From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Showing posts with label Memoar Kelana. Show all posts
Showing posts with label Memoar Kelana. Show all posts

Wednesday, January 22, 2014

Tradisi Khatam Quran di Papua

BAPAK IMAM HARUS KHATAM QURAN

“Assalamu’alaikum. Sehat Pak Ustadz?” Begitu sambutan pertama yang kami terima ketika hendak mengisi tau’iayah (ceramah) menjelang tarawih di Masjid al-Rahman. “Alhamdulillah, sehat pak. Bapak sendiri, bagaimana kah?” sahut kami menanggapi sambutan hangat itu. Setelah beberapa kalimat sambutan dan perkenalan singkat, kami mendengar untuk yang ke sekian kalinya kalimat, “Saya bapak imam di sini, dan yang ini bapak wakil imam,” atau “Saya wakil imam di sini. Kalau yang itu, bapak imam.” Pertama kali mendengar kata itu, tidak ada kesan apapun di benak kami. Kata-kata bapak imam bagi kami adalah hal yang lumrah, tak ada yang istimewa. Tapi ternyata, tidak demikian di Fakfak. Setiap kali kami masuk masjid yang baru kami singgahi, kata-kata itu tak pernah absen dari telinga kami karena memang “bapak imam” adalah jabatan mulia dan dijunjung tinggi oleh warga Fakfak. Dia lah yang berhak memipin segala ritual keagamaan di sana, khususnya di masjid.
Jabatan imam di Fakfak bukanlah sembarang jabatan. Menjadi imam tidak serta merta dapat dilakukan oleh siapapun sebagaimana di daerah lain. Hanya beberapa masjid di kota yang kami ketahui tidak seekstrim masjid-masjid lain dalam hal penunjukan bapak imam ini.
Untuk menjadi bapak imam atau wakil imam yang resmi harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu diangkat oleh warga sekitar dan disahkan oleh pemerintah atau petuanan adat. Namun syarat utama bagi seorang calon bapak imam dan wakil  imam adalah harus sudah khatam al-Quran dan telah menikah. Jika syarat-syarat itu belum terpenuhi, jangan coba-coba memimpin shalat berjamaah di masjid, kecuali jika telah mendapat restu dari bapak imam yang ada di situ. Jika tidak, jamaah tidak akan ada yang ikut shalat bersama imam baru yang bukan “bapak imam” itu.
Sepintas, syarat menjadi imam tersebut biasa-biasa saja. Tapi, ada yang menarik dari persyaratan itu. Syarat harus khatam al-Quran, ternyata tidak sekadar telah khatam membaca al-Quran begitu saja. Bahkan seorang yang telah hafal 30 juz dan memiliki bacaan yang bagus sekalipun belum tentu memenuhi syarat khatam al-Quran ini. Betapa tidak, khatam al-Quran yang dimaksud adalah sebuah seremonial perayaan khusus untuk mendeklarasikan di hadapan khalayak bahwa si polan telah khatam membaca al-Quran. Seremonial itu dilakukan secara besar-besaran dengan mengundang seluruh warga dan petuanan adat dan biasanya dilangsungkan selama sehari semalam penuh atau lebih. Setelah dideklarasikan telah khatam al-Quran dan telah menikah, barulah ia bisa dicalonkan menjadi bapak imam yang sah.
Konon, pernah ada seorang ustadz yang ditugaskan untuk safari ramadhan di salah satu masjid kampung di Bomberay. Ustadz itu sudah dikenal baik oleh warga setempat. Dia pun mendapat kesempatan memimpin shalat isya dan tarawih serta mengisi ceramah agama. Namun, setelah itu ada yang berkomentar, “Pak ustadz belum khatam Quran toh!” warga setempat memang tahu berul riwayat pak Ustadz itu dari kecil hingga dewasa. Jelas, maksud dari ucapan itu adalah “Kok pak ustadz memimpin shalat, padahal belum mengadakan seremonial khatam Quran.”
Kami juga termasuk orang yang belum memenuhi syarat itu. Maka, kami pun belum layak menjadi imam shalat di sana, kecuali di eberapa masjid yang di kota dan di beberapa kampung yang bapak imamnya telah mulai terbuka cara berpikirnya.
Di masjid al-Rahman, kami sempat diminta menjadi imam shalat isya dan tarawih di masjid ini. Tapi, tidak untuk shalat witir. Tiga rakaat penutup itu harus dipimpin oleh bapak imam dan tidak dapat terwakilkan. Kami diminta mengimami shalat dengan alasan bapak imam ingin diimami oleh ustadz dari Istiqlal Jakarta. Perlu diketahui bahwa kami di sana dikenal sebagai utusan Istiqlal, bukan Darus-Sunnah. Berkali-kali kami menjelaskan bahwa kami bukan dari Istiqlal, warga tetap saja menyebut kami sebagai utusan Istiqlal. Ini karena beberapa saat sebelum kedatangan kami di sana, Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis yang dalam kapasitasnya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal sempat singgah dan memberikan ceramah yang meninggalkan kesan indah bagi mereka. Maka, setiap kali kami memperkenalkan diri dan mengaku sebagai murid Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, mereka langsung menyebut kami sebagai utusan Istiqlal. Barangkali, karena sebutan itu pulalah yang paling mudah diingat oleh mereka karena kebesaran nama Istiqlal.
Di masjid al-Anshar di Jalan Baru, pinggri laut, kami juga sempat beberapa kali diminta menjadi imam, baik shalat fardhu atau tarawih. Bahkan di masjid ini beberapa kali kami juga diminta mengisi khutbah Jumat. Hanya saja, para pengurus masjid ini, termasuk bapak Imam dan wakilnya bukan orang asli Papua. Masjid baru ini dipimpin oleh seorang pendatang dari Ambon dan Trenggalek Jawa Timur sehingga tradisinya pun berbeda.

