Sepanjang
jalan alamnya indah
Banyak
binatang berlalu lalang
Ada masjid
tanpa jamaah
Imam pun
cuti sungguh disayang
Begitulah
salah satu memori dakwah di Fakfak yang pernah kami sajikan pada Biksah, edisi
ke-3 yang lalu. Memori itu kemudian mengingatkan kami pada sindiran Tuhan
terhadap suku Quraisy di Makkah sebagaimana yang terekam dalam Qs. al-Quraisy.
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ
رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي
أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)
“Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim
panas. Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang
telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari ketakutan.” (Qs.
Al-Quraisy:1-4)
Yang
terbesit dalam benak kami, bahwa suku Quraisy memiliki keistimewaan berupa
jaminan keamanan dan kesejahteraan hidup langsung dari Allah karena kebiasaan, keramahan,
kelembutan, dan kesabaran (yang dalam ayat pertamanya, disebut îlâf)
mereka. Orng-orang Quraisy sabar dan ramah terhadap alam yang cukup “ganas”
pada mereka, alam yang gersang, tandus, panas, penuh bebatuan, sering banjir,
dan banyak penyamun. Namun, kondisi alam seperti itu tetap tak mengubah sikap
dan watak mereka yang ramah itu. Bahkan karena keramahan itu pulalah, Allah
menganugerahkan kemenangan suku Quraisy dalam mempertahankan Ka’bah dari
serangan tentara bergajah Abrahah, sebagaimana yang terekam dalam surah
sebelumnya, Qs. Al-Fîl. Mereka menang tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser
pun, tanpa tenaga sedikit pun, dan tanpa siasat apapun. Semuanya telah
dibereskan sendiri oleh Allah melalui tentara burung Ababil.
Karena
keramahan (îlâfihim) itu pula, orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan
terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke Yaman pada
musim dingin. Dalam perjalanan itu, mereka mendapat jaminan keamanan dari
penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Karena itulah, suku
Quraisy menjadi suku unggulan dan terkuat di Makkah saat itu, sampai-sampai
Nabi saw menegaskan bahwa idealnya, pemimpin itu dari suku Qiraisy.
عَنْ أَنَسٍ بْنِ
مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلأَئِمَّةُ
مِنْ قُرَيْشٍ وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقٌّ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ ثَلاَثاً إِذَا
حَكَمُوْا عَدَلُوْا وَإِذَا اسْتُرْحِمُوْا رَحِمُوْا وَإِذَا عاَهَدُوْا وَفَّوْا
فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Dari
Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para pemimpin itu dari
Quraisy. Kallian memilik hak yang wajib dipenuhi oleh mereka. Mereka juga
memiliki hak yang wajib kalian penuhi—beliau mengucapkannya tiga kali—. Jika berhukum, mereka adil. Jika dikasih sayangi,
merekapun mengasihi. Jika berjanji, mereka menepati. Siapa di antara mereka
(para pemimpin) yang tidak melakukan itu, (akan diancam) laknat Allah, para malaikat, dan seluruh umat manusia.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasai, dan Abu
Ya’la)
Ini adalah
suatu nikmat yang Amat besar dari Allah. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka
menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka. Hanya itu
permintaan dari Allah swt.
Demikianlah,
bayangan pertama yang terlintas setiap kali memori dakwah itu muncul di benak
kami sampai saat ini. Memori itu tak lain adalah tentang keberadaan sebuah
masjid yang baru direnovasi dengan bantuan dari Pemerintah Daerah dan berada di
kampung berpenduduk mayoritas muslim. Betapa tidak, masjid yang seharusnya
setiap saat—minimal lima kali sehari—ramai oleh para jamaah, suara azan, bacaan
takbir dan al-Quran, namun yang satu ini justru hanya ramai dibicarakan orang.
