Ahmad 'Ubaydi
Hasbillah
"Heran deh, kenapa anak baru 13 tahun udah dikasi mobil
dan dibiarkan berkeliaran malam hari bersama pacarnya?" Begitulah petikan obrolan ringan para ibu di warung yang kami
dengar pagi ini. Tak lama setelah itu, kami juga bertemu dengan salah seorang
tetangga yang kebetulan sedang menonton TV. Beritanya pun sama persis dengan topik
ibu-ibu di warung tadi. Masuk kantor pun begitu, tema bocah cilik itu pun mampu
menggeser kontroversi kontes kecantikan dunia, Miss World 2013 di Bali dan
Bogor.
"Ada apa dengan bocah kecil itu?" Tampaknya itu
bukanlah sebuah pertanyaan yang butuh jawaban. Tapi disadari atau tidak, bocah
kecil itulah yang kini menyadarkan banyak orang tua, meskipun juga tidak
sedikit yang hanya menggosip saja.
Belum lama ini masyarakat kita memang dihebohkan oleh kabar
seorang anak yang pada tengah malam mengantarkan pacarnya dengan mengendarai
mobil sendiri hingga akhirnya kecelakaan. Tentu, itu bukan satu-satunya di negeri kita. Masih banyak sekali
yang tidak terekspos oleh media mengenai kasus-kasus serupa. Di lingkungan
sekitar kita sendiri pun tampaknya hal itu sudah hampir dianggap lumrah oleh
sebagian orang. Anak-anak SMP yang belum genap 15 tahun usianya, sudah biasa
berpacaran dan bermesaraan di tempat umum. Bahkan beberapa kali kami mendengar
orang tua yang dengan bangganya menceritakan anaknya yang sudah memiliki pacar,
dan dengan demikian berarti dia sudah dewasa. Padahal, tidakkah kita berfikir
apa yang dilakukan oleh sang anak? Pernahkah orang tua itu tahu siapa yang ada
di dalam fikirannya ketika ia telah berpacaran? Pernahkah anak itu memikirkan
orangtuanya? Jika anak sekecil itu yang ada dalam benaknya sudah bukan lagi
orang tuanya, lalu apa dan siapa yang akan memenuhi ruang pikirnya kelak ketika
ia dewasa?
Di manakah orang tuanya? Pertanyaan ini menjadi cemeti bagi
siapapun yang mendambakan anak saleh. Pertanyaan itu bisa dimaknai melalui
banyak perspektif. Di manakah orangtuanya ketika anak-anak kecil saat ini sudah
berani berpacaran? Di manakah orang tuanya ketika anak-anak itu tidak lagi
memikirkannya di usianya yang masih dini? Dan di manakah orang tuanya jika
kelak anak-anak itu tak lagi mengingatnya ketika mereka sudah dewasa?
Tidak ada orang yang tidak bangga kepada anaknya. Semua orang
mendambakan yang terbaik untuk putera-puterinya. Hanya saja, seringkali banyak
yang salah langkah. Banyak orang yang menjadikan dirinya yang dewasa sebagai
standar untuk anaknya yang masih muda belia. Ingatlah, tidak semua bentuk
kebahagiaan orang dewasa adalah kebahagiaan untuk anak-anak. Jika orang tua
bisa bangga karena dapat memiliki sebuah rumah mewah, maka belum tentu
kebahagiaan anak-anak adalah memiliki rumah mewah itu. Maka, janganlah kita
menyerahkan rumah mewah itu untuk anak yang belum cukup umur.
Orang tua mana yang tidak mendambakan anak saleh? Pasti
jawabannya tidak ada. Semua yang diberikan, apapun bentuknya, tentulah
bertujuan baik. Orang tua mana yang tidak senang melihat anak-anaknya bahagia?
Tentu jawabannya juga tidak ada. Maka, orangtua sebenarnya bebas memberikan apa
saja yang ia mau untuk anak-anaknya. Tapi, yang perlu kita ingat adalah
seberapa penting pemberian itu untuk anak-anak dan untuk kita? Seberapa lamakah
dia akan bahagia dengan pemberian itu? Marilah kita membiasakan diri untuk
memikirkan kebaikan dan kebahagiaan berjangka panjang, bukan yang sesaat.
Untuk itu, mari kita tanamkan pada diri putera-puteri kita
agar orang tua mereka menjadi yang utama dalam benak mereka sejak usia dini.
Tentu, setelah Allah dan Rasul-Nya. Anak memang sebuah perhiasan dalam
kehidupan ini. Namun, jangan sampai perhiasan itu hanya sebatas fatamorgana
yang indah hanya sesaat saja. Jadikanlah ia perhiasan abadi yang senantiasa
membahagiakan orang tuanya. Itulah yang seharusnya menjadi harapan utama setiap
orang tua.