Dengan demikian, selama di Fakfak, kami hanya beberapa kali saja menjadi imam shalat, khususnya imam shalat wajib. Meski demikian, mereka tetap terbuka jika ada yang datang untuk mengajari mereka tentang agama dan mengaji. [AUH]

ISLAM DI PAPUA (MEMORI DARI FAKFAK)



Pukul dua dini hari             
Akhir Agustus jelang puasa
Tekad bulat di dalam hati
Tuk Berdakwah di tanah Papua

Senin Pagi di Bandara
Torea Fakfak itu namanya
Ku tak bisa kontak siapa
Hape ku pencet tak kunjung nyala

Rasa syukur aku panjatkan
Pada Tuhan Sang Penyayang
Saat datang itu jemputan
Pace Jabar pakai kijang

Keliling kota masuk ke desa
Naik turun bukit Papua
Kota Fakfak memang berbeda
Tanah datar itu tak ada
Dua hari aku menginap
Rumah Bu Hamid di Wagom Tanjung
Selanjutnya kami menetap
Di Bugis-Jawa punya kampung

Masjid al-Ikhlas di Tambaruni
Dekat pasar itu tempatnya
Di sanalah kami mengabdi
Saat puasa dan hari raya

Kesan pertama sangat menggoda
Selanjutnya tetap menggoda
Hingga akhir bulan puasa
Masjid tetap ramai juga

Pagi dan sore warga di pasar
Buat usaha tuk cari uang
Masjid ramai dzuhur dan ashar
Saat azan tlah berkumandang

Di atas bukit di tepi pantai
Di tengah hutan jalanan sepi
Imam khutbah ajarkan ngaji
Maghrib isya subuh tak henti
Ucapkan salam tiap berjumpa
Sunnah Nabi banyak dipakai
Tradisi muslim Fakfak punya
Tapi tidak di Jawa ini

Semua lengkap di tanah Papua
Cuma satu yang tak ku jumpa
Pengamen juga peminta-minta
Di Ibu Kota itu adanya

Banyak da’i datang ke sana
Perkuat Islam, iman pun mantap
Satu dua bulan di sana
Warga ingin ada yang tetap

Tiap Ramadhan ada safari
Bupati pimpin keliling masjid
Salat tarawih bareng bupati
Khutbah ceramah makmurkan masjid

Ikut safari keliling kota
Lewati hutan ke pedalaman
Kampung Arguni jauh di sana
Pakai speedboat nyebrang lautan
Tengah Ramadhan pergi safari
Ratusan kilo hutan diterjang
Kampung transmigran itu Bomberai
Ada Bu Distrik yang asli Jombang

Sepanjang jalan alamnya indah
Banyak binatang berlalu lalang
Ada masjid tanpa jamaah
Imam pun cuti sungguh disayang

Satu tungku tiga batu
Itu prinsip Fakfak punya
Meski agama tak cuma satu
Bersaing rukun itu faktanya

Orang Baham, orang Matta
Beda bahasa juga agama
Kaya miskin pria wanita
Berkumpul ria buka bersama

Masjid dibangun, gereja berdiri
Antar agama tak ada dengki
Imam dikasi berangkat haji
Pastur juga wisata rohani
Gereja punya satu misi
Masjid punya banyak mimpi
Mereka ingin kristenisasi
Kita harus islamisasi

Ada jasa ada imbalan
Tak ada misi tanpa tujuan
Banyak gereja yang kasih makan
Iman pemuda mengkhawatirkan

Di Masjid Polres dan juga Kodim
Ceramah agama sebagai syiar
Sulit temukan majelis taklim
Yang ada hanya majelis pasar

Banyak orang yang salah sangka
Kalau Papua slalu tertinggal
Segala suatu telah sedia
Meski harga sangatlah mahal

Dua hari lebaran raya
Pukul sembilan pergi Jakarta
Satu bulan tinggal Papua
Logat Papua ikut terbawa
Maksud hati memeluk gunung
Apa daya gunung meletus
Maksud hati bisa berkunjung
Silaturahim jangalah putus

Obat andalan si Buah Merah
Itu asli Papua punya
Kalau Anda ingin berdakwah
Silakan tuju tanah Papua

Anda tunjukkan seorang saja
Apalah arti dunia isinya
Banyak orang menanti Anda
Menuju surga lewat Papua

Kalau Anda tolong agama
Allah pasti bantu Anda
Layani Islam serta umatnya
Semoga Allah membalas Anda


Keterangan:
Sajak-sajak pengalaman dakwah Ramadhan di Fakfak - Papua Barat, oleh Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah.

Saturday, June 22, 2013

KAMPUNGKU HIDUP KARENA AZAN



D
i antara agenda dakwah selama di Fakfak Papua-Barat beberapa bulan yang lalu adalah safari ke kampung-kampung. Sedianya, safari dakwah yang berpusat di kota itu, juga dijadualkan ke seluruh kampung pedalaman Fakfak. Namun karena keterbatasan waktu, agenda di beberapa kampung itu hanya sebagian saja yang dapat terlaksana.
Kampung pedalaman pertama yang kami tuju selama di Fakfak adalah Teluk Arguni. Namun, kali ini bukan Teluk Arguni yang ada di Kaimana. Teluk Arguni memang ada dua di Papua-Barat, satu di Kaimana, tanah kelahiran mantan Bupati Fakfak, dan satu lagi di Fakfak, salah satu tempat kami berdakwah. Keduanya sama-sama dikelilingi laut luas dan hanya bisa dilalui kendaraan laut.
Pulau kecil yang luasnya hanya beberapa kilometer persegi ini memang sangat terpencil. Ia bak sebuah kapal yang diam di tengah laut tak bergerak sama sekali karena memang laut yang mengangkutnya sangat ramah. Gelombang-gelombang ombak di sepanjang lautan menuju kampung ini pun tampak malu-malu dan tak sedikitpun bersuara, kecuali hanya seperti suara orang yang sedang berwudhu di kolam saja.
Di samping lokasinya yang berada persis di tengah samudera, kampung mungil ini juga dipenuhi hutan. Bahkan sepanjang perjalanan dari kota kabupaten menuju distrik Kokas yang membawahi kampung ini juga dipenuhi hutan belantara. Syukur, jalanan saat itu baru direhabilitasi sehingga perjalanan menuju distrik ini sangat lancar meski memakan waktu dua jam ditempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Praktis waktu yang selama itu tidak pakai macet sebagaimana di Ibukota Jakarta. Di sepanjang perjalanan itu hanya ada pepohonan dan sesekali tampak pejalan kaki juga binatang langka melintas. Rumah-rumah pun sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Meski demikian, hutan belantara sepanjang 170 km yang kami lalui ini sangat ramah alias aman dari tindak kejahatan, seperti perampokan dan pembegalan.
Setibanya di distik Kokas, kamipun langsung disambut oleh tokoh agama setempat. Tepat, di samping benteng pertahanan bawah tanah peninggalan Jepang pada saat Perang Dunia II, kami beristirahat sejenak sambil salat ashar. Beberapa saat kemudian, longboat yang hendak mengantar kami ke seberang pulau pun datang dan kami pun langsung melaut menuju kampung mungil nan terpencil itu.
Penyeberangan menuju Teluk Arguni dengan menggunakan longboat memakan waktu tak kurang dari setengah jam. Sepanjang pelayaran, kami hanya melihat bentangan air laut yang biru dan luas entah di mana ujungnya. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni yang hanya berisi batu cadas dan pepohonan besar nan hijau tak ubahnya seperti rambu-rambu lalu lintas di jalan darat. Tak kurang dari 100 pulau kecil tak berpenghuni itu menampakkan wajahnya yang hijau untuk menghormat dan mengantar perjalanan kami. Cahaya matahari yang sebelumnya tampak masih sangat terang pun benar-banar mengawal perjalanan laut itu.
Tepat bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, longboat yang membawa kami pun mendarat tepat di belakang sebuah rumah warga. Anak-anak yang sedang bermain-main sejenak menghentikan langkah kakinya menuju rumah masing-masing dan membalikkan muka ke arah kami. Rumah yang sebagiannya berlantai kayu dan mengapung di pinggir laut, tepat di samping longboat berparkir adalah sasaran kami. Beragam menu makanan dan jenis ikan laut pun telah disiapkan untuk kami sebagai menu buka puasa saat itu.
Di kampung yang berpenghuni hanya sekitar 120 kepala keluarga atau tiga RT saja ini tak ada satupun kendaraan darat. Baik itu sepeda pancal maupun motor, apalagi mobil. Namun bukan berarti warga setempat tidak memiliki motor atau mobil. Mereka yang memiliki kendaraan darat diparkir di distrik dan dititipkan pada kerabat yang ada di daratan seberang tempat kami pertama singgah itu. Sangat jauh memang, tapi begitulah adanya karena memang di kampung Arguni ini tidak diperlukan kendaraan darat. Betapa tidak, dari ujung hingga ke ujung kampung jaraknya tak lebih dari 500 m saja.
Teluk Arguni juga sama sekali tidak memiliki jaringan telpon apalagi internet. Selular yang masuk ke kampung ini sudah pasti tidak akan berfungsi meski dipasang antena yang sangat tinggi sekalipun. Syukur, melalui alat pemancar, siaran TV dan RRI Fakfak dapat mengudara di wilayah ini sehingga warga tidak ketinggalan berita. Hanya itulah akses informasi yang dapat diandalkan.

Kondisi yang demikian itu membuat daerah ini bak kampung mati yang tak berpenghuni sebagaimana gundukan bebatuan cadas, ditumbuhi hutan seperti yang kami jumpai di sepanjang penyeberangan tadi. Cahaya lampu yang tak begitu terang dan dan sesekali suara anak-anak berteriak ditambah gemericik ombak tak kuasa memecah keheningan kampung ini. Beruntung, masih ada yang membuat suasana kampung ini jadi hidup, yaitu kumandang adzan dan lantunan salawat nabi di tengah masjid yang belum juga sempurna direnovasi. Azan dan Salawat nabi benar-benar menjadi ruh tersendiri yang mampu menghidupkan kembali “kampung mati” itu. Raja (kepala suku) dan warga pun segera berbondong-bondong meramaikan masjid. [AUH]

Friday, May 4, 2012

Masjid Tanpa Imam



Sepanjang jalan alamnya indah
Banyak binatang berlalu lalang
Ada masjid tanpa jamaah
Imam pun cuti sungguh disayang

Begitulah salah satu memori dakwah di Fakfak yang pernah kami sajikan pada Biksah, edisi ke-3 yang lalu. Memori itu kemudian mengingatkan kami pada sindiran Tuhan terhadap suku Quraisy di Makkah sebagaimana yang terekam dalam Qs. al-Quraisy.
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan  mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Qs. Al-Quraisy:1-4)

Yang terbesit dalam benak kami, bahwa suku Quraisy memiliki keistimewaan berupa jaminan keamanan dan kesejahteraan hidup langsung dari Allah karena kebiasaan, keramahan, kelembutan, dan kesabaran (yang dalam ayat pertamanya, disebut îlâf) mereka. Orng-orang Quraisy sabar dan ramah terhadap alam yang cukup “ganas” pada mereka, alam yang gersang, tandus, panas, penuh bebatuan, sering banjir, dan banyak penyamun. Namun, kondisi alam seperti itu tetap tak mengubah sikap dan watak mereka yang ramah itu. Bahkan karena keramahan itu pulalah, Allah menganugerahkan kemenangan suku Quraisy dalam mempertahankan Ka’bah dari serangan tentara bergajah Abrahah, sebagaimana yang terekam dalam surah sebelumnya, Qs. Al-Fîl. Mereka menang tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun, tanpa tenaga sedikit pun, dan tanpa siasat apapun. Semuanya telah dibereskan sendiri oleh Allah melalui tentara burung Ababil.
Karena keramahan (îlâfihim) itu pula, orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu, mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Karena itulah, suku Quraisy menjadi suku unggulan dan terkuat di Makkah saat itu, sampai-sampai Nabi saw menegaskan bahwa idealnya, pemimpin itu dari suku Qiraisy.
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقٌّ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ ثَلاَثاً إِذَا حَكَمُوْا عَدَلُوْا وَإِذَا اسْتُرْحِمُوْا رَحِمُوْا وَإِذَا عاَهَدُوْا وَفَّوْا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para pemimpin itu dari Quraisy. Kallian memilik hak yang wajib dipenuhi oleh mereka. Mereka juga memiliki hak yang wajib kalian penuhi—beliau mengucapkannya tiga kali—. Jika  berhukum, mereka adil. Jika dikasih sayangi, merekapun mengasihi. Jika berjanji, mereka menepati. Siapa di antara mereka (para pemimpin) yang tidak melakukan itu, (akan diancam) laknat Allah,  para malaikat, dan seluruh umat manusia.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasai, dan Abu Ya’la)

Ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Allah. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka. Hanya itu permintaan dari Allah swt.
Demikianlah, bayangan pertama yang terlintas setiap kali memori dakwah itu muncul di benak kami sampai saat ini. Memori itu tak lain adalah tentang keberadaan sebuah masjid yang baru direnovasi dengan bantuan dari Pemerintah Daerah dan berada di kampung berpenduduk mayoritas muslim. Betapa tidak, masjid yang seharusnya setiap saat—minimal lima kali sehari—ramai oleh para jamaah, suara azan, bacaan takbir dan al-Quran, namun yang satu ini justru hanya ramai dibicarakan orang. Pasalnya, masjid sebagus itu tidak pernah dipakai untuk berjamaah, bahkan untuk shalat jumat dan tarawih sekalipun. Masyarakat sudah mulai tak acuh terhadap masalah shalat, apalagi berjamaah di masjid. Padahal, Papua tak ubahnya suku Quraisy yang warganya diberikan kekuatan fisik di atas penduduk pulau lain. Kekayaan alamnya pun melimpah, keamanannya sangat terjamin, dan kesejahteraannya pun cukup. Hanya satu yang belum tepenuhi, yaitu seruan beribadah dengan benar. Maka, dalam pikiran kami ayat ke-4 surat al-Quraisy itu sangat tepat untuk dijadikan modal dasar berdakwah di sana.   
Awalnya, pada tanggal 20 Ramadhan, kami melakukan safari dakwah ke distrik Bomberay yang jaraknya sekitar 200 km dari kota Fakfak. Kami berangkat dari kota, tepat setelah dzuhur, dan direncanakan akan tiba di tempat tujuan pada pukul + 18.00 WIT (maghrib). Pada pukul 13.00 WIT, kami berangkat dari kota dan tak lama (sekitar setengah jam) setelah itu,  kami masuk hutan dan tak lagi menjumpai rumah, manusia, dan kendaraan, kecuali hanya satu atau dua kali saja. Bahkan, tak satu pun sinyal dan jaringan telepon maupun radio yang mampu datang menghampiri kami. Setelah menyusuri hutan belantara sepanjang + 150 km, tibalah kami di sebuah kampung kecil berpenduduk sekitar 200 jiwa. Kami masuk kampung yang bernama Mitimber itu pada sekitar pukul empat sore. Kami pun menawarkan untuk shalat ashar di masjid kampung ini sambil beristirahat sejenak. Tapi, rombongan menolak karena mereka dapat menjamin tiba di Bomberay jauh sebelum masuk waktu maghrib sehingga masih bisa shalat ashar di sana. Di samping itu, alasan mereka adalah air di kampung itu sangat sulit sehingga tidak dapat berwudhu. Kami pun menyetujui alasan mereka karena mereka lebih berpengalaman.
Tak lama kemudian, kami melintas di depan sebuah masjid baru yang menjadi satu-satunya sarana ibadah warga kampung Mitimber itu. Kami kaget ketika melihat masjid itu tampak tak terawat dan dikunci rapat.  Beberapa ekor anjing pun tampak berkeliaran di sekelilingnya tanpa ada yang khawatir sedikitpun ia akan masuk di serambi masjid. Serta merta, kami pun mengklarifikasi prasangka kami yang belum terungkap tentang masjid itu kepada orang-orang di sekitar kami.
Masjid Mitimber ini ternyata telah lama tidak dipakai meskipun baru direnovasi. Alasannya sangat sepele. Warga sekitar menganggap bahwa shalat harus dipimpin oleh “bapak imam” (imam yang telah ditetapkan oleh warga dan disahkan oleh pemerintah). Jika imam sedang berhalangan, maka jamaah pun libur, dan lebih parahnya lagi, shalatnya juga turut libur. Ketika ada seseorang yang singgah di situ dan hendak melakukan shalat dzuhur, dia kaget ketika tak satu pun warga yang sekedar menengok ke masjid. Dia sangaja menunggu lama dan akhirnya bertanya kepada warga yang ada di sekitar masjid. “Kenapa kok tidak ada yang ke masjid, padahal waktu dzuhur telah lama masuk?” tanyanya. Mereka pun menjawab halus dan sopan, “Bapak shalat saja sendiri sudah… biarlah kami di sini saja!” Orang itu pun semakin penasaran dan menanyakan banyak hal tentang shalat dan perilaku keagamaan warga setempat.
