From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

Saturday, January 25, 2014

Anak, Anik, Anuk


Ahmad 'Ubaydi Hasbillah

"Heran deh, kenapa anak baru 13 tahun udah dikasi mobil dan dibiarkan berkeliaran malam hari bersama pacarnya?" Begitulah petikan obrolan ringan para ibu di warung yang kami dengar pagi ini. Tak lama setelah itu, kami juga bertemu dengan salah seorang tetangga yang kebetulan sedang menonton TV. Beritanya pun sama persis dengan topik ibu-ibu di warung tadi. Masuk kantor pun begitu, tema bocah cilik itu pun mampu menggeser kontroversi kontes kecantikan dunia, Miss World 2013 di Bali dan Bogor.
"Ada apa dengan bocah kecil itu?" Tampaknya itu bukanlah sebuah pertanyaan yang butuh jawaban. Tapi disadari atau tidak, bocah kecil itulah yang kini menyadarkan banyak orang tua, meskipun juga tidak sedikit yang hanya menggosip saja.
Belum lama ini masyarakat kita memang dihebohkan oleh kabar seorang anak yang pada tengah malam mengantarkan pacarnya dengan mengendarai mobil sendiri hingga akhirnya kecelakaan. Tentu, itu bukan  satu-satunya di negeri kita. Masih banyak sekali yang tidak terekspos oleh media mengenai kasus-kasus serupa. Di lingkungan sekitar kita sendiri pun tampaknya hal itu sudah hampir dianggap lumrah oleh sebagian orang. Anak-anak SMP yang belum genap 15 tahun usianya, sudah biasa berpacaran dan bermesaraan di tempat umum. Bahkan beberapa kali kami mendengar orang tua yang dengan bangganya menceritakan anaknya yang sudah memiliki pacar, dan dengan demikian berarti dia sudah dewasa. Padahal, tidakkah kita berfikir apa yang dilakukan oleh sang anak? Pernahkah orang tua itu tahu siapa yang ada di dalam fikirannya ketika ia telah berpacaran? Pernahkah anak itu memikirkan orangtuanya? Jika anak sekecil itu yang ada dalam benaknya sudah bukan lagi orang tuanya, lalu apa dan siapa yang akan memenuhi ruang pikirnya kelak ketika ia dewasa?
Di manakah orang tuanya? Pertanyaan ini menjadi cemeti bagi siapapun yang mendambakan anak saleh. Pertanyaan itu bisa dimaknai melalui banyak perspektif. Di manakah orangtuanya ketika anak-anak kecil saat ini sudah berani berpacaran? Di manakah orang tuanya ketika anak-anak itu tidak lagi memikirkannya di usianya yang masih dini? Dan di manakah orang tuanya jika kelak anak-anak itu tak lagi mengingatnya ketika mereka sudah dewasa?
Tidak ada orang yang tidak bangga kepada anaknya. Semua orang mendambakan yang terbaik untuk putera-puterinya. Hanya saja, seringkali banyak yang salah langkah. Banyak orang yang menjadikan dirinya yang dewasa sebagai standar untuk anaknya yang masih muda belia. Ingatlah, tidak semua bentuk kebahagiaan orang dewasa adalah kebahagiaan untuk anak-anak. Jika orang tua bisa bangga karena dapat memiliki sebuah rumah mewah, maka belum tentu kebahagiaan anak-anak adalah memiliki rumah mewah itu. Maka, janganlah kita menyerahkan rumah mewah itu untuk anak yang belum cukup umur.
Orang tua mana yang tidak mendambakan anak saleh? Pasti jawabannya tidak ada. Semua yang diberikan, apapun bentuknya, tentulah bertujuan baik. Orang tua mana yang tidak senang melihat anak-anaknya bahagia? Tentu jawabannya juga tidak ada. Maka, orangtua sebenarnya bebas memberikan apa saja yang ia mau untuk anak-anaknya. Tapi, yang perlu kita ingat adalah seberapa penting pemberian itu untuk anak-anak dan untuk kita? Seberapa lamakah dia akan bahagia dengan pemberian itu? Marilah kita membiasakan diri untuk memikirkan kebaikan dan kebahagiaan berjangka panjang, bukan yang sesaat.
Untuk itu, mari kita tanamkan pada diri putera-puteri kita agar orang tua mereka menjadi yang utama dalam benak mereka sejak usia dini. Tentu, setelah Allah dan Rasul-Nya. Anak memang sebuah perhiasan dalam kehidupan ini. Namun, jangan sampai perhiasan itu hanya sebatas fatamorgana yang indah hanya sesaat saja. Jadikanlah ia perhiasan abadi yang senantiasa membahagiakan orang tuanya. Itulah yang seharusnya menjadi harapan utama setiap orang tua.
