From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, November 24, 2010

RASULULLAH: BAPAK PERDAMAIAN DUNIA

RESUME DISERTASI

HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

DALAM PERSPEKTIF HADIS KARYA JA’FAR ASSAGAF

Oleh: AHMAD ‘UBAYDI HASBILLAH

ABSTRAK

Dalam abstraksinya, Ja’far Assagaf menyatakan bahwa Disertasi yang ia tulis membuktikan adanya sikap kooperatif, terbuka dan toleransi dalam hadis Nabi Muhammad saw terkait hubungan dengan non Muslim. Dengan begitu, menurut Ja’far, sebagian penegasan al-Qurt}ubî (w. 671 H) (Ja@mi’ al-Baya@n li Ah}ka@m al-Qur’a@n, Cairo, 1372 H), al-Nawawi@ (w. 676 H) (Syarah al-Nawawi@, Beirut, 2000) dan Ibn Hajar (w. 852 H) (Fath} al-Ba@ri@, Beirut, 2000) mengenai hadis terkait dengan perang, hukuman dan kebijakan di masa Nabi saw terhadap non Muslim, sebagai keputusan final dan general adalah tidak tepat.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat Jafar Assagaf tertarik untuk membuat penelitian doktoralnya ini dalam masalah hubungan antara muslim dengan non muslim sebagaimana terekam dalam hadis-hadis nabi saw. Dari judulnya, Disertasi Ja’far ini tampak masih penasaran dan belum dapat memastikan bagaimana sikap nabi saw terhadap orang-orang yang memiliki idiologi berbeda, bahkan bertentangan. Namun, judul Disertasi yang abstrak itu sebenarnya ingin membangun konsep kerukunan umat beragama ala nabi untuk kemudian diterapkan dalam konteks kekinian sebagai upaya deradikalisasi Islam. Ini karena, menurut Ja’far, dalam berislam seseorang harus menjadikan nabi saw sebagai patron untuk diteladani sepak terjangnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (Qs. Al-Ah}za@b: 21). Melalui ajaran-ajaran perdamaian yang disampaikan nabi saw inilah, Ja’far berharap dengan disertasinya ini dapat turut berkontribusi aktif dalam menyelesaikan konflik antar agama di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim ini. Tak hanya itu, ia juga berharap agar sumbangsihnya di bidang akademik ini dapat bermanfaat untuk misi-misi perdamaian global.

Kondisi masyarakat pada masa nabi sendiri sebenarnya tidak sedamai yang dibayangkan. Untuk menciptakan perdamaian sangatlah besar tantangnnya. Nabi sendiri pun menerima banyak penghianatan, khususnya dari kelompok yang berada di lintas ideologi itu (non muslim). Penghianatan Yahudi terhadap Piagam Madinah, juga kaum Kafir Quraish Makkah misalnya membuat umat Islam yang sebelumnya sangat inklusif menjadi eksklusif dan cenderung hilang semangat toleransinya terhadap umat agama lain. Transformasi ideologi keberagamaan seperti ini lah yang menimbulkan pertanyaan besar, khususnya bagi orang-orang non muslim. Islam yang dalam teks sucinya disebut sebagai agama rah}matan lil ‘alami@n (Qs. al-Anbiya@: 107), ternyata sangat ekslusif, bahkan di masa-masa awal kelahirannya sekalipun.

Meski banyak sekali hadis-hadis nabi saw yang secara tekstual mengajarkan perdamaian dan sikap inklusif, namun masih tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait eksklusifitas muslim. Dalam beberapa hal penanganan kasus dan kebijakan nabi sendiri dikesankan sangat diskriminatif terhadap non muslim sehingga menimbulkan hubungan yang disharmoni. Ini terlihat misalnya dalam kebijakan hukuman mati bagi orang yang murtad, perintah menjawab salam sekadarnya serta larangan memulai mengucapkan salam kepada non muslim, pembunuhan terhadap personil non Muslim, pemberlakuan al-jizyah, dan perintah untuk memerangi dan mengusir komunitas non Muslim dari Jazirah Arab.

Untuk mengkaji masalah studi agama dan perdamaian masa, Ja’far menggunakan tiga cara memahami hubungan Muslim dengan non Muslim yang terdapat dalam teks-teks agama (al-Qur’an dan hadis) dan peristiwa di masa Nabi. Pertama, pemahaman terhadap teks yang kontradiktif tentang hubungan Muslim dengan non Muslim, terkesan tidak mengkonfirmasikan teks-teks dengan konteks ketika itu. Kalaupun terdapat konteks di belakang terjadinya peristiwa yang kontradiktif tersebut, teks-teks yang justru memperlihatkan praktek baik Nabi saw. Terhadap komunitas non Muslim dianggap batal dengan teks-teks yang cenderung terlihat diskriminatif terhadap non Muslim, seperti dalam kasus perang dan al-jizyah, karena telah terjadi na@sikh-mansu@kh. Kedua, pemahaman teks-teks agama berusaha melihat konteks atau latar belakangnya, tapi pemahaman tersebut lebih berdasarkan pertimbangan logika dari pada konteks peristiwa di masa Nabi saw. sehingga muncul misalnya pendapat tentang kebolehan kawin beda agama secara general. Ketiga, pemahaman tentang hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw., tidak jarang muncul penilaian sepihak bahwa Islam di masa tersebut disebarkan dengan kekerasan sebagaimana telah dikemukakan. Kemungkinan ini disebabkan informasi yang ada sangat terbatas, maka fakta yang ada hanya sebagai peristiwa yang berdiri sendiri tanpa ada keterangan atau penjelasan lanjutan yang bersifat komprehensif.

Maka, untuk melihat hubungan antara muslim dan non muslim sebagai upaya terwujudnya perdamaian antar pemeluk agama, hadislah yang menjadi topik sentral. Ini karena, menurut Ja’far, hadis dapat merekam kisah-kisah dan ragam kejadian masa nabi secara otentik, valid dan sangat akurat.

Sumber utama disertasi yang terdiri dari enam bab ini adalah hadis-hadis dalam al-kutub al-sittah, kitab hadis standar lainnya, kitab syarah hadis di antaranya Sharh} Muslim karya al-Nawawi@, Fath} al-Ba@ri@ karya Ibn Hajar, ‘Awn al-Ma’bu@d karya Abu@ T}ayyib al-‘Az}i@m A@ba@di@. Data-data dibaca dengan standar ilmu hadis yang meliputi penilaian kualitas hadis, kosa-kata hadis (ilmu G}ari@b al-H}adi@th), pemahaman kandungan hadis melalui teori al-jam’ dan al-tarji@h}. Untuk menganalisa data yang ada, ilmu hadis dibantu dengan pendekatan sejarah, melalui data dalam kitab sejarah mu’tabarah di antaranya al-Si@rah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisya@m (w. 218 H), al-T}abaqa@t al-Kubra@ karya Ibn Sa’d (w. 230 H) dan al-Ka@mil fi@ al-Ta@ri@kh karya Ibn al-Athi@r (w. 630 H).

Sumber utama disertasi ini adalah hadis-hadis dalam kutub al-sittah, kitab hadis standar lainnya, kitab syarah hadis di antaranya Syarah Muslim karya al-Nawawî, Fath al-Bârî karya Ibn Hajar, `Aun al-Ma`bûd karya Abû Thaiyyib al-Âbâdî. Data-data dibaca dengan standar ilmu hadis yang meliputi penilaian kualitas hadis, kosa-kata hadis (ilmu Gharîb al-Hadîts), pemahaman kandungan hadis melalui teori al-jam`u dan altarjîh. Untuk menganalisa data yang ada, ilmu hadis dibantu dengan pendekatan sejarah, melalui data dalam kitab sejarah mu`tabarah di antaranya al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyâm (w. 218 H), Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa’d (w. 230 H) dan al-Kâmil fî al-Târîkh karya Ibn al-Atsîr (w. 630 H).

BAB II

KONTEKS HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Setidaknya, Penulis telah mengidentifikasi bahwa di dalam al-Quran dan hadis terdapat tujuh term khusus yang menunjukkan makna non muslim. Masing-masing memiliki cakupan makna yang berbeda, karena dipakai dalam konteks yang berbeda-beda pula. Mengingat bahasa al-Quran dan hadis diyakini mengandung nilai kemukjizatan yang tinggi, maka pastilah pemakaian istilah khusus tersebut memiliki maksud tersendiri ketika diungkapkan dalam konteks yang berbeda. Ketujuh istilah itu adalah Ahl al-Kita@b, Ahl al-Dhimmah, Ahl al-‘Ahd (Mu’a@had), Syirk (Musyrik),. Kufr (Ka@fir), Riddah (Murtadd), dan Al-Jizyah.

Istilah Ahl al-Kita@b disebut dalam al-Quran sebanyak 31 kali, dan digunakan untuk menunjuk pada dua komunitas agama besar, Yahudi dan Nasrani, tanpa dibatasi personil (Bani Israil, misalnya), waktu (masa nabi Musa dan Isa, misalnya), dan juga tempat. Kesimpulan Penulis ini membantah pendapat al-Shafi’i@ yang berpendapat demikian. Hal ini, menurut Penulis, disebabkan sekian banyak ayat al-Qur’an dan teks-teks hadis saat menyebutkan Ahl al-Kita@b mengindikasikan pada dua komunitas ini secara umum, tanpa dibatasi oleh komunitas, ruang, dan waktu. Ini juga dikuatkan oleh beberapa sabab nuzu@l terkait dengan ayat-ayat yang membicarakan dua komunitas tersebut. Dakwah rasulullah saw ke Ethiopia yang berpenduduk mayoritas Kristen (Nasrani) non Bani Israil, merupakan salah satu bukti bahwa mereka juga termasuk Ahl al-Kita@b, sebagaimana terlihat dalam sikap nabi saw terhadap rajanya, Naja@shi@.