Pasalnya, masjid sebagus itu tidak pernah dipakai untuk berjamaah, bahkan untuk
shalat jumat dan tarawih sekalipun. Masyarakat sudah mulai tak acuh terhadap
masalah shalat, apalagi berjamaah di masjid. Padahal, Papua tak ubahnya suku
Quraisy yang warganya diberikan kekuatan fisik di atas penduduk pulau lain. Kekayaan
alamnya pun melimpah, keamanannya sangat terjamin, dan kesejahteraannya pun
cukup. Hanya satu yang belum tepenuhi, yaitu seruan beribadah dengan benar.
Maka, dalam pikiran kami ayat ke-4 surat al-Quraisy itu sangat tepat untuk
dijadikan modal dasar berdakwah di sana.
Awalnya, pada
tanggal 20 Ramadhan, kami melakukan safari dakwah ke distrik Bomberay yang
jaraknya sekitar 200 km dari kota Fakfak. Kami berangkat dari kota, tepat
setelah dzuhur, dan direncanakan akan tiba di tempat tujuan pada pukul + 18.00
WIT (maghrib). Pada pukul 13.00 WIT, kami berangkat dari kota dan tak lama
(sekitar setengah jam) setelah itu, kami
masuk hutan dan tak lagi menjumpai rumah, manusia, dan kendaraan, kecuali hanya
satu atau dua kali saja. Bahkan, tak satu pun sinyal dan jaringan telepon
maupun radio yang mampu datang menghampiri kami. Setelah menyusuri hutan
belantara sepanjang + 150 km, tibalah kami di sebuah kampung kecil berpenduduk
sekitar 200 jiwa. Kami masuk kampung yang bernama Mitimber itu pada sekitar
pukul empat sore. Kami pun menawarkan untuk shalat ashar di masjid kampung ini
sambil beristirahat sejenak. Tapi, rombongan menolak karena mereka dapat
menjamin tiba di Bomberay jauh sebelum masuk waktu maghrib sehingga masih bisa
shalat ashar di sana. Di samping itu, alasan mereka adalah air di kampung itu
sangat sulit sehingga tidak dapat berwudhu. Kami pun menyetujui alasan mereka
karena mereka lebih berpengalaman.
Tak lama
kemudian, kami melintas di depan sebuah masjid baru yang menjadi satu-satunya sarana
ibadah warga kampung Mitimber itu. Kami kaget ketika melihat masjid itu tampak
tak terawat dan dikunci rapat. Beberapa
ekor anjing pun tampak berkeliaran di sekelilingnya tanpa ada yang khawatir
sedikitpun ia akan masuk di serambi masjid. Serta merta, kami pun mengklarifikasi
prasangka kami yang belum terungkap tentang masjid itu kepada orang-orang di
sekitar kami.
Masjid Mitimber
ini ternyata telah lama tidak dipakai meskipun baru direnovasi. Alasannya
sangat sepele. Warga sekitar menganggap bahwa shalat harus dipimpin oleh “bapak
imam” (imam yang telah ditetapkan oleh warga dan disahkan oleh pemerintah).
Jika imam sedang berhalangan, maka jamaah pun libur, dan lebih parahnya lagi,
shalatnya juga turut libur. Ketika ada seseorang yang singgah di situ dan
hendak melakukan shalat dzuhur, dia kaget ketika tak satu pun warga yang sekedar
menengok ke masjid. Dia sangaja menunggu lama dan akhirnya bertanya kepada
warga yang ada di sekitar masjid. “Kenapa kok tidak ada yang ke masjid, padahal
waktu dzuhur telah lama masuk?” tanyanya. Mereka pun menjawab halus dan sopan,
“Bapak shalat saja sendiri sudah… biarlah kami di sini saja!” Orang itu pun
semakin penasaran dan menanyakan banyak hal tentang shalat dan perilaku
keagamaan warga setempat.