Dalam Qs. al-Kahf: 46, Allah telah memberikan peringatan:
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan."
Harta benda dan anak-anak memang menjadi idaman bagi setiap
orang, namun semua itu tidaklah layak dijadikan sebagai idaman dan cita-cita.
Harapan dan cita yang benar adalah agar anak-anak itu menjadi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh (al-baqiyat al-shalihat). Itulah kebagaiaan
sejati.
Lalu, apa akibatnya jika tidak memprospek anak-anak itu untuk
menjadi amalan-amalan kekal nan saleh? Jawabannya ada pada Qs. al-Taghabun: 14-15
dan Qs. al-Anfal: 28.
"Wahai orang-orang yang beriman, sungguh di
antara isteri-isteri dan anak-anak kalian (ada) musuh kalian, maka
berhati-hatilah kalian terhadap mereka." (Qs.al-Taghabun: 14)
"hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (Qs. al-Anfal: 28, dan
al-Taghabun: 15)
Dalam Surah al-Kahf ayat 46 tadi, Allah memberikan isyarat
bahwa harta benda dan anak-anak itu tidak layak dijadikan idaman dan cita-cita
manusia. sementara dalam Surah al-Anfal ayat 28, Allah mengisyaratkan bahwa
harta benda dan anak-anak itu akan menjadi bomerang bagi manusia jika manusia
tidak mampu menghadapinya. Manusia hendaknya dapat menjadikan dua hal tersebut
sebagai sarana untuk menuju keridhaan Allah, bukan sebagai tujuan yang
diidam-idamkan, apalagi didewakan, atau justru manusia itu sendiri yang menjadi
korban dari dua hal tersebut.
Sebagai penutup, alangkah indahnya jika kita meneladani kisah
dalam dua hadis berikut, sebagai ilustrasi dari apa yang disebut dengan amal
yang kekal nan saleh itu.
Kelak, di surga akan ada orang yang kaget atas fasilitas yang
dia terima, karena merasa terlalu mewah untuknya. "Sungguh, Allah akan
mengangkat derajat seorang hamba saleh di surga." Tutur Nabi saw mengawali
kisahnya, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah ra. "Dari mana semua ini,
Tuhanku?" Tanya orang itu dengan penuh penasaran. "Itu semua dari
anakmu yang rajin memohonkan ampunan untukmu." Jawab Tuhan. (HR. Ahmad bin
Hanbal)
Dalam kisah lain, ada seorang sahabat yang gigih ingin ikut
berjuang bersama Nabi saw untuk membela pasukan Islam. Lalu, ia pun menghadap
Nabi saw agar mendapatkan restu berjihad. Namun, Nabi saw justru tidak
mengizinkannya karena ia harus merawat orangtuanya, tidak membiarkan
orangtuanya terlantar karena ditinggal berperang. "Apakah engkau mempunyai
orangtua?" Tanya Nabi singkat. "Ya, tinggal ibu saja." Jawab
pemuda gigih itu. "Kalau begitu, rawatlah dia, karena surga ada di bawah
kedua telapak kakinya." Pinta Nabi. (HR. al-Nasai dan Ahmad).
"Karena itu, dalam falsafah Jawa, anak itu bisa menjadi 'Anak-Anik-Anuk.'
Anak (Anakno) berarti mengadakan yang tidak ada. Karena anak,
banyak barang yang tadinya tidak ada menjadi ada; mainan, baju, dan segala
perlengkapan anak. Di sinilah anak menjadi perhiasan kehidupan (zînatul
hayatid dun-ya). Anak bisa menjadi anik (anikso) berarti menyiksa
orang tua (al-Quran menyebutnya dengan istilah fitnah), jika
salah asuh, salah menafkahi, dan salah mendoakannya. Terakhir, anak pun bisa
menjadi anuk (anukari) yang berarti memusuhi ('aduwwun), karena
salah mendidik, tidak sesuai dengan tuntunan Nabi saw." Demikianlah guru
kami mengajarkan.
مسند أحمد بن حنبل - (ج 2 / ص
509)
10618 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا حماد بن سلمة عن عاصم بن
أبي النجود عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم Y ان الله عز و جل ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول يا رب
أنى لي هذه فيقول باستغفار ولدك لك K إسناده حسن من أجل عاصم بن أبي النجود وهو ابن بهدلة وباقي رجاله
ثقات رجال الصحيح
0 komentar:
Post a Comment