Penulis tidak memasukkan Maju@si@ dan S}a@biu@n ke dalam kelompok Ahl al-Kita@b sebagaimana pendapat sebagian ulama karena dalam surat rasulullah saw kepada Kisra@ Persia (Maju@si@) berbeda dengan suratnya untuk Heraklius Romawi (Kristen). Surat ke kisra tidak menyebutkan bila ia masuk Islam, akan memperoleh pahala dua kali lipat, sedangkan surat ke Heraklius menyebutkan hal tersebut. Fakta ini diperkuat hadis Rasul saw yang menyatakan 3 kelompok akan memperoleh dua kali lipat pahala, salah satu di antaranya yaitu ahl al-kita@b yang beriman pada Nabinya kemudian beriman juga pada Rasul saw. Penjelasan ini menunjukkan bahwa penganut Majûsi bukanlah termasuk Ahl al-kita@b. Dengan demikian, penganut S}abi’i@n, Budha, Hindu dan agama lainnya juga bukan termasuk ahl al-kita@b.

Istilah Ahl al-Dhimmah Kata al-dhimmah terulang dua kali dalam al-Qur’an, dalam konteks perjanjian antara kaum Muslim dengan musyrik (QS. al-Taubah:8 dan 10). Dalam terminologi, al-dhimmah berarti perjanjian bagi mereka yang tinggal di wilayah Islam saat terjadi pembukaan suatu negeri oleh kaum Muslim. Perjanjian itu berupa jaminan keamanan jiwa, harta, agama dan hak lainnya dari mereka yang mengadakan perjanjian dengan ketentuan harus membayar pajak (al-jizyah). Biasanya ahl al-dhimmah terdiri dari Yahudi, Kristen dan komunitas yang dianggap seperti mereka, misalnya Majusi.

Sedangkan istilah Ahl al-‘Ahd (Mu’a@had) adalah untuk non Muslim, yaitu kâfir secara umum yang sebenarnya kafir h}arbî. Namun mereka melakukan perjanjian dengan kaum Muslim, yang berisi jaminan keselamatan mereka maupun lainnya. Perjanjian Muslim dengan mereka dapat berupa saling membantu atau membela maupun tidak. Tapi mereka wajib tidak menyerang kaum Muslim sebagaimana Muslim wajib memelihara hak dan kewajiban mereka. Biasanya perjanjian tersebut bersifat sementara.

Dalam kaitan ini, terdapat term musta’man yaitu non Muslim yang bermukim sementara atau bertamu di negara Islam. Atau non Muslim yang meminta perlindungan dan keselamatan diri dan hartanya, namun hak dan hukum negara tidak diperlakukan pada mereka sebagaimana pada ahl al-dzimmah. Mereka wajib dilindungi selama berada dalam perlindungan Muslim. Perbedaan mereka dengan dzimmî terletak pada tempat domisili dan batasan jaminan keamanan.

Sementara itu, istilah Syirk (Musyrik) digunakan untuk menunjuk pada perbuatan menduakan Allah, atau menganggap ada lebih dari satu tuhan selain Allah swt. Dengan cara menjadikan sekutu bagi Allah swt dalam menyembahnya, menyembah selain Allah, dan atau menyembah Allah dan selain-Nya secara bersamaan. Sebenarnya kaum musyrik secara sadar ‘mengerti’ bahwa ada tuhan yang tertinggi yaitu Allah, namun mereka memerlukan perantara agar lebih dekat dengan zat Yang MahaEsa (QS. Yu@nus:18; al-Naml:60-64; al-Zumar:3), sehingga terjadilah penyimpangan dari aqidah Ibrâhîm as. Keterangan di atas, menjadikan kelompok musyrik di masa itu terbagi dua, yaitu: (1) mereka yang menyembah patung; (2) mereka yang menyembah patung sebagai perantara menyembah Allah. Dalam bahasan selanjutnya, musyrik ditujukan pada dua kelompok tersebut dan biasanya mereka berdomisili di wilayah Hijâz, dan Mekkah sebagai pusat peribadatan mereka.

Term Kufr (Ka@fir) identik dengan sikap menutup diri dari kebenaran. Dalam Disertasi ini, Penulis menggunakan istilah tersebut untuk kuffa@r atau kaum musyrik di Mekkah maupun musyrik dari suku-suku Arab lainnya. Pada bahasan tertentu dalam kajian ini, Penulis juga memakai kata kafir untuk ahl al-kita@b dengan menyebutkan sebagai kâfir kitâbî, mengingat makna kafir mencakup komunitas musyrikîn maupun ahl al-kitâb (QS. al-Bayyinah:1).

Sementara kata riddah (murtadd) digunakan secara spesifik untuk menunjuk pada orang yang keluar dari agama Islam. Sedangkan term jizyah dipakai untuk mengungkap sejumlah harta yang wajib dibayarkan oleh Ahl al-dhimmah atau kuffa@r dengan perjanjian yang spesifik.

Beberapa konteks yang dijelaskan terkait hubungan Muslim dengan non Muslim menunjukkan bahwa komunitas non Muslim secara umum disebut kâfir yang terbagi menjadi dua yaitu ahl al-kitâb dan musyrik. Kedua komunitas ini di masa Nabi saw. ada yang berstatus sebagai ahl al-dzimmah atau ahl mu`âhad maupun yang secara terang-terangan memusuhi kaum Muslim. Konteks hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw. juga diwarnai dengan tindakan sebagian Muslim yang berubah menjadi non Muslim melalui tindakan murtad. Selain itu, terdapat kebijakan tertentu bagi komunitas non Muslim yang hidup damai dengan kaum Muslim di antaranya melalui pemberlakuan al-jizyah. Semua konteks tersebut, berlangsung pada situasi dan kondisi di masa Rasulullah saw. yang kerap kali akan memunculkan perdamaian di samping adanya konflik. Beberapa konteks yang telah dijelaskan, hubungan Muslim dengan non Muslim berikutnya akan ditelusuri melalui hadis-hadis Nabi saw. sebagai sentral bahasan disertasi ini.

BAB III

HADIS-HADIS MENGENAI TINDAKAN MURTAD DAN PRAKTIK MENJALANKAN AJARAN AGAMA BAGI NON MUSLIM

A. Pemahaman Hadis-hadis tentang Murtad

Tindakan murtad atau konversi agama dinilai cukup kontroversial bila diukur dengan hak setiap individu untuk memilih agama yang ia yakini. Namun secara normatif terdapat hadis yang tegas berisi perintah membunuh pelaku tersebut, seperti riwayat al-Bukhârî dari Ibn `Abbâs. Hadis di atas diriwayatkan dari jalur sanad yang bermacam-macam. Beberapa jalur riwayat merinci peristiwa tersebut dengan perbedaan matan, tapi tidak menyebabkan perbedaan arti secara substansi, bahkan cenderung mirip antara redaksi satu dengan lainnya. Perbedaan dimaksud hanya terletak pada kata badala di@nahu@ yang diganti dengan kata irtadda dalam riwayat ‘Abd Razza@q (w. 211 H) dan al-T}abara@ni@ (w.360 H). Atau kata tersebut diganti dengan ghayyara di@nahu@ dan kata fa uqtulu@hu diganti dengan kata fa id}ribu@ ‘unuqahu@ dalam riwayat Ma@lik (w. 179 H). Namun semua perbedaan tersebut menunjukkan instruksi yang sama, yaitu membunuh orang yang murtadd.

Eksekusi mati orang yang murtadd dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dibunuh, disalib, dan/atau diasingkan. Hadis-hadis tentang sanksi pidana terhadap orang murtadd ini diriwayatkan secara maknawi. Masing-masing melegalkan hukuman mati bagi pelaku murtad. Melalui pengertian kosa kata, hadis tentang tiga golongan memperoleh hukuman mati, menjelaskan pelaku murtad akan dieksekusi bila dibarengi dengan memusuhi Allah dan Rasulullah. Namun ada pula hadis lain yang secara teks berisi perintah membunuh siapa saja yang murtad atau mengganti agamanya. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa pelaku murtad ada yang dieksekusi karena melakukan pelanggaran religius semata, dan ada juga yang melakukan kejahatan publik. Ada pula pelaku murtad yang diamnesti sedangkan pada saat yang sama ia tidak melakukan kejahatan publik.

1. Kisah Suku ‘Ukl dan ‘Urainah

Riwayat hadis secara lengkap yang memuat kisah kedatangan suku ‘Ukl dan ‘Urainah menemui nabi saw, sebagaimana disampaikan al-Bukha@ri@, diperkirakan terjadi pada + 6 H. Jumlah mereka sebagaimana dituturkan dalam riwayat Muslim dan Ah}mad bin H}anbal, adalah delapan orang. Riwayat al-Bukha2ari tidak mengungkap secara jelas bahwa mereka semua masuk Islam atau tidak. Hanya saja, riwayat al-Nasa@’i@ dan lainnya menyatakan mereka masuk Islam semua kemudian murtad setelah pulang dari Madinah. Seua riwayat menegaskan bahwa ketika telah tinggal dalam beberapa saat di Madinah, mereka merasa tidak betah sehingga nabi memerintakan mereka melakukan terapu urine unta. Setelah mempraktikkan instruksi ini, mereka pun sembuh. Namun, setelah itu mereka justru membunuh gembala unta. Bahkan pembunuhan itu bermotif pencongkelan mata dengan besi panas hingga buta. Berita tindak kriminal mereka ini kemudian samapi pada nabi dan mereka pun dikejar untuk kemudian diperlakukan sama dengan korban, atas instruksi dari nabi. Ini menunjukkan bahwa kedua suku tersebut dihukum mati karena murtad dan melakukan kejahatan publik.

2. Kisah Yahudi di Yaman

Yahudi yang dieksekusi mati di Yaman ini, tidak melakukan kejahatan publik seperti yang dilakukan oleh penduduk kedua suku Ukl dan Urainah di atas. Ini dituturkan dalam riwayat Ibn H}anbal dari Abu@ Mu@sa@ al-Ash’ari@ (w.50 H). Yahudi tersebut digambarkan sedang terikat (diborgol) seperti dipahami dari kata mu@thaq, sehingga menimbulkan keheranan pada Mu’a@dh (w. 18 H) yang saat itu juga bersama Abu@ Mu@sa@ diutus ke Yaman. Tapi keheranan tersebut hilang setelah dijelaskan Abu@ Mu@sa@ bahwa Yahudi tersebut murtad (thumma ra@ja’a di@nahu@ di@n al-su@’ fa tahawwada).

Dari tinjauan matan, tidak ada kontradiktif. Sekalipun dalam mengisahkan jalannya peristiwa tersebut, terdapat kisah yang agak berlainan. Tapi riwayat Ibn H}anbal di atas dan versi al-Bukha@ri@, keduanya saling mendukung adanya pengutusan dua sahabat tersebut ke Yaman dan eksekusi Yahudi dimaksud, yang terjadi sebelum atau setelah perang Tabuk di tahun 9 H. Peristiwa eksekusi Yahudi Yaman, juga kontradiktif dengan amnesti dari Nabi saw. terhadap personil tertentu yang murtad.

3. Amnesti terhadap ‘Abdullah ibn Abi@ al-Sarh}

Saat Fath Makkah (8 H), terdapat beberapa tokoh kuffar yang harus dibunuh sesuai instruksi Nabi saw, termasuk pelaku murtad seperti Ibn Abi@ al-Sarh} dalam riwayat Abu@ Da@wud. Namun tidak demikian faktanya, karena ternyata ada amnesti dari nabi saw untuk Ibn Abi@ Sarh}, seperti dimuat dalam al-Nasa@’i@. Dalam riwayat ini disebut jelas kronologi peristiwa itu disertai dengan instruksi dari nabi untuk membunuh setiap personil tertentu (uqtulu@hum wa in wajadtumu@hum muta’alliqi@na bi asta@r al-Ka’bah). Ungkapan itu menunjukkan kesungguhan mengeksekusi mati orang yang berbuat kejam pada umat Islam, termasuk murtad. Abdullah bin Sa’d bin Abi@ Sarh} yang pernah menjadi penulis wahyu itu, akhirnya selamat melalui jaminan ‘Utsma@n ra (w. 35 H) sebagaimana terlihat dalam salah satu hadisnya. Sikap nabi ini menyisakan sebuah pertanyaan kenapa ia tidak dibunuh, sementara Ibn Khathal dan Miqyâs bin Shuba@bah. Untuk memahami hal ini, harus dipahami terlebih dahulu bahwa Abdullah saat itu berlindung pada Uthma@n dengan dua pendekatan: (1) ‘Utsma@n saudara sesusuannya sebagaimana dinyatakan Abu@ Da@wud; (2) Utsman dekat dengan Nabi saw. Menurut al-Sindi@ (w.1138 H), penggalan hadis ama@ ka@na fi@kum rajulun rashi@d dalam riwayat Abu@ Da@wu@d, berarti orang yang cerdik mengambil keputusan yang tepat. Sebenarnya, saat itu nabi sedang membutuhkan orang yang mengerti dengan bahasa diamnya, agar membunuh Ibn Abi@ al-Sarh}. Dengan demikian, benarkah ia mendapat amnesti karena berlindung di balik Uthma@n? Dan apakah pelaku murtad yang tidak disertai kejahatan public juga harus dibunuh? Dengan demikian, tidak semua pelaku murtad harus dieksekusi mati, melainkan ada kemungkinan untuk diamnesti, terutama jika tidak melakukan kejahatan publik.

B. Hak Memilih Agama versus Murtad

Melihat hukuman untuk orang yang murtad di atas tampak pelik memang jika dikaitkan dengan konsep Islam tentang tidak ada paksaan dalam memilih agama (Qs. Al-Baqarah:256). Karena itu kasus konversi agama (murtad) harus dilihat secara lebih spesifik terkait dengan hadis-hadis tentang instruksi membunuh orang yang pindah agama.

Jika ditelisik lebih dalam seharusnya kasus Ibn Abi@ al-Sarh} itu jauh lebih berat dibandig dengan Yahudi Yaman yang dibunuh karena murtad meski tidak melakukan kejahatan publik. Karena Ibn Abi@ al-Sarh} adalah mantan pencatat wahyu yang seharusnya bisa konsisten dalam ketaatan, bukan kemudian pindah agama. Namun orang seperti ini justru di berikan amnesti oleh nabi. Kasus ini juga dapat dipahami misalnya karena yang menghadapi kasus Yahudi Yaman adalah sahabat, sementara Ibn Abi@ al-Sarh} dihadapi oleh nabi saw secara langsung.

Karena itu, Dalam dua kasus murtad di atas, penulis melihat tiga hal yang menyebabkan muncul kebijakan yang berbeda: (1) hukuman yang harus ditimpakan pada ‘Abdullah adalah dibunuh. Namun karena ada jaminan, maka ‘Abdullah diampuni; (2) Harus dilihat kalau kasus `Abdullah bin Sa`ad bin Abi Sarh langsung dihadapi Rasul saw, sedangkan kasus Yahudi Yaman dihadapi oleh sahabat. Nabi saw. mengetahui kasus Yahudi melalui informasi dari kedua sahabat tersebut. Dengan fakta ini, penulis cenderung bila Nabi saw., yang menghadapi langsung kasus Yahudi Yaman, ada kemungkinan diamnesti. Sebab Yahudi tersebut walaupun telah melakukan pelanggaran religius, tapi ia tidak melakukan pelanggaran publik. Karena itu, ia masih mungkin dapat amnesti, dengan adanya alasan (3) bukan hanya Abdullah bin Abi@ Sarh} yang harus dibunuh, tetapi terdapat juga Abdullah bin Khathal dan Miqyas bin Shuba@bah. Kedua orang ini juga dibunuh bukan karena murtad saja, tapi mereka juga membunuh orang Muslim.

Bahkan jika dilihat dari perspektif historis, eksekusi bagi pelaku murtad lebih tepat masuk dalam wilayah pelanggaran sipil atau kejahatan publik dan bukan pelanggaran religius. Ini karena pada masa nabi, kondisi keberagamaan masyarakat masih relative tidak stabil, dan banyak terjadi perang. Sehingga jika ada yang melakukan konversi agama, maka sangat membahayakan keamanan Islam. Maka, kasus murtad sama halnya sebuah pembelotan militer di masa kini.

Dalam konteks kekinian, muncul pemikiran untuk meniadakan eksekusi mati terhadap pelaku konversi agama, termasuk di negara yang berlandaskan syariat Islam. Dengan alasan bahwa di era globalisasi ini, belahan dunia manapun telah menjadi persinggungan agama-agama besar maupun kecil. Dalam sebuah Negara Islampun terdapat beragam etnis, suku, budaya termasuk agama. Karena alasan ini dan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM), pendapat ini menganggap eksekusi mati akibat dari konversi agama tidak relevan lagi, dan patut ditiadakan.

Berdasarkan data dan fakta-fakta historis seperti yang tertuang dalam hadis-hadis rasulullah dalam menyikapi orang yang murtad, paling tidak ada beberapa catatan terkait dengan hak memilih agama yang dilindungi Undang-undang Negara. Pertama, Islam sekalipun sebagai agama universal untuk umat manusia, namun memberikan hak pilih pada setiap individu untuk memilih agama yang ia yakini. Karena itu, Islam tidak memaksa kepada individu manapun untuk menjadi seorang Muslim. Namun di saat yang sama, bila orang tersebut telah memilih menjadi Muslim, secara otomatis ia mesti terikat dengan peraturan Islam. Konsekuensi ini sangat rasional, kalau tidak demikian maka setiap orang dapat berganti agama sesuka hati, dengan menjadikan agama sebagai mainan. Selain itu, murtad dapat memproduk kepribadian ambivalen dalam jiwa individu. Berkepribadian ganda di era sekarang, justeru sangat tercela terutama bagi sebuah negara yang membutuhkan kesetiaan setiap warganya. Analogi ini cukup sederhana, karena fenomena yang ada menerangkan tidak sedikit orang dieksekusi mati, hanya karena ia berkhianat pada negara, organisasi,53 bahkan melakukan transaksi narkoba yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial masyarakat. Atau dengan membocorkan rahasia Negara tertentu. Apalagi dalam maslah konversi agama, yang bagi sebagian besar orang selalu dijunjung lebih tinggi daripada Negara.

Kedua, atas nama hak asasi manusia juga, seyogyanya setiap negara diberi kebebasan mengatur rumah tangganya. Karena itu, permasalahan konversi agama layak dikembalikan kepada setiap negara, termasuk yang menganut adanya hukuman tersebut. Tanpa harus ada campur tangan pihak-pihak tertentu.

Ketiga, walaupun demikian, hukum mati terhadap pelaku konversi agama dapat saja dibatalkan dengan melihat konteks tertentu, sebagaimana kasus Abdullah bin Abi@ Sarh}, atau bahkan dapat diganti dengan hukum lain yang memiliki kesan jera bagi pelakunya.

Dengan demikian, murtad secara mendasar tetap dihukum, namun dengan kualifikasi bila tindakan itu membawa dampak bagi masyarakat sosial, dan tentu hal ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak berlandaskan syari`at Islam seperti Indonesia.

C. Pemahaman Hadis-hadis tentang Praktek Ibadah non Muslim

Pembicaraan mengenai hubungan muslim dengan non muslim tidak akan pernah lepas dari kajian masalah tata cara menyikaspi pelaksanaan ritual atau ibadah masing-masing agama. Maka, langkah penulis sudah sangat tepat dengan mencantumkan hadis-hadis terkait sikap nabi terhadap ritual yang dilakukan oleh orang yang berseberangan ideology dengannya.

1. Puasa ‘A@syu@ra@’ bagi non Muslim

Orang-orang non Muslim, Yahdui, Nasrani, (Kristen) dan Musyrikin Quraish telah memiliki kebiasaan berpuasa pada hari ‘A@shu@ra@ sejak lama sebelum kedatangan Islam. Mereka. Keterangan tersebut dapat diperoleh dari hadis-hadis riwayat al-Bukha@ri@ dan Muslim. Dengan demikian, puasa A@shu@ra@ merupakan tradisi ritual tiga komunitas agama sekaligus di Jazirah Arab saat itu. Menyusul kemudian, Islam datang dan turut meneruskan tradisi sukunya sebelum turun perintah puasa Ramadhan. Pada tahun 2 H tepatnya, umat Islam barulah mendapat isntruksi dari Allah swt untuk melakukan puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Meski demikian, nabi saw tetap tidak melarang tradisi Yahudi Madinah yang juga melakukan puasa ‘A@shu@ra@ itu. Hanya saja nabi saw menginginkan perbedaan dengan puasa Ahl al-Kitab Madinah, Maka puasa hari tersebut juga direncanakan pada satu hari sebelumnya, tanggal 9 Muharram (ta@su’a@) sebagaimana riwayat Muslim.

Kebiasaan puasa kaum mushrik dan Ahl al-Kita@b tersebut, terus berlangsung sampai menjelang Rasulullah saw wafat seperti disinyalir dalam riwayat Muslim. Hal ini berarti selama Nabi saw. hidup, praktek ritual ‘A@syu@ra@’ dari komunitas non Muslim tersebut tidak pernah dihalangi apalagi dilarang oleh Islam.

2. Larangan Haji bagi non Muslim

Berbeda dengan puasa ‘A@shu@ra@, kebijakan Nabi melalui al-Qur’an terhadap komunitas musyrik dalam melaksanakan ritual haji cenderung dihalangi. Bahkan mereka sama sekali tidak diperkenankan memasuki area Masjidil Haram (Qs. Al-Taubah:28). Ritual haji yang telah menjadi tradisi kaum mushrikin Quraish sejak lama sebelum Islam datang. Namun satu tahun setelah Fathu Makkah, tepatnya pada 9 H, nabi saw melarang mereka untuk melakukan ibadah haji terhitung mulai tahun ke-10 H hingga selamanya (HR. al-Bukha@ri@).

Menurut Penulis, larangab berhaji bagi kaum Mushrikin disebabkan oleh dua hal: pertama, adanya kesamaan ritual antara kaum Muslim dengan musyrik. Sebab kedua komunitas ini sama-sama meyakini keharusan melakukan ibadah haji, dan pelaksanaan ibadah tersebut di tempat dan waktu yang bersamaan. Dengan demikian bila pelaksanaan ibadah haji bagi dua komunitas tersebut pada waktu dan tempat yang berbeda, maka diduga kuat larangan haji bagi musyrik tidak akan ada. Alasan ini lahir dari alasan berikutnya yang lebih mendasar. Kedua, alasan menjaga kemurnian aqidah. Karena pelaksanaan ibadah haji di tempat dan waktu yang sama antara kaum Muslim dengan musyrik, menyebabkan adanya percampuran dalam melakukan ibadah. Padahal hal tersebut terlarang bagi kaum Muslim. Berikutnya, ibadah haji adalah warisan dari syariat Ibrâhîm as., karena itu ia harus dikembalikan sebagaimana awal disyari’atkannya ibadah tersebut.

3. Tempat Ibadah non Muslim

Penulis menemukan banyak sekali hadis-hadis yang menyebutkan gereja-gereja (kani@sah) yang dibiarkan eksis oleh rasulullah saw. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pertemuan rasulullah dengan para pemuka Nasrani juga dilakukan di dalam gereja, seperti ketika bertemu Buhaira (Bahi@ra) sewaktu nabi pergi berdagang ke Syam bersama pamannya, Abu T}alib. Dalam riwayat Ah}mad bin H}anbal, rasulullah juga pernah dikabarkan pernah masuk kani@sah milik Yahudi di Madinah, bersama ‘Auf bin Ma@lik bin Abi@ ‘Auf al-Ashja’i@ (w.73 H). Keberadaan gereja Maria di negeri Habashah juga tetap dibiarkan ada pada masa nabi sebagaimana dikabarkan dalam riwayat al-Bukha@ri@. Bahkan nabi sendiri juga memberikan izin dan perlindungan terhadap keberadaan, dan pembangunan tempat-tempat ibadah non Muslim. Saat melakukan perjanjian dengan Kristen Najra@n misalnya, nabi memberikan jaminan bahwa gereja mereka tidak akan roboh, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu@ Da@wu@d dari Ibn ‘Abba@s (Hadis no. 3041). Bahkan ketika bangsa Najra@n diserang oleh kerajaan H}imyar dan beberapa etnis di Yaman sehingga terjadilah peristiwa As}h}a@b al-Ukhdu@d, pembantaian Kristen Najr@an (+523 M), sebelum rasul diutus, disepakatilah sebuah perjanjian damai antara keduanya. Maka, rasul pun turut mengantisipasi bila perjanjian Yaman rusak, maka Kristen Najra@n harus dilindungi, termasuk agama, tempat ibadah, pastor, dan tidak boleh dihalangi jika hendak menyebarkan agamanya.

Di lain pihak, rasul juga pernah membuat kebijakan untuk mengalih fungsikan gereja menjadi sebuah masjid, sebagaimana riwayat al-Nasa@’i@. Selain itu, rasulullah juga memerintahkan agar seluruh patung berhala dan situs-situs peribadatan mushrikin di Baitullah dihancurkan semua. Hanya saja, perintah pengalifungsian gereja menjadi masjid itu dilatarbelakangi oleh masuk Islamnya T}alaq bin Ali dan segenap rombongannya. Maka, gereja tidak lagi diperlukan. Dengan demikian, dalam konteks kekinian, tempat ibadah yang telah lama ditinggalkan penganut agamanya, dapat dialihfungsikan menjadi sebuah masjid melalui kesepakatan dengan pihak terkait. Sementara alasan utama penghancuran situs-situs musyrikin di Baitullah karena dua alasan: (1) pemurnian tauhid, karena faktanya ajaran mereka telah mengalami banyak sekali penyimpangan, dan (2) alasan sosial politik, karena terjadi permusuhan antara musyrikin dengan muslim.

Dengan demikian, tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menghancurkan atau melarang pendirian tempat ibadah bagi non muslim meskipun jumlah mereka minoritas. Maka, hak antara muslim dengan non muslim adalah sama, dan keduanya harus saling menghormati dan menghargai.

Berdasarkan uraian-uraian di Bab ini, membuktikan bahwa tindakan murtad merupakan pelanggaran religius maupun publik secara bersamaan. Namun tindakan tersebut memiliki peluang amnesti bila tidak dibarengi dengan kejahaan publik. Jaminan melaksanakan ibadah dan melestarikan tempat ibadah diberikan pada non Muslim. Ketika beribadah, kaum Muslim tidak diperbolehkan bersama non Muslim berada di tempat yang sama, untuk melaksanakan ibadah yang diyakini bersama seperti ritual haji yang diyakini oleh kaum Muslim maupun musyrik.

BAB IV

HADIS-HADIS TENTANG INTERAKSI SOSIAL MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

A. Pemahaman Hadis-hadis tentang Interaksi Khusus dengan non Muslim

Maksud interaksi khusus dalam Disertasi ini adalah interaksi sosial, seperti perkawinan dan waris. Dalam masalah perkawinan beda agama, ada banyak sekali riwayat yang menyatakan kebolehan dan larangannya. Masing-masing berada dalam konteks yang berbeda-beda. Bahkan salah satu puteri nabi sendiri, Zainab dikabarkan bersuami seorang Musyrik, al-Rabi@’ Ibn Abu al-‘As}. Hanya saja, ketika berhijrah keduanya dipisahkan dan baru diizinkan kembali bersatu dalam rumah tangga setelah sang suami masuk Islam. Dalam hal ini, ada perbedaan perlakuan antara perkawinan muslim dengan wanita non muslimah, dan antara muslimah dengan pria non muslim. Bagi perkawinan jenis pertama, diperbolehkan karena memang ada dalil al-Qur’an yang menyatakan demikian. Sementara jenis perkawinan ke dua masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Hanya saja suara mayoritas menyatakan tidak boleh. Ini di samping karena adanya ketetapan dari al-Quran dan juga hadis nabi (termasuk kebijakan memisahkan puterinya dengan menantunya yang masing musyrik), juga karena madharatnya lebih besar bagi keimanan sang istri yang muslimah. Sementara itu, MUI dalam salah satu fatwanya menyatakan keharaman perkawinan beda agama dalam bentuk apapun. Alasan MUI memutlakkan keharaman ini adalah sebagai salah satu bentuk upaya mencegah bahaya yang sangat besar berupa korban keimanan, khususnya bagi keturunannya.

Sedangkan masalah waris-mewaris, adalah sangat terkait dengan hubungan perkawinan. Salah satu sebab seseorang dapat saling mewarisi adalah adanya hubungan perkawinan. Karena itu, Penulis berkesimpulan jika perkawinan lintas agama diperbolehkan, meski dalam bentuk-bentuk tertentu, maka hukum waris beda agama juga tetap berlaku dalam bentuk-bentuk tertentu sesuai dengan hukum perkawinannya.

Penulis melihat bahwa larangan waris beda agama tidak hanya berlaku ketika umat Islam berada dalam situasi tidak kondusif, atau ketika kaum Muslim lemah. Namun juga berlaku saat umat Islam berada di puncak kemenangan, dimana situasi keamanan secara umum telah dikendalikan kaum Muslim setelah Fath al-Makkah. Dari aspek ini pula, penulis melihat pendapat mayoritas ulama yang mengharamkan waris beda agama cukup beralasan. Di saat yang sama landasan konteks global hubungan Islam dan non Muslim saat itu, menjadi acuan sementara tim penulis Fiqih Lintas Agama untuk membolehkan non Muslim mewarisi harta Muslim adalah kurang tepat, sekalipun masih dapat dikembangakan lebih lanjut.

Berarti hanya alasan kedua dari mereka yang membolehkan non Muslim mewarisi harta Muslim, dapat diapresiasi lebih lanjut. Karena secara logika dapat dibenarkan bahwa Islam telah mengizinkan kawin beda agama, maka tentu akan ada waris beda agama. Sebab hubungan perkawinan memberikan dampak yang sangat banyak bagi kelangsungan satu keluarga.

Dasar lain kebolehan waris beda agama ini menurut penulis adalah analogi terhadap hak wala@ seorang mawla@ yang mewarisi bekas tuannya yang non muslim, sebagaimana dalam riwayat Ahmad. Hanya saja, argumentasi ini lemah karena hadis yang dijadikan dasar tertolak oleh hadis sahih riwayat al-Bukhari.

Kalaupun seandainya pendapat penulis itu ditolak dengan alasan apapun, maka sebenarnya interaksi khusus berupa hak waris beda agama dapat dilakukan dengan cara hibah, bukan waris. Ini karena hibah yang dilakukan antara seorang muslim dengan non muslim diakui sah dan boleh.

B. Pemahaman Hadis-hadis tentang Interaksi Umum dengan non Muslim

Interaksi umum yang dimaksud Penulis adalah hubungan sosial secara umum, yang lazim tejadi antar sesame warga masyarakat, seperti berdialog, berjual beli, berbuat baik, saling member hadiah, dan saling mengucapkan selamat pada hari-hari besar keagamaan antar agama.

Dalam hal berdialog dengan non Muslim, perlu dipahami bahwa dialog antara Nabi Muhammad saw dengan Yahudi maupun non Muslim lainnya, ada yang berkonotasi negatif dan ada pula yang positif. Ini dapat dilihat dari aspek keilmuan, antara Muslim dengan non Muslim, yang boleh berdiskusi atau bertukar ilmu bahkan pada masalah eskatalogi. Rasulullah saw membuka peluang bagi non Muslim untuk melakukan diskusi tentang eskatalogi seperti dialog tentang ru@h (HR. al-Bukha@ri@, no.125). Dengan demikian, dapat dipahami secara konteks bahwa kaum Muslim boleh menimba ilmu dari non Muslim. Ilmu harus dicari, apapun ilmu itu dan siapapun yang memberikannya, kaum Muslim tidak terlarang untuk menimba ilmu tersebut. Bahkan ada ulama membolehkan mempelajari ilmu sihir, tetapi tidak untuk dipraktekkan.

Dalam kasus jual beli dan hutang piutang antar agama, nabi sendiri juga sering melakukannya. Tidak hanya itu, nabi juga pernah dikabarkan melakukan transaksi gadai dengan salah seorang Yahudi, Abu@ Shah}m. dalam sebuah riwayat juga dikisahkan praktek jual beli sahabat dengan Yahudi yang diketahui oleh Nabi Muhammad saw. Berikutnya Rasulullah saw. sendiri melakukan secara langsung dengan membeli kambing yang dijual seorang musyrik. Musyrik tersebut dalam riwayat al-Bukha@ri@ dari ‘Abd Rahma@n bin Abu@ Bakr ra (w. 53 H). Ini cukup menjadi bukti bahwa jual beli antara muslim dengan non muslim tidak dilarang, kecuali jika memang terdapat larangan agama di dalamnya, misalnya menjual narkoba, minuman keras dan transaksi riba. Ini terlihat misalnya, dalam teks hadis jual-beli emas dengan Yahudi. Larangan dalam hadis itu ditujukan bagi mereka yang berbuat riba@, dengan cara menjual emas murni diganti kepingan perak, lalu ditambah dengan beberapa kepingan emas (dinar).

Hanya saja Yahudi yang bertransaksi dengan Nabi saw berstatus sebagai dhimmi@. Dalam hal ini, mayoritas ulama dan imam empat mazhab membolehkan Muslim menjual alat perang pada kaum dhimmi@. Namun di saat yang sama, mereka juga mengharamkan jual-beli atau menggadai peralatan perang pada kafir h}arbi@. Pendapat ulama ini dapat dikembangkan dalam konteks kekinian, yaitu bukan saja terlarang menjual peralatan perang pada mereka yang memusuhi Islam, tetapi juga terlarang melakukan segala jenis transaksi yang dapat membantu mereka dalam membuat peralatan perang untuk memerangi kaum Muslim.

Penulis juga berkesimpulan bahwa bila harbi@ diukur dengan komunitas yang memerangi kaum Muslim dengan menggunakan senjata, maka secara kasat mata, beberapa negara kuat non Muslim saat ini yang berusaha ‘mengamankan’ Iraq dapat saja dikategorikan kelompok tersebut. Namun tidak semudah itu, sebab tendensi yang melatarbelakangi pendudukan mereka atas Iraq karena alasan keamanan untuk rakyat Iraq sendiri dan dunia secara umum, seperti yang sering terdengar di media masa dan elektronik. Kategori h}arbi@ bila dilihat dalam historis di masa Nabi saw., merupakan kelompok yang memusuhi dan memerangi kaum Muslim karena agama. Permusuhan mereka pada Islam, menyebabkan mereka juga melakukan apa saja untuk menghalangi penyebaran Islam. Seperti pemboikotan interaksi sosial dan ekonomi terhadap Rasulullah saw. dan pengikutnya. Bila kondisinya begitu, tidak layak negara berpenduduk mayoritas Muslim atau yang berlandaskan Islam berhutang pada mereka.

Interaksi sosial lain misalnya dalambentuk ucapan salam dan selamat Hari Besar pada non Muslim. Penulis berkesimpulan bahwa mengucapkan salam dan selamat hari besar kepada non muslim yang tidak sedang bermusuhan, adalah diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada surat nabi kepada Naja@shi yang saat itu masih Kristen. Surat kepada Najashi@ ini berbeda dari surat-surat nabi kepada raja-raja lain. Beliau mengawali dengan sala@mun anta, sementara untuk raja-raja lain dengan al-sal@am ‘ala@ man ittaba’ al-huda@. Ini disinyalir karena Najashi@ dikabarkan telah tertarik pada Islam dan memiliki hubungan dan kedekatan khusus dengan kaum muslimin.

Lebih lanjut, Penulis menegaskan kebolehan mengucapkan salam dan selamat hadis besar kepada non muslim adalah jika tidak dikhawatirkan merusak akidah muslim dan tidak berakibat buruk bagi syiar Islam.

Terkait dengan hukum memasuki masjid, Penulis berpendapat bahwa non Muslim manapun dapat masuk masjid, khususnya Ahl al-Kita@b dapat masuk ke Masjid al-Hara@m dan al-Nabawi@, selama hal tersebut tidak mengotori kesucian masjid dan memiliki kemaslahatan di dalamnya. Bagi Muslim yang shalat di tempat ibadah agama lain atau sebaliknya, secara mendasar tidak terlarang. Tentu semua itu tidak membawa pada kekeruhan iman seorang Muslim dan munculnya kemudharatan yang berdampak sosial. Kesimpulan penulis ini didasarkan pada fakta-fakta sejarah, baik yang terjadi pada masa sahabat, tabi’in, atau bahkan pada masa rasulullah saw swkalipun. Pada masa nabi, pernah ada seorang musyrik, Thuma@mah bin Utha@l yang diikat di salah satu tiang masjid. Melihat hal ini nabi sama sekali tidak mengingkarinya. Hanya saja, kemudian nabi membebaskannya dan setelah itu ia masuk Islam (HR. Abu Da@wu@d, no 2679). Dalam riwayat lain, juga dikabarkan pernah ada seorang Yahudi yang masuk masjid Nabawi di Madinah untuk berbincang-bincang dengan nabi, tepatnya ketika mengadukan kasus perzinahan antara laki-laki dan wanita dari mereka (HR. al-Bukha@ri@, no 486-488).

Bentuk interaksi umum lain yang dilakukan nabi kepada non muslim adalah menghormati jenazah mereka. Nabi sama sekali tidak membeda-bedakan sebua penghormatan untuk muslim dan non muslim. Dalam sebuah riwayat yang paling popular dalam kajian kerukunan umat beragama masa nabi, disebutkan bahwa nabi berhenti di jalan untuk sekadar menghormat jenazah Yahudi yang sedang melintas untuk dikebumikan. Ini beliau lakukan sebagai hubungan kemanusiaan, yang harus selalu dihormati. Dalam bahsanya yang singkat, nabi menyatakan bahwa Yahudi juga manusia seperti halnya orang muslim (HR. al-Bukha@ri@, no. 1312; HR. Muslim, no.961; al-Nasa@i, no. 1917).

Terkait dengan sembelihan dan peralatan makanan non muslim, Penulis berpendapat bahwa Muslim boleh memakan sembelihan Ahl al-Kita@b secara umum berdasarkan kenyataan lahiriah. Demikian pula dengan peralatan makanan mereka. Kedua hal tersebut juga dapat gugur kebolehannya, bila kualifikasi berkaitan dengan dua masalah di atas tidak terpenuhi. Ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya yang mengemukakan tentang nabi memakan jamuan kambing dari seorang wanita Yahudi. Padahal dalam kambing itu juga dibubuhi racun, namun dalam hal ini nabi diselamatkan oleh Allah (HR. al-Bukha@ri@, no. 2617; Muslim, no. 2190).

Jika dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah keabsahan suatu perbuatan dalam Islam, nabi memberpolehkan berinteraksi dengan non Muslim, maka sudah barang tentu yang sama sekali tidak menyangkut keabsahan ibadah pastilah tidak terlarang. Saling memberi hadiah antara muslim dengan non muslim misalnya, tentu hal ini dianjurkan terutama jika untuk menjalin hidup rukun dan damai serta meredam konflik. Nabi sendiri banyak dikabarkan menerima hadiah dari orang-orang non muslim, misalnya dari Kisra@ Persia yang beragama Majusi. Hadiah itu berupa budak wanita dan kuda putih yang diberi nama Bulbul (HR. al-Tirmidhi, no. 1582). Nabi juga pernah menerima hadiah sutera dari seorang Kristiani bernama Ukaidir (HR. AL-Bukha2ri@, no. 2615; Muslim, no. 2469)

Dalam hal menjaga hubungan baik dengan non muslim, nabi juga berda kebaikan bagi non Muslim. Terbukti misalnya ketika melihat orang-orang Yahudi yang bersin, beliau mendoakannya seperti mendoakan orang-orang muslim yang bersin (HR. Abu@ Da@wu@d, no. 3058). Apalagi jika doa itu adalah agar seorang non muslim yang masih hidup itu mendapatkan petunjuk. Inilah yang dilakukan oleh nabi terhadap orang-orang kabilah Bani Daus misalnya, Alla@humma ihdi Dausan. (HR. al-Bukhari). Hanya saja, Penulis tidak sependapat jika doa itu ditujukan untuk orang non muslim yang telah meninggal agar diampuni dosanya misalnya. Atau doa bersama yang dilakukan dalam satu majelis antar muslim dengan non muslim dengan alasan menjaga kemurnian akidah, dan seorang muslim tidak boleh meminta atau merestui (mengamini) doa non muslim.

Berbagai pemahaman hadis Nabi saw. dalam bab ini, menyimpulkan bahwa interaksi sosial antara Muslim dengan non Muslim, berpijak melalui landasan saling menghormati, menghargai dan membutuhkan antara satu dengan lainnya. Kalaupun terdapat larangan dalam interaksi tertentu, hal itu ditujukan terhadap internal kaum Muslim untuk memelihara agama mereka sendiri.

BAB V

HADIS-HADIS TENTANG HUKUM, PERANG, DAN DAMAI DENGAN NON MUSLIM

A. Pemahaman Hadis-Hadis tentang Pemberlakuan Hukum bagi non Muslim

1. Hudûd

Setiap yang halâl menurut agama mereka, Islam tidak harus ‘turun tangan’ memberikan sanksi. Contoh lain, seperti perkawinan dengan mahram dalam agama Yahudi dan Maju@si. Secara umum dalam hukum pidana maupun perdata, kaum Muslim dan non Muslim berada dalam satu ketentuan umum. Tapi dalam masalah-masalah tertentu seperti di atas, dzimmî memiliki hak tersendiri untuk menyelesaikan perkara mereka berdasarkan agamanya. Bahkan dalam masalah pidana maupun perdata, bila non Muslim memiliki hukum tersendiri seperti kasus zina di atas, mereka lebih berhak untuk melaksanakan hukum mereka. Sebab ada ulama yang berpendapat, kalau non Muslim mengajukan kasus tertentu pada pemimpin Islam, berarti mereka rela agar kasus tersebut diadili dengan hukum Islam sebagaimana pendapat al-Nakha`î, al-Syafi’î dalam salah satu pendapatnya dan Ibn Hanbal. Pemimpin Islam baru dapat mengadili non Muslim dengan ketentuan Islam, bila hal tersebut merupakan permintaan non Muslim sendiri.

Dalam konteks Indonesia, kalau dalam masalah tertentu berkaitan dengan hukum agama seperti perkawinan dan perceraian, telah ada undang-undang sendiri khususnya bagi umat Islam melalui UU perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-undang yang sama tentu layak non Muslim miliki, sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Sekalipun negara kita adalah demokrasi (berarti berdasarkan suara mayoritas; Muslim). Tapi menurut penulis, hal ini di antara faktor yang dapat meminimalkan kecurigaan sementara non Muslim terhadap sekian peraturan yang nampak memihak pada Muslim. Penjelasan tentang pemberlakuan hudûd berdasarkan syar`iat Islam bagi non Muslim, lebih layak dipahami bila hal tersebut merupakan permintaan dari mereka, dan hal itu dewasa kini tentu bukan di sebuah negara yang tidak berlandaskan syari`at Islam.

2. Pelaksanaan Qishâsh dan Diyat; Qishâsh antara Muslim dengan non-Muslim

Terkait dengan hak untuk hidup, penting untuk direnungkan bahwa, Islam telah mensejajarkan hak hidup bagi semua umat manusia. Karena itu, insinyur Amerika yang dibunuh oleh seorang Badui sebagaimana informasi di atas, ulama berusaha menemukan alasan agar Badui tersebut tetap dihukum mati. Hal yang sama juga harus diterapkan bagi siapa saja yang menghilangkan nyawa seseorang. Terlepas dari agama yang dianut si pembunuh maupun yang terbunuh secara aniaya. Dalam konteks ini, layak dikemukakan nasib Muslim yang terbunuh di negara minoritas Muslim, misalnya pembunuhan terhadap Muslim di Bosnia (± 1992 M). Dianggap sangat penting untuk diselesaikan, mengingat tidak semua sikap non Muslim adalah sama terhadap Muslim (renungkan QS. Âli `Imrân:113-115).

Dalam hal ini, menurut penulis sikap negara mayoritas non Muslim mesti lebih sensitif dengan memperhatikan perasaan kaum Muslim. Sebab kalau tidak demikian, berarti hak-hak asasi manusia yang didengung-dengungkan dunia ini hanya sebagai sebuah standar ganda. Berdasarkan rasa keadilan dan hak setiap manusia untuk hidup, Muslim yang membunuh dzimmî atau mu`âhad maupun sebaliknya, non Muslim yang membunuh Muslim, keduanya harus memperoleh balasan yang sama.

3. Ukuran Diyat karena Membunuh non Muslim

Terjadinya perbedaan fuqahâ’ mengenai jumlah diyat, selain karena ada hadis hadis kontradiktif tersebut, juga dilatar belakangi oleh perbedaan dalam memutuskan hukum qishâsh bagi Muslim karena membunuh dzimmî, seperti telah dijelaskan. Bila problem qishâsh di atas demikian, maka dalam masalah diyat pun demikian. Di masa nabi saw., tidak ditemukan praktek dari dua pendapat di atas. Tapi Utsmân ra di masanya (23-35 H), pernah menyamakan diya@t Muslim yang membunuh non Muslim, dengan diyat Muslim yang membunuh Muslim. Menurut al-Ghazâlî, saat itu orang dzimmî sudah berasimilasi dengan Muslim sedemikian jauh. Karena itu, tindakan Utsmân tersebut bertujuan agar mereka merasa lebih aman. Dalam konteks ini, kemungkinan hukum dapat berubah melalui perubahan kondisi.

Berarti masalah diyat lebih terkait dengan pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja pada dzimmî dan mu`âhad. Hal tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi. Pada konteks tertentu, diyat bagi Muslim yang membunuh dzimmî atau mu`âhad tanpa disengaja dapat berupa diyat yang penuh sebagaimana diyat kaum Muslim. Atau sebaliknya, diyat itu separoh dari diyat kaum Muslim.

4. Sumpah dan Saksi non Muslim

Menyelesaikan pertikaian antara Muslim dengan non Muslim melalui sumpah dari non Muslim, di masa Rasulullah saw. hampir dipraktekkan. Sebagaimana kasus dalam riwayat al-Bukhârî dari Ibn Mas`ûd. Ketegasan Rasul saw. mengakui bolehnya sumpah dari non Muslim juga terlihat dalam kasus pembunuhan `Abdullah bin Sahal. Sebab Ibn Sahal ditemukan berlumuran darah. Secara teks, sumpah non Muslim khususnya penganut ahl al-kitâb dalam kasus yang melibatkan Muslim seperti di atas, dianggap sah bila dapat dipertanggung jawabkan dan diterima seperti sumpah umat Islam. Di antara non Muslim apalagi ahl alkitâb, memiliki patokan yang tidak boleh ia langgar dalam bersumpah. Karena ada larangan terhadp mereka. Agaknya sulit diterapkan masalah sumpah dewasa ini di persidangan secara khusus. Bukan karena perbedaan agama antara pihak yang berselisih, tapi setiap kasus yang ada memerlukan saksi-saksi dengan beragam bukti.

Kebanyakan kasus pidana maupun perdata sekarang diputuskan karena kedua hal tersebut di atas. Kalaupun ada sumpah dalam sidang, maka sumpah yang para saksi lakukan itulah sebagai pegangan ketimbang sumpah antara pihak yang bertikai. Melalui beberapa keterangan di atas kecuali dalam kasus tertentu, penulis cenderung bahwa kesaksian non Muslim terhadap Muslim sekarang, baik itu yang berkaitan dengan pengadilan maupun yang tidak melibatkan pengadilan, merupakan bagian dari sisi kehidupan Muslim yang tidak terpisahkan. Terlebih lagi, di antara pembuktian masa kini yaitu dengan tersedianya pencatatan pada setiap jual-beli, kontrak, barang gadaian dan sebagainya. Bukti-bukti tertulis tersebut, dalam kondisi tertentu dapat menjadi saksi yang jauh lebih kuat dari kesaksian seseorang. Berarti antara Muslim dengan non Muslim dapat bersumpah dan menjadi saksi atas suatu peristiwa yang melibatkan dua komunitas tersebut.

5. Penghinaan dan Gangguan non Muslim terhadap Nabi Muhammad saw

Komunitas Yahudi di sekitar Madinah, ada di antara mereka bersikap simpati dan bahkan menghormati Rasulullah saw. sekalipun mereka enggan memeluk Islam. Namun ada juga yang menghina dan mengganggu Nabi saw. Terhadap mereka, terdapat hukuman yang berat sebagaimana kasus Yahudi bernama Abû Râfi` yang tercantum dalam Shahîh al-Bukhârî. Dalam riwayat al-Bukhârî lainnya yang lebih detail, terungkap jelas bahwa Abû Râfi dibunuh karena mengganggu atau sering menyakiti Nabi saw.

Konteks sekarang, penghinaan atas Nabi saw., pernah Salmân Rushdie lakukan melalui bukunya The Satanic Verses. Penghinaan tersebut juga terdapat di harian Jyllands (Pebruari 2006). Media harian terbesar di Denmark ini memuat karikatur Rasul saw., lalu diterbitkan di beberapa media Barat lainnya. Terhadap kasus Salmân, Ayatullah Khomeini (w. 1989 M) berfatwa menghalakan darahnya.

Sampai tahun 2001, fatwa tersebut mulai ditinggalkan. Hanya saja belum lama ini, ratu Elizabeth II memberikan gelar bangsawan kepada Salman, yang menjadi pemicu ‘kembalinya’ fatwa Ayatulah Khomeini.145 Dalam kasus seperti ini, layaknya Negara Barat yang mayorits non Muslim dan ‘menguasai’ dunia, lebih sensitif dengan perasaan umat Islam. Dengan cara memberi hukuman secara adil terhadap mereka yang melakukan hal tersebut. Termasuk kepada siapa saja yang melakukan penodaan suatu agama, tanpa memandang pelakunya dari komunitas agama tertentu.

6. Pemberlakuan Al-Jizyah

Dalam hadis juga ditemukan bahwa al-jizyah merupakan kewajiban non Muslim yang hidupdalam wilayah Islam. Ibn Hanbal meriwayatkan dari Ibn `Abbâs. Al-Jizyah bagi non-Muslim memiliki ukuran tertentu dan di bayar setiap tahun. Ukuran tersebut bernilai sekeping emas (1 dinâr) atau senilai dengan kain alma` âfir (satu tempat atau suku di Yaman). Dari aspek hukum, kontroversi mengenai al-jizyah sama halnya dengan qishâsh bagi Muslim yang membunuh non Muslim. Sebagaimana telah disinyalir bahwa ulama sepakat kalau al-jizyah diperuntukkan bagi komunitas Yahudi dan Kristen serta Majûsi. Abû Hanîfah dan salah satu riwayat Ibn Hanbal, menilai al-jizyah tidak dipungut dari musyrik Arab. Tapi ia dapat dipunggut dari musyrik `Ajam.

Lebih lanjut menurut Abû Hanîfah, Majûsi dari etnis Arab juga tidak dipunggut al-jizyah. Perbedaan ulama di atas, juga memasuki ruang tentang`illah diperlakukannya al-jizyah. Sebagian mereka menyatakan pembayaran al-jizyah (poll tax) supaya non Muslim bebas dari kewajiban membela negara. Lainnya menyatakan, bahwa al-jizyah diwajibkan sebagai jaminan agar nyawa non Muslim terpelihara. Bahkan supaya non Muslim dapat hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim dengan aman. Ada juga yang berpendapat bahwa al-jizyah itu untuk menampakkan ‘superioritas’ Islam dengan mengecilkan non Muslim serta merendahkan mereka. Dalam kaitan ini, dua hal penting yang perlu ditelusuri secara jelas yaitu (a) cakupan komunitas non Muslim yang membayar al-jizyah, terkait dengan hak mereka menganut agamanya; (b) isu kesetaraan non Muslim dengan Muslim, terkait dengan beberapa hak publik.

7. Hak Memilih Agama versus al-Jizyah

Melalui pijakan tersebut di atas, negara yang menggunakan syari`at Islam dewasa ini, seperti Arab Saudi, Mauritania, Sudan, Qatar176 dan sebagainya, dan mereka masih menerapkan al-jizyah, maka penduduk yang beragama selain dari komunitas ahl al-kitâb seperti Budha, Hindu dan lainnya di negara itu, tentu layak dan seharusnya memperoleh hak prerogatif tersebut. Sebab al-jizyah tidak terbatas pada komunitas ahl al-kitâb saja. Disini kelihatan jelas, bahwa Islam tidak memaksa orang untuk menjadi Muslim, bahkan sebaliknya tetap memberi hak setiap non Muslim untuk memilih, meyakini agama mereka serta merealisasikan dalam kehidupan nyata.

8. Imbalan Membayar al-Jizyah bagi non Muslim

Beragam penjelasan di atas, penulis cenderung kalau pembayaran al-jizyah sebagai bentuk perlindungan terhadap komunitas dzimmî di negara Islam kini, bahkan mereka memiliki hak dalam mengatur suatu pemerintahan Islam, kecuali pada posisi kunci seperti presiden atau perdana menteri karena alasan teologis.

B. Pemahaman Hadis-hadis tentang Perang dan Damai Dengan non Muslim

1. Perintah tentang Perang dan Kaitannya dengan Kebebasan Beragama

Secara faktual, sîrah Rasulullah saw. tidak lepas dari suasana perang dan damai dengan non Muslim. Tercatat tidak kurang dari 19 sampai 21 ghazwah yang melibatkan pasukan besar dan Rasul saw. terlibat di dalamnya atau mengutus pasukan tersebut, sedangkan sariyyah atau perang kecil berkisar 35 sampai 48 kali.

Pertanyaannya adalah benarkah perang yang terjadi di masa Nabi saw bertujuan memaksakan komunitas agama lain untuk memeluk agama Islam atau memiliki konteks tertentu, karena perang tersebut sesungguhnya untuk membela diri atau mempertahankan kehormatan. Secara teks, terdapat hadis yang membenarkan bahwa perang bertujuan memaksakan non muslim menjadi Muslim, seperti riwayat al-Bukhârî dari Ibn `Umar (Hadis no.25; Muslim, no.20-22; Abu@ Da@wu@d, no.2640; al-Tirmidhi@, no.2615). Namun, hadis di atas, menurut penulis harus dipahami secara kontekstual, bahwa hadis itu disabdakan pasca S}ulh} H}udaibiyah.

Dari sini penulis berkesimpulan bahwa pada masa dahulu maupun dalam konteks modern, jihad dalam bentuk perang yang bertujuan melakukan ekspansi kekuasaan, bukanlah sesuatu yang datang dari praktek Rasul saw. maupun semangat al-Qur’an. Terlebih lagi di masa kini, hamper semua masyarakat international telah hidup pada suatu tatanan sosial politik serta budaya dalam bentuk negara yang memiliki kedaulatan masing-masing. Serta praktek hubungan antara negara yang jauh dari invasi ke wilayah negara lain sebagaimana yang umum terjadi di abad 7 masehi.

Pernyataan di atas bukan berarti dewasa ini tidak ada lagi usaha suatu Negara ‘menginvasi’ negara lain. Sebut saja pertikaian antara Palestina dengan Israel, masing-masing dari mereka mengklaim lebih berhak atas suatu wilayah dari pada pihak lain. Dalam konteks ini, jihad bagi Palestina menjadi suatu keharusan.

Maka, perang di masa Nabi saw adalah menegakkan hak-hak setiap orang untuk merdeka dan bebas menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan mereka. Bukan sebaliknya untuk memaksa orang agar menjadi Muslim atau menjadikan agama sebagai simbol dari perjuangan untuk meraih kekuasaan.

2. Aturan-Aturan dalam Perang

Meski banyak ditemukan riwayat tentang peperangan nabi dan bahkan anjuran langsung dari beliau, namun bukan berarti peperangan itu dpat dilakukan secara anarkis, membabi buta. Beberapa hal terkait kode etik yang berlaku dan disepakati harus tetap dijunjung tinggi dalam berperang. Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan dalam etika berperang sebagaimana diinstruksikan oleh nabi saw adalah larangan membunuh personil tertentu, -seperti warga sipil, wanita dan anak-anak- dan merusak fasilitas. Hal ini terlihat misalnya dalam beberapa hadis sahih (Muslim, no.1731). Hadis itu dijelaskan dengan tegas larangan tersebut dan perintah berperang dengan lobi-lobi dan negosiasi, misalnya dengan mengajak masuk Islam dengan cara berhijrah atau menetap di daerah sendiri. atau tetap pada agama non Islam dengan kewajiban membayar al-jizyah. Meski demikian, dalam beberapa riwayat juga dikemukakan bahwa ketika terjadi perang dengan bani Nadhi@r, Rasul saw tidak membumihanguskan pemukiman Yahudi, tapi hanya menebang pohon kurma. Ini karena Bani@ Nad}i@r menghianati perjanjian yang telah disepakatinya dengan umat Islam.

Dalam peperangan selalu ada yang kalah dan yang menang, kecuali jika terjadi perjanjian damai atau gencatan senjata di tengah peperangan. Dalam peperangan selalu ada tawanan dan mata-mata. Untuk menyikapi dan memperlakukan tawanan non Muslim, rasulullah secara tidak langsung membaginya menjadi dua kategori: (1) prajurit (2) dan yang tidak ikut dalam perang seperti anak-anak dan wanita. Kategori pertama harus sorang lelaki dewasa dan terbukti ikut berperang. Jika tidak, maka tidak dapat diperlakukan sebagai kategori pertama. Bahkan pernah ada seorang tawanan dari non muslim yang belum dewasa meski telah mencapai usia hampir dewasa (telah tumbuh bulu kemaluannya). Namun ketika hendak dieksekusi mati, nabi memerintahkan agar menunda eksekusinya hingga tiba usia dewasanya. Terkait dengan mata-mata, tentu karena sangat membahayakan, maka boleh dibunuh. Sementara itu, tawanan jenis kedua harus diperlakukan secara manusiawi dan terhormat. Rasulullah saw membiarkan tawanan-tawanan wanita menyusui anak-anaknya yang juga dalam tawanan itu (HR. al-Bukha@ri@, no.5999; Muslim, no.2754). Rasulullah saw juga memperlakukan tawanan wanita, bernama S}afiyyah binti H}uyay bin Ah}t}ab sebagai wanita istimewa Bani} Nad}i}r, dan kemudian memperistrinya.

Dengan demikian, tawanan perang harus diberi hak keamanan dan keselamatan diri, baik itu wanita, anak-anak bahkan prajurit perang yang tidak berdaya atau tidak menunjukkan perlawanan. Pada saat yang sama, tidak keliru bila seorang mata-mata dieksekusi mati, karena hal tersebut membahayakan keselamatan pasukan dan dapat mengakibatkan kemenangan bagi pihak musuh.

Dalam peperangan sekalipun, nabi saw tampak begitu menghormati dan menghargai sikap orang-orang non muslim yang memusuhinya sekalipun. Nabi percaya bahwa tidak semua orang non muslim memusuhinya dan berniat buruk kepadanya. Nabi yakin bahwa di antara mereka juga tidak sedikit yang baik dan tidak jahat kepada beliau. Maka, ketika mereka memberikan bantuan, nabi pun menerimanya dengan senang hati agar tidak menyakiti hatinya. Namun pada kesempatan lain yang berbeda situasi dan kondisinya, nabi juga menolak keras bantuan non muslim, apalagi meminta bantuan mereka. Maka, dalam hal ini, Penulis berkesimpulan bahwa meminta bantuan non Muslim di waktu perang, boleh dengan catatan bantuan tersebut hanya bertujuan menegakkan keadilan tanpa mengorbankan hak-hak warga sipil.

3. Pengeluaran non Muslim dari Jazirah Arab (99)

BAB VI

PENUTUP

Lebih lanjut, Ja’far menegaskan bahwa kesimpulan itu diambil dari hasil penelitian yang menunjukkan tujuh poin utama tentang hubungan antara muslim dengan non muslim. Pertama, Hadis-hadis hubungan disharmoni Muslim dengan non Muslim adalah kebijakan spesifik dan parsial di masa Nabi saw. Terhadap non Muslim tertentu, yang memiliki konteks dan latar belakang tersendiri. Kedua, tindakan murtad dapat diamnesti, dan pelaksanaan eksekusi bagi pelaku murtad lebih disebabkan pelanggaran publik walaupun dilakukan secara individu. Ketiga, selain prinsip keadilan, eksekusi terhadap Muslim yang membunuh dzimmî, juga berdasarkan indikator kuat dalam sejarah yang mendukung saat hadis lâ yuqtal muslim bi ka@fir disabdakan. Keempat, al-jizyah dikecualikan dari musyrik Arab karena sikap permusuhan mereka terhadap kaum Muslim sebagaimana Yahudi Khaibar. Kelima, perang terhadap non Muslim di masa Nabi saw., disebabkan sikap permusuhan dan penghianatan mereka terhadap kaum Muslim. Keenam, larangan Muslimah kawin dengan ahl al-kita@b berdasarkan praktek di masa Nabi saw. dan ketiadan polemik tentang hal ini di masa setelahnya. Ketujuh, waris beda agama dibenarkan dalam kasus perkawinan pria Muslim dengan wanita ahl al-kita@b.

Kesimpulan Ja’far tentang hubungan Muslim dengan Nonmuslim ini menguatkan kajian-kajian sebelumnya yang mempersoalkan pemahaman sebagian ulama beraliran klasik di atas, yaitu: (1) al-Thahâwî (w. 321 H) (Syarh Ma’`a@ni@ al-Atha@r, Beirut, 2001) seperti ulama Hanafî lainnya, menegaskan Muslim tetap dieksekusi karena membunuh dzimmî berdasarkan timbangan keadilan; (2) Muhammad al-Ghazâlî (al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Cairo, 1992): ayat saif dalam surah al-Taubah dan hadis berisi perintah memerangi Nonmuslim, bukan sebagai nâsikh terhadap ayat maupun hadis mengenai perlakuan baik dan toleransi terhadap non Muslim; (3) Sachedina (The Islamic Roots Democratic of Pluralism, Oxford, 2001): murtad yang dieksekusi akibat pelanggaran publik, perang yang dilakukan oleh Nabi saw. bukan untuk memaksa pihak non muslim memeluk Islam, namun untuk mempertahankan diri dan agama.

Secara lebih rinci, Ja’far menegaskan bahwa Disertasi ini menunjukkan bahwa: (1) Hadis-hadis hubungan disharmoni Muslim dengan non Muslim adalah kebijakan spesifik dan parsial di masa Nabi saw. Terhadap non Muslim tertentu, yang memiliki konteks dan latar belakang tersendiri; (2) tindakan murtad dapat diamnesti, dan pelaksanaan eksekusi bagi pelaku murtad lebih disebabkan pelanggaran publik walaupun dilakukan secara individu; (3) selain prinsip keadilan, eksekusi terhadap Muslim yang membunuh dzimmî, juga berdasarkan indikator kuat dalam sejarah yang mendukung saat hadis lâ yuqtal muslim bi kâfir disabdakan; (4) aljizyah dikecualikan dari musyrik Arab karena sikap permusuhan mereka terhadap kaum Muslim sebagaimana Yahudi Khaibar; (5) perang terhadap non Muslim di masa Nabi saw., disebabkan sikap permusuhan dan penghianatan mereka terhadap kaum Muslim; (6) larangan Muslimah kawin dengan ahl al-kita@b berdasarkan praktek di masa Nabi saw. dan ketiadan polemik tentang hal ini di masa setelahnya; (7) waris beda agama dibenarkan dalam kasus perkawinan pria Muslim dengan wanita ahl al-kitâb.