Salah
seorang teman kami juga pernah melakukan kunjungan ke masjid ini untuk sekadar
melaksanakan tugasnya sebagai anggota Badan Koordinator (Bakor) Masjid Kabupaten
Fakfak. Ketika hendak membayarkan insentif imam masjid dari pemda, dia sempat
menunggu lama di masjid untuk kemudian melakukan shalat berjamaah. Lama setelah
dia kumandangkan adzan, datanglah seorang warga untuk shalat di masjid.
Sementara warga yang lain tetap santai di halaman rumah di sekitar masjid.
Mulanya, dia hendak mengajak shalat berjamaah seorang warga tersebut, tetapi
gagal karena ajakannya itu ditolak karena dia bukan “bapak imam”. Bapak imam saat
itu sedang pergi ke kota untuk sebuah hajat. “Bapak, mari kita berjamaah!” ajak
teman kami itu. “Oh, ya sudah, bapak shalat dulu sudah. Saya nanti juga shalat di
belakang,” jawabnya. Namun, sampai teman kami memulai shalat, ia justru menjauh
dan shalat sendirian di belakang. Setelah itu, mereka mengobrol, dan menurut
penuturannya bahwa warga setempat tidak mau shalat berjamaah jika yang memimpin
bukan “bapak imam”. Bahkan, jika yang memipin “bapak wakil imam” pun mereka
masih tetap enggan. Bapak wakil imam sendiri jika tidak diamanati untuk
menggantikan memimpin shalat berjamaah oleh bapak imam yang sedang berhalangan,
juga tidak akan berani memimpin shalat. Karena itu, jika bapak imam sedang
berhalangan, shalat berjamaah pun libur. Namun, anehnya lagi, orang yang
bertugas dan bergelar “bapak imam” itu pun jarang sekali ke masjid karena seandainya
dia ke masjid, tetap saja tidak ada jamaah yang berminat untuk shalat di
masjid. Bahkan selama bulan puasa, masjid itu tetap saja tak ada pengunjungnya,
baik untuk melakukan shalat wajib ataupun shalat tarawih.
Dalam
kesempatan lain, seorang teman juga pernah mengalami hal yang serupa di masjid
itu. Saat itu, dia hendak ke Bomberay dan satu-satunya jalan darat adalah
melewati kampung ini. Ketika masuk waktu maghrib, dia baru sampai di kampung
Mitimber tersebut, dan hendak melakukan shalat maghrib di sana. Namun, dia kaget
karena masjidnya masih gelap, tertutup, dan pastinya sepi jamaah. Ketika bertanya
ke warga yang ada di sekitar masjid, jawaban yang didapat adalah, “Bapak shalat
saja dulu… katong biar di sini saja sudah!”
Sedih
rasanya melihat dan mendengar cerita tentang masjid di Mitimber ini. Keinginan
menyelamatkan masjid itu sangat besar, tapi kami pun merasa pesimistis ketika
mendengar pengakuan warga yang seperti itu. Namun, di sisi lain kami juga takut
jika keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh orang-orang non-muslim untuk
mengadakan pemurtadan sebagaimana di beberapa daerah yang lain.
Meski
demikian, tak ada masalah tanpa solusi. Penting menjadi kunci jawabannya adalah
bahwa mereka sangat terbuka terhadap kehadiran para guru mengaji. Jika ada yang
hendak mengajari anak-anak mereka mengaji, mereka akan sambut itu dengan senang
hati dan mereka akan minta anak-anak mereka belajar mengaji al-Quran. Dari
sinilah penyelamatan masjid dan agama ini harus dimulai. Penyelamatan itu
tentunya harus bertahap. Dimulai dari pengajaran membaca al-Quran untuk
anak-anak. Lalu, setelah itu, mereka diajari tata cara wudhu, shalat, dan
bimbingan dasar keagamaan lainnya. Dan biasanya, setelah anak-anak mereka dapat
dibina, orang tuanya pun lambat laun akan ikut pula. Tentu hal ini, perlu
kesabaran yang ekstra. [AUH]