saus dan dressing. Jika merujuk pada arti
nama makanan tesebut saja, pastilah dinyatakan haram karena sesuai dengan
namanya, pasti berbahan anjing. Namun, tentu kita tidak dapat menghukumi
sesuatu dari perspektif namanya saja. Status halal-haram suatu makanan bukan
bergantung pada namanya, melainkan pada bahan dan proses pengolahannya. Hot dog
yang berbahan daging sapi, tentu halal dimakan.
Dua
analogi di atas menarik untuk dijadikan kiasan dalam menyikapi kontroversi
seputar maulid Nabi. Keduanya menunjukkan bahwa untuk menghukumi sesuatu, tidak
bisa hanya didasarkan pada nama, melainkan substansi. Meski bernama
"Anjing Panas," namun jika berbahan sapi, maka tetap halal hukumnya.
Imam Malik hanya ditanya seputar hukum binatang yang saat itu tidak sedang
beliau saksikan. Karena si penanya menyebutkan spesies anjing yang menyerupai
ikan, maka hakikat binatang tersebut adalah anjing, dan haram dimakan. Namun
karena pada pertanyaan kedua, si penanya menyebutkan spesies ikan yang bentuknya
menyerupai anjing, maka hakikat binatang itu adalah ikan, bukan anjing. Maka,
nama tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum karena nama seringkali
mengecoh.
Sebagaimana
logika "anjing laut" dan "hot dog," menyikapi tradisi
perayaan maulid pun demikian. Rangkaian kegiatan membaca kalimat-kalimat
tayyibah, rawi, shalawat, dan sebagainya dalam sebuah perkumpulan yang kemudian
dinamai dengan Maulid Nabi, memang tidak pernah ada karena tak satu pun riwayat
hadis menyebutkannya. Namun, bacaan-bacaan dzikir seperti ayat-ayat al-Quran,
tahlil, tahmid, istighfar, dan shalawat Nabi adalah hal yang sangat dianjurkan
dalam Islam. Terdapat banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw yang menganjurkan
bacaan-bacaan tersebut. Maka hakikat tradisi tersebut adalah hal yang
dibolehkan.
Maulid
hanyalah sebuah nama tradisi yang dipilih untuk menyebut rangkaian kegiatan
baik sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad. Kegiatannya pun
bermacam-macam. Maka, seandainya tradisi itu disebut sesuai dengan kegiatannya,
tentu menjadi sangat tidak praktis dan sulit untuk disebutkan. Berat rasanya
jika harus menyebut tradisi itu dengan nama yang terlalu panjang seperti,
"Membaca al-Quran, Tahlil, Tasbih, Tahmid, Istighfar, Shalawat, dan
Doa."
Akhirnya,
Jika makanan halal yang dinamai dengan nama binatang haram saja tetap halal
hukumnya, maka apalagi perbuatan sunnah yang dinamai dengan nama yang tidak
haram. Dengan demikian, selama rangkaian acara itu berisi dzikir dan
perbuatan-perbuatan baik lainnya, seperti silaturahim, bersedekah, dan
sejenisnya, maka hal itu tetap dianjurkan. Sebaliknya, meskipun tradisi itu
dinamai dengan nama yang baik, namun jika diisi dengan kegiatan yang buruk,
maka hukumnya haram. Seandainya ada sebuah lembaga yang bernama Darul Mukhlashin,
namun diisi dengan perjudian, maka tetap saja lembaga itu tidak dibenarkan
meski memiliki nama yang sangat bagus. Hal ini karena haikat kegiatan yang ada
di dalamnya adalah maksiat.
Akhir
kata, Allah swt berfirman,
"Sungguh,
Allah dan para malaikatNya bershalawat (memberikan penghormatan) kepada Nabi
Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah (hormati, muliakan,
dan mintakanlah keselamatan) untuknya dengan sunguh-sungguh."
(Qs. Al-Ahzab: 56)
Wallahu
a'lam.
*) dimuat di Biksah: Jurnal Dakwah Papua dan dimuat ulang di Majalah Nabawi edisi Maulid, Rabiul Awal 1435 H
0 komentar:
Post a Comment