Jakarta kini sedang dihebohkan oleh munculnya aliran-aliran TEOLOGI
Baru. Jika Beberapa saat yang lalu, Indonesia dihebohkan oleh isu-isu teologis
klasik menyangkut dua mainsstream besar Sunni dan Syiah, kini isu itu tampak
semakin redam seiring dengan munculnya kabar heboh seputar TEOLOGI Film yang
menyulut emosi umat Islam. Tidak lama setelah itu, berbagai media menyimpan
kembali kabar teologi terhot itu dan beralih mengusung kabar seputar TEOLOGI
DKI.
Isu tentang TEOLOGI DKI ini sebenarnya telah muncul sejak beberapa bulan
yang lalu dan heboh di berbagai daerah, termasuk di luar DKI sendiri. Berbagai
kelompok dan lapisan masyarakat turut berkomentar. Ulama, umara, selebiti,
mahasiswa, pedagang asongan, dan lainnya tampak asyik memperbincangkan aliran
teologi baru di DKI. Masjid, sekolah, kampus, majelis taklim, studio TV dan
Radio, jalanan, kantor, warung, dan toilet pun bertambah fungsi, yaitu sebagai
forum diskusi teologi DKI.
Setidaknya ada dua aliran TEOLOGI besar yang kini sedang bergema di DKI,
Teologi Kumis (Teologiku) dan Teologi Kotak (Teologiko). Disebut aliran teologi
karena kelompok tersebut mengusung agama dan Tuhan sebagai basis konsolidasi.
Pada dasarnya keduanya sama sekali bukanlah aliran teologi atau bahkan ormas
sekalipun, melainkan murni sebagai aliran atau lebih tepatnya organisasi
politik. Hal ini tentu berbeda dengan aliran-aliran teologi seperti Sunnah dan
Syiah, Muktazilah dan Asy'ariyah, Salafi dan Wahabi, atau sejenisnya. Keduanya
juga bukan ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan sejenisnya.
Teologi Kumis tentu berbeda dengan Teologi Jenggot yang juga makin
semarak di DKI. Jika para teolog Kumis dengan mengusung ayat dan hadis-hadis
Nabi mengharamkan pemimpin non muslim, maka para teolog jenggot melarang keras
cukur jenggot, isbal, dan lainnya.
Sebagaimana Teologi Kumis, Teologi Kotak juga bukan aliran keagamaan
atau teologis. Ia adalah aliran politik
yang secara tidak disadari bermetamorfosis menjadi teologis. Pasalnya para
penganut aliran ini juga terpancing oleh isu-isu teologis yang disebarkan oleh para
teolog kumis. Para teolog Kotak membalas serangan teolog kumis dengan tuduhan
jual agama dan ayat untuk kepentingan politik.
Label-label keagamaan digunakan untuk menjastifikasi para penganut teologi
tersebut, misalnya yang tidak memilih si A tergolong durhaka pada Tuhan, dan
yang memilih si A berarti taat pada Tuhan.
Belum lagi muncul sebaran isu yang menjadikan nomor urut sebagai jargon
politik beraroma teologi. Nomor urut satu misalnya dijadikan sebagai jargon
mulut ke mulut, "satu agama (seagama) satu iman (seiman), dan Jakarta
bersatu, tidak berkotak-kotak karena kotak-kotak berarti tidak bersatu alias
bibit perpecahan." Para teolog kotak juga melepaskan manuver-manuver untuk
menghadapi pesaingnya itu. Mereka menggunakan simbol kotak sebagai keragaman yang
indah. Paduan warna kotak merah dan hitam yang diikat dengan garis-garis putih cukup
efektif dan efisien untuk menggantikan jargon-jargon heroik dan smart yang terpampang
jelas pada spanduk-spanduk di berbagai sudut kota Jakarta.
Yah, begitulah ketika guyonan yang serius pada pesta Pilkada DKI yang
berubah menjadi sebuah gerakan teopolitik. Teologi dijadikan sebagai
konsolidasi politik dan simbol-simbol politik pun berubah menjadi landmark.