From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, May 4, 2012

Masjid Tanpa Imam



Sepanjang jalan alamnya indah
Banyak binatang berlalu lalang
Ada masjid tanpa jamaah
Imam pun cuti sungguh disayang

Begitulah salah satu memori dakwah di Fakfak yang pernah kami sajikan pada Biksah, edisi ke-3 yang lalu. Memori itu kemudian mengingatkan kami pada sindiran Tuhan terhadap suku Quraisy di Makkah sebagaimana yang terekam dalam Qs. al-Quraisy.
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan  mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Qs. Al-Quraisy:1-4)

Yang terbesit dalam benak kami, bahwa suku Quraisy memiliki keistimewaan berupa jaminan keamanan dan kesejahteraan hidup langsung dari Allah karena kebiasaan, keramahan, kelembutan, dan kesabaran (yang dalam ayat pertamanya, disebut îlâf) mereka. Orng-orang Quraisy sabar dan ramah terhadap alam yang cukup “ganas” pada mereka, alam yang gersang, tandus, panas, penuh bebatuan, sering banjir, dan banyak penyamun. Namun, kondisi alam seperti itu tetap tak mengubah sikap dan watak mereka yang ramah itu. Bahkan karena keramahan itu pulalah, Allah menganugerahkan kemenangan suku Quraisy dalam mempertahankan Ka’bah dari serangan tentara bergajah Abrahah, sebagaimana yang terekam dalam surah sebelumnya, Qs. Al-Fîl. Mereka menang tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun, tanpa tenaga sedikit pun, dan tanpa siasat apapun. Semuanya telah dibereskan sendiri oleh Allah melalui tentara burung Ababil.
Karena keramahan (îlâfihim) itu pula, orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu, mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Karena itulah, suku Quraisy menjadi suku unggulan dan terkuat di Makkah saat itu, sampai-sampai Nabi saw menegaskan bahwa idealnya, pemimpin itu dari suku Qiraisy.
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقٌّ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ ثَلاَثاً إِذَا حَكَمُوْا عَدَلُوْا وَإِذَا اسْتُرْحِمُوْا رَحِمُوْا وَإِذَا عاَهَدُوْا وَفَّوْا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para pemimpin itu dari Quraisy. Kallian memilik hak yang wajib dipenuhi oleh mereka. Mereka juga memiliki hak yang wajib kalian penuhi—beliau mengucapkannya tiga kali—. Jika  berhukum, mereka adil. Jika dikasih sayangi, merekapun mengasihi. Jika berjanji, mereka menepati. Siapa di antara mereka (para pemimpin) yang tidak melakukan itu, (akan diancam) laknat Allah,  para malaikat, dan seluruh umat manusia.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasai, dan Abu Ya’la)

Ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Allah. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka. Hanya itu permintaan dari Allah swt.
Demikianlah, bayangan pertama yang terlintas setiap kali memori dakwah itu muncul di benak kami sampai saat ini. Memori itu tak lain adalah tentang keberadaan sebuah masjid yang baru direnovasi dengan bantuan dari Pemerintah Daerah dan berada di kampung berpenduduk mayoritas muslim. Betapa tidak, masjid yang seharusnya setiap saat—minimal lima kali sehari—ramai oleh para jamaah, suara azan, bacaan takbir dan al-Quran, namun yang satu ini justru hanya ramai dibicarakan orang. Pasalnya, masjid sebagus itu tidak pernah dipakai untuk berjamaah, bahkan untuk shalat jumat dan tarawih sekalipun. Masyarakat sudah mulai tak acuh terhadap masalah shalat, apalagi berjamaah di masjid. Padahal, Papua tak ubahnya suku Quraisy yang warganya diberikan kekuatan fisik di atas penduduk pulau lain. Kekayaan alamnya pun melimpah, keamanannya sangat terjamin, dan kesejahteraannya pun cukup. Hanya satu yang belum tepenuhi, yaitu seruan beribadah dengan benar. Maka, dalam pikiran kami ayat ke-4 surat al-Quraisy itu sangat tepat untuk dijadikan modal dasar berdakwah di sana.   
Awalnya, pada tanggal 20 Ramadhan, kami melakukan safari dakwah ke distrik Bomberay yang jaraknya sekitar 200 km dari kota Fakfak. Kami berangkat dari kota, tepat setelah dzuhur, dan direncanakan akan tiba di tempat tujuan pada pukul + 18.00 WIT (maghrib). Pada pukul 13.00 WIT, kami berangkat dari kota dan tak lama (sekitar setengah jam) setelah itu,  kami masuk hutan dan tak lagi menjumpai rumah, manusia, dan kendaraan, kecuali hanya satu atau dua kali saja. Bahkan, tak satu pun sinyal dan jaringan telepon maupun radio yang mampu datang menghampiri kami. Setelah menyusuri hutan belantara sepanjang + 150 km, tibalah kami di sebuah kampung kecil berpenduduk sekitar 200 jiwa. Kami masuk kampung yang bernama Mitimber itu pada sekitar pukul empat sore. Kami pun menawarkan untuk shalat ashar di masjid kampung ini sambil beristirahat sejenak. Tapi, rombongan menolak karena mereka dapat menjamin tiba di Bomberay jauh sebelum masuk waktu maghrib sehingga masih bisa shalat ashar di sana. Di samping itu, alasan mereka adalah air di kampung itu sangat sulit sehingga tidak dapat berwudhu. Kami pun menyetujui alasan mereka karena mereka lebih berpengalaman.
Tak lama kemudian, kami melintas di depan sebuah masjid baru yang menjadi satu-satunya sarana ibadah warga kampung Mitimber itu. Kami kaget ketika melihat masjid itu tampak tak terawat dan dikunci rapat.  Beberapa ekor anjing pun tampak berkeliaran di sekelilingnya tanpa ada yang khawatir sedikitpun ia akan masuk di serambi masjid. Serta merta, kami pun mengklarifikasi prasangka kami yang belum terungkap tentang masjid itu kepada orang-orang di sekitar kami.
Masjid Mitimber ini ternyata telah lama tidak dipakai meskipun baru direnovasi. Alasannya sangat sepele. Warga sekitar menganggap bahwa shalat harus dipimpin oleh “bapak imam” (imam yang telah ditetapkan oleh warga dan disahkan oleh pemerintah). Jika imam sedang berhalangan, maka jamaah pun libur, dan lebih parahnya lagi, shalatnya juga turut libur. Ketika ada seseorang yang singgah di situ dan hendak melakukan shalat dzuhur, dia kaget ketika tak satu pun warga yang sekedar menengok ke masjid. Dia sangaja menunggu lama dan akhirnya bertanya kepada warga yang ada di sekitar masjid. “Kenapa kok tidak ada yang ke masjid, padahal waktu dzuhur telah lama masuk?” tanyanya. Mereka pun menjawab halus dan sopan, “Bapak shalat saja sendiri sudah… biarlah kami di sini saja!” Orang itu pun semakin penasaran dan menanyakan banyak hal tentang shalat dan perilaku keagamaan warga setempat.
Salah seorang teman kami juga pernah melakukan kunjungan ke masjid ini untuk sekadar melaksanakan tugasnya sebagai anggota Badan Koordinator (Bakor) Masjid Kabupaten Fakfak. Ketika hendak membayarkan insentif imam masjid dari pemda, dia sempat menunggu lama di masjid untuk kemudian melakukan shalat berjamaah. Lama setelah dia kumandangkan adzan, datanglah seorang warga untuk shalat di masjid. Sementara warga yang lain tetap santai di halaman rumah di sekitar masjid. Mulanya, dia hendak mengajak shalat berjamaah seorang warga tersebut, tetapi gagal karena ajakannya itu ditolak karena dia bukan “bapak imam”. Bapak imam saat itu sedang pergi ke kota untuk sebuah hajat. “Bapak, mari kita berjamaah!” ajak teman kami itu. “Oh, ya sudah, bapak shalat dulu sudah. Saya nanti juga shalat di belakang,” jawabnya. Namun, sampai teman kami memulai shalat, ia justru menjauh dan shalat sendirian di belakang. Setelah itu, mereka mengobrol, dan menurut penuturannya bahwa warga setempat tidak mau shalat berjamaah jika yang memimpin bukan “bapak imam”. Bahkan, jika yang memipin “bapak wakil imam” pun mereka masih tetap enggan. Bapak wakil imam sendiri jika tidak diamanati untuk menggantikan memimpin shalat berjamaah oleh bapak imam yang sedang berhalangan, juga tidak akan berani memimpin shalat. Karena itu, jika bapak imam sedang berhalangan, shalat berjamaah pun libur. Namun, anehnya lagi, orang yang bertugas dan bergelar “bapak imam” itu pun jarang sekali ke masjid karena seandainya dia ke masjid, tetap saja tidak ada jamaah yang berminat untuk shalat di masjid. Bahkan selama bulan puasa, masjid itu tetap saja tak ada pengunjungnya, baik untuk melakukan shalat wajib ataupun shalat tarawih.
Dalam kesempatan lain, seorang teman juga pernah mengalami hal yang serupa di masjid itu. Saat itu, dia hendak ke Bomberay dan satu-satunya jalan darat adalah melewati kampung ini. Ketika masuk waktu maghrib, dia baru sampai di kampung Mitimber tersebut, dan hendak melakukan shalat maghrib di sana. Namun, dia kaget karena masjidnya masih gelap, tertutup, dan pastinya sepi jamaah. Ketika bertanya ke warga yang ada di sekitar masjid, jawaban yang didapat adalah, “Bapak shalat saja dulu… katong biar di sini saja sudah!”
Sedih rasanya melihat dan mendengar cerita tentang masjid di Mitimber ini. Keinginan menyelamatkan masjid itu sangat besar, tapi kami pun merasa pesimistis ketika mendengar pengakuan warga yang seperti itu. Namun, di sisi lain kami juga takut jika keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh orang-orang non-muslim untuk mengadakan pemurtadan sebagaimana di beberapa daerah yang lain.
Meski demikian, tak ada masalah tanpa solusi. Penting menjadi kunci jawabannya adalah bahwa mereka sangat terbuka terhadap kehadiran para guru mengaji. Jika ada yang hendak mengajari anak-anak mereka mengaji, mereka akan sambut itu dengan senang hati dan mereka akan minta anak-anak mereka belajar mengaji al-Quran. Dari sinilah penyelamatan masjid dan agama ini harus dimulai. Penyelamatan itu tentunya harus bertahap. Dimulai dari pengajaran membaca al-Quran untuk anak-anak. Lalu, setelah itu, mereka diajari tata cara wudhu, shalat, dan bimbingan dasar keagamaan lainnya. Dan biasanya, setelah anak-anak mereka dapat dibina, orang tuanya pun lambat laun akan ikut pula. Tentu hal ini, perlu kesabaran yang ekstra. [AUH]