MENYANTAP SUAMI SAAT
BUKA PUASA
apua memang terkenal sebagai penduduk dengan populasi imigran yang
sangat tinggi. Hasil sensus penduduk akhir tahun 2010 lalu menunjukkan bahwa
populasi itu meningkat tajam hingga lebih dari 100 %. Kondisi semacam ini
sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak kembalinya Papua (Irian Jaya) ke
pangkuan Ibu Pertiwi, tahun 1961 para pendatang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi,
dan Ambon tampak ramai-ramai mengisi kekosongan daratan terbesar di bumi
persada Indonesia ini.
Banyaknya transmigran dari berbagai
daerah tentu membawa warna tersendiri bagi kekayaan budaya yang dimiliki pulau
paling timur Indonesia ini. Dilihat dari bahasanya, Papua di samping memiliki
ragam bahasa suku, juga memiliki bahasa rumpun Indonesia bagian timur. Bahasa
dan dialek Papua hampir sama dengan Ambon.
Kekayaan budaya ini tentu menjadi hal
yang menarik bagi orang luar, terutama yang baru pertama kali menginjakkan kaki
di bumi Papua. Hasil perkawinan budaya seperti ini menjadi ciri khas yang tidak
dimiliki oleh induknya sekalipun. Ia menjadi sebuah peradaban baru yang patut
dibanggakan oleh Papua. Tidak hanya bahasa tentunya, melainkan juga gaya hidup,
kesenian, makanan, hingga cara berpikir yang kian modern dan progresif berkat
silang budaya itu.
Kondisi inilah kami yang lihat saat
pertama kali menginjakkan kaki di Fakfak yang penduduknya terdiri dari
bermacam-macam etnis dan suku seperti Papua, Ambon, Bugis, Buton, Jawa, Batak,
dan Padang. Selama di Papua, kamipun bergaul dengan beragam karakter yang
dibawa secara turun-temurun dari leluhur di daerah masing-masing. Pergaulan
semacam ini membuat orang yang tinggal di sana meski hanya dalam waktu beberapa
saat saja, sudah dapat mengikuti gaya dan dialek berbicara orang Papua. Warga
keturunan Jawa, dengan lancarnya berbicara dengan bahasa dan dialek Papua,
begitu pula warga keturunan Papua, Ambon dan Sulawesi dapat mengikuti gaya
Jawa. Semuanya seolah telah membaur menjadi satu, dan milik bersama.
Demikianlah yang kami alami ketika
pertama kali masuk daratan Fakfak. Banyak sekali hal baru yang belum pernah
kami dapatkan di pulau Jawa ini. Kamipun seringkali salah paham, karena
keterbatasan atau bahkan sama sekali belum mengenal kosa kata bahasa lokal di
sana. Untuk pertama kalinya, kami terkecoh dengan kalimat “sapi shalat” dan
“kopi shalat”. Untuk kali kedua, kasus yang sama terulang kembali.
Lagi-lagi kami salah paham dengan ungkapan “makan suami” yang beredar di sana.
Ungkapan yang juga tidak keliru jika diartikan memakan suami, sebuah tindakan
tidak manusiawi dan sangat kejam. Bagi orang baru yang belum pernah tahu makna
sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan jika yang pertama kali terbesit di benaknya
adalah “kanibal”. Tapi tidak dengan “makan suami” di Papua yang kami dapati
itu.
Mulanya, menjelang maghrib seperti biasa,
selalu tersedia makan buka puasa di rumah yang kami tinggali. Kolak atau Pisang
hijau adalah menu pembatal (ta’jîl) puasa yang paling sering disajikan
kepada kami. Lain kolak di sana lain pula kolak di Jawa. Di sana, kolak adalah
sejenis bubur beras yang disajikan dengan dadar gulung pisang, tanpa kuah. Tak
seperti biasanya, menu kali ini berbeda. Tanpa bertanya-tanya, kami sebut saja
menu baru itu “sawut” karena di Jawa Timur makanan seperti itu dinamakan
demikian, meski berbeda bentuk dan cara penyajiannya.
Setibanya kami dari masjid, seorang ibu keturunan
Bugis datang dan menghampiri kami. “Pak Ustadz, suaminya dimakan ya. Kasih
habis sudah!” ujarnya singkat sambil berlalu.
Kamipun kaget mendengar kalimat itu.
“Bagaimana mungkin saya makan suami?” kata kami dalam hati. Tapi, kami cuek
saja dan terus makan “sawut” yang sudah tersaji itu. Tak lama kemudian, datang
salah seorang adik angkat ibu yang tadi dan makan bersama kami. “Enak toh,
suaminya?” ujarnya sambil memungut makanan yang kami sebut sawut itu. Mendengar
kalimat “suami” yang ini, kami pun sadar bahwa makanan itu bukanlah “sawut”,
melainkan “suami” namanya. Usut punya usut, suami adalah salah satu makanan
khas dari Ambon (ada pula yang mengatakan dari Buton, Sulawesi Tenggara) yang
terbuat dari singkong parut yang sudah diperas airnya dan dikukus. Akhirnya,
kamipun menikmati suami itu bersama-sama.
Di sana mudah sekali mencari suami dan
tidak perlu repot-repot ke biro jodoh segala. Tinggal pergi ke pasar, atau
membuatnya sendiri secara langsung. Tentu suami yang dimaksud adalah makanan
yang kami sebut sawut tadi itu. Entah kenapa, makanan itu dinamakan suami.
Tidak ada yang tahu pasti siapa yang mula-mula menamakannya demikian. Menurut
salah satu sumber, di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, makanan ini
disebut sangkola.
Sedangkan di Cia-Cia dan Wanci, Sulawesi Tenggara, dinamakan suami. Ada yang
bilang bahwa nama asli makanan itu adalah kasoami, tapi kemudian orang-orang
menyingkatnya menjadi ksoami. Setelah itu bermetamorfosis menjadi soami, dan akhirnya
jadilah nama “suami” yang keren itu.
Cara
penyajian suami pun beragam, ada yang dibiarkan telanjang di piring, tanpa baju
pembungkus, namun umumnya dibentuk kerucut dan dibungkus daun pisang. Warnanya
pun beragam, ada suami coklat yang biasa juga disebut suami lokal, dan ada juga
suami putih yang biasa popular dengan nama suami bule. Jika sawut di Jawa Timur
biasa disajikan dengan parutan kelapa, maka tidak demikian halnya suami yang
biasa dimakan dengan lauk. Tapi, apapun nama, bentuk, warna dan cara
penyajiannya, yang jelas suami itu enak dan kami sangat menikmatinya. [AUH]