Salah seorang teman kami juga pernah melakukan kunjungan ke masjid ini untuk sekadar melaksanakan tugasnya sebagai anggota Badan Koordinator (Bakor) Masjid Kabupaten Fakfak. Ketika hendak membayarkan insentif imam masjid dari pemda, dia sempat menunggu lama di masjid untuk kemudian melakukan shalat berjamaah. Lama setelah dia kumandangkan adzan, datanglah seorang warga untuk shalat di masjid. Sementara warga yang lain tetap santai di halaman rumah di sekitar masjid. Mulanya, dia hendak mengajak shalat berjamaah seorang warga tersebut, tetapi gagal karena ajakannya itu ditolak karena dia bukan “bapak imam”. Bapak imam saat itu sedang pergi ke kota untuk sebuah hajat. “Bapak, mari kita berjamaah!” ajak teman kami itu. “Oh, ya sudah, bapak shalat dulu sudah. Saya nanti juga shalat di belakang,” jawabnya. Namun, sampai teman kami memulai shalat, ia justru menjauh dan shalat sendirian di belakang. Setelah itu, mereka mengobrol, dan menurut penuturannya bahwa warga setempat tidak mau shalat berjamaah jika yang memimpin bukan “bapak imam”. Bahkan, jika yang memipin “bapak wakil imam” pun mereka masih tetap enggan. Bapak wakil imam sendiri jika tidak diamanati untuk menggantikan memimpin shalat berjamaah oleh bapak imam yang sedang berhalangan, juga tidak akan berani memimpin shalat. Karena itu, jika bapak imam sedang berhalangan, shalat berjamaah pun libur. Namun, anehnya lagi, orang yang bertugas dan bergelar “bapak imam” itu pun jarang sekali ke masjid karena seandainya dia ke masjid, tetap saja tidak ada jamaah yang berminat untuk shalat di masjid. Bahkan selama bulan puasa, masjid itu tetap saja tak ada pengunjungnya, baik untuk melakukan shalat wajib ataupun shalat tarawih.
Dalam kesempatan lain, seorang teman juga pernah mengalami hal yang serupa di masjid itu. Saat itu, dia hendak ke Bomberay dan satu-satunya jalan darat adalah melewati kampung ini. Ketika masuk waktu maghrib, dia baru sampai di kampung Mitimber tersebut, dan hendak melakukan shalat maghrib di sana. Namun, dia kaget karena masjidnya masih gelap, tertutup, dan pastinya sepi jamaah. Ketika bertanya ke warga yang ada di sekitar masjid, jawaban yang didapat adalah, “Bapak shalat saja dulu… katong biar di sini saja sudah!”
Sedih rasanya melihat dan mendengar cerita tentang masjid di Mitimber ini. Keinginan menyelamatkan masjid itu sangat besar, tapi kami pun merasa pesimistis ketika mendengar pengakuan warga yang seperti itu. Namun, di sisi lain kami juga takut jika keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh orang-orang non-muslim untuk mengadakan pemurtadan sebagaimana di beberapa daerah yang lain.
Meski demikian, tak ada masalah tanpa solusi. Penting menjadi kunci jawabannya adalah bahwa mereka sangat terbuka terhadap kehadiran para guru mengaji. Jika ada yang hendak mengajari anak-anak mereka mengaji, mereka akan sambut itu dengan senang hati dan mereka akan minta anak-anak mereka belajar mengaji al-Quran. Dari sinilah penyelamatan masjid dan agama ini harus dimulai. Penyelamatan itu tentunya harus bertahap. Dimulai dari pengajaran membaca al-Quran untuk anak-anak. Lalu, setelah itu, mereka diajari tata cara wudhu, shalat, dan bimbingan dasar keagamaan lainnya. Dan biasanya, setelah anak-anak mereka dapat dibina, orang tuanya pun lambat laun akan ikut pula. Tentu hal ini, perlu kesabaran yang ekstra. [AUH]

Saturday, January 22, 2011

KAYA DARATAN, MISKIN SUMUR



Papua memang sangat terkenal sebagai daerah dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Sumber daya alam yang masih alami dan hanya beberapa persen saja yang telah terkelola itu membuat Papua tak kekurangan asupan pangan. Hanya saja, sangat disayangkan di daerah yang kaya alam itu tak diiringi dengan SDM yang memadai. Kekayaan alam yang melimpah itu rasanya tak mungkin habis meski dimakan oleh seluruh penduduk Papua. Di samping jumlah penduduknya yang tak seberapa dibanding luas pulau, hanya beberapa persen saja penduduk yang mampu memberdaya-kan alam yang masih liar itu.
Di kabupaten Fakfak misalnya, saat ini tak kurang dari 23.000 jiwa menghuni daerah muslim terbesar di Papua itu. Bahkan luasnya saja menyamai luas propinsi Jawa Timur. Namun di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah itu, ternyata ada satu yang kurang. Daerah ini sangat minim sumur.
Sumur yang merupakan salah satu sumber kehidupan, justru tak ditemukan di sana, apalagi di kota. Faktor utamanya bukan karena luasnya samudera yang mengelilingi daerah ini. Lagi pula, tak ada orang yang mau setiap hari mandi di laut yang asin itu. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mereka tetap saja memanfaatkan air PDAM. Setiap tiga hari sekali, masing-masing daerah mendapat aliran air bersih scara bergilir. Air yang membentang luas tepat di pinggir rumah seolah tak berguna untuk keperluan harian.
Daratan berupa bebatuan cadas adalah faktor utama tak adanya sumur. Persis seperti arti nama Fakfak sendiri yang dalam bahasa Onin (salah satu suku di Fakfak) yaitu batu cadas. Sangat konyol kelihatannya jika ada orang yang memiliki sumur di daerah ini. Betapa tidak, daerah yang seluruh daratannya berupa gunung batu itu hampir mustahil untuk dibuatkan sumur di atasnya. Entah berapa puluh meter, seseorang harus menggali batu yang ditumbuhi pepohonan besar itu untuk sekadar menemukan air.
Selama di Fakfak, kami hanya mendapati sumur di dua daerah saja, yaitu di Arguni dan distrik Bomberay. Arguni yang sama sekali tak memiliki alat transportasi darat itu, ternyata memiliki satu kekayaan yang tak dimiliki daerah lain, yaitu sumur. Hanya di sinilah kami mendengar deringan jetpam, tepat di depan masjid letaknya.
Arguni adalah bagian dari Fakfak yang bertanah pasir datar. Bagian yang berupa bebatuan cadas di Arguni sampai saat ini hanya ditumbuhi pepohonan saja. Karena itu, sumur dapat dengan mudah digali di sini.
Sumur kedua, kami dapatkan di daerah Bomberay yang dulunya menginduk kepada Distrik Kokas. Wilayah distrik ini sangat luas dan baru dihuni sekitar 15 tahunan yang lalu seiring adanya program transmigrasi bedol desa. Sembilan puluh persen penduduk distrik ini adalah para transmigran asal Jawa dan Sulawesi. Ia juga satu-satunya distrik terluas di Fakfak dan memiliki tanah datar. Hanya saja, jaraknya yang cukup jauh dari kota membuat perjalanan ke daerah ini lebih melelahkan daripada mendaki gundukan batu di kota. Untuk masuk daerah ini harus menerjang hutan belantara sepanjang + 170 km dan dapat ditempuh selama lima jam dengan kecepatan cukup tinggi. Kondisi jalannya pun sangat memprihatinkan dan biasanya hanya mobil besar dan berat saja yang dapat memasukinya. Di sana, kami masih dapat menemukan orang menimba di sumur, sebuah aktifitas yang tak lagi kami jumpai selama lebih dari 15 tahun lamanya.

Maka, beruntunglah kita yang ada di daerah kaya air bersih. Oleh karena itu, mari kita jaga sumber air itu dan jangan memubazirkannya, karena ternyata saudara kita di sana perlu tiga hari lamanya untuk mendapatkan air bersih. Bahkan kalaupun ingin menggalinya, pasti dianggap sebagai perbuatan yang sangat konyol. [AUH]