Dalam Qs. al-Kahf: 46, Allah telah memberikan peringatan:
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan."
Harta benda dan anak-anak memang menjadi idaman bagi setiap orang, namun semua itu tidaklah layak dijadikan sebagai idaman dan cita-cita. Harapan dan cita yang benar adalah agar anak-anak itu menjadi amalan-amalan yang kekal lagi saleh (al-baqiyat al-shalihat). Itulah kebagaiaan sejati.
Lalu, apa akibatnya jika tidak memprospek anak-anak itu untuk menjadi amalan-amalan kekal nan saleh? Jawabannya ada pada Qs. al-Taghabun: 14-15 dan Qs. al-Anfal: 28.
"Wahai orang-orang yang beriman, sungguh di antara isteri-isteri dan anak-anak kalian (ada) musuh kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka." (Qs.al-Taghabun: 14)
"hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (Qs. al-Anfal: 28, dan al-Taghabun: 15)
Dalam Surah al-Kahf ayat 46 tadi, Allah memberikan isyarat bahwa harta benda dan anak-anak itu tidak layak dijadikan idaman dan cita-cita manusia. sementara dalam Surah al-Anfal ayat 28, Allah mengisyaratkan bahwa harta benda dan anak-anak itu akan menjadi bomerang bagi manusia jika manusia tidak mampu menghadapinya. Manusia hendaknya dapat menjadikan dua hal tersebut sebagai sarana untuk menuju keridhaan Allah, bukan sebagai tujuan yang diidam-idamkan, apalagi didewakan, atau justru manusia itu sendiri yang menjadi korban dari dua hal tersebut.
Sebagai penutup, alangkah indahnya jika kita meneladani kisah dalam dua hadis berikut, sebagai ilustrasi dari apa yang disebut dengan amal yang kekal nan saleh itu.
Kelak, di surga akan ada orang yang kaget atas fasilitas yang dia terima, karena merasa terlalu mewah untuknya. "Sungguh, Allah akan mengangkat derajat seorang hamba saleh di surga." Tutur Nabi saw mengawali kisahnya, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah ra. "Dari mana semua ini, Tuhanku?" Tanya orang itu dengan penuh penasaran. "Itu semua dari anakmu yang rajin memohonkan ampunan untukmu." Jawab Tuhan. (HR. Ahmad bin Hanbal)
Dalam kisah lain, ada seorang sahabat yang gigih ingin ikut berjuang bersama Nabi saw untuk membela pasukan Islam. Lalu, ia pun menghadap Nabi saw agar mendapatkan restu berjihad. Namun, Nabi saw justru tidak mengizinkannya karena ia harus merawat orangtuanya, tidak membiarkan orangtuanya terlantar karena ditinggal berperang. "Apakah engkau mempunyai orangtua?" Tanya Nabi singkat. "Ya, tinggal ibu saja." Jawab pemuda gigih itu. "Kalau begitu, rawatlah dia, karena surga ada di bawah kedua telapak kakinya." Pinta Nabi. (HR. al-Nasai dan Ahmad).
"Karena itu, dalam falsafah Jawa, anak itu bisa menjadi 'Anak-Anik-Anuk.' Anak (Anakno) berarti mengadakan yang tidak ada. Karena anak, banyak barang yang tadinya tidak ada menjadi ada; mainan, baju, dan segala perlengkapan anak. Di sinilah anak menjadi perhiasan kehidupan (zînatul hayatid dun-ya). Anak bisa menjadi anik (anikso) berarti menyiksa orang tua (al-Quran menyebutnya dengan istilah fitnah), jika salah asuh, salah menafkahi, dan salah mendoakannya. Terakhir, anak pun bisa menjadi anuk (anukari) yang berarti memusuhi ('aduwwun), karena salah mendidik, tidak sesuai dengan tuntunan Nabi saw." Demikianlah guru kami mengajarkan.

مسند أحمد بن حنبل - (ج 2 / ص 509)

 10618 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا حماد بن سلمة عن عاصم بن أبي النجود عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم Y ان الله عز و جل ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول يا رب أنى لي هذه فيقول باستغفار ولدك لك K إسناده حسن من أجل عاصم بن أبي النجود وهو ابن بهدلة وباقي رجاله ثقات رجال الصحيح

0 komentar: