HIJRAH NABI
DAN PEMBANGUNAN NEGERI
Oleh: Ahmad 'Ubaydi Hasbillah
Hijrah Nabi! Apa yang terbesit di benak Anda
ketika mendengar dua kata itu? Kita semua sudah tahu bahwa Nabi hijrah dari
Makkah ke Yatsrib (Madinah) setelah lebih kurang 13 tahun diutus menjadi Rasul.
Namun, apa hikmah yang bisa diambil dari peristiwa fenomenal yang dijadikan
sebagai patokan awal kalender umat Islam itu? Masing-masing orang juga dapat
berbicara sesuai dengan apa yang dia ketahui. Begitu pula telah banyak ulasan
dalam bentuk tulisan maupun lisan yang mengupas nilai-nilai mulia dari
pelajaran agung ini. Tujuannya adalah satu, agar dapat diaktualisasikan dalam
konteks kekinian.
Lalu, apa pula yang terbesit dalam benak kita
ketika peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah itu dikaitkan dengan urbanisasi
di Indonesia, dan pembangunan negeri? Barangkali ada orang yang beranggapan bahwa
salah satu tujuan hijrah Nabi adalah untuk mencari suaka politik, setelah
bertahun-tahun ajarannya ditolak dan keselamatannya diancam oleh para penguasa
Quraisy di Makkah. Ada pula yang berkeyakinan bahwa peristiwa hijrah adalah
murni perintah Allah sebagaimana disebut dalam Qs.al-Anfal.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ
آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
"Sungguh orang-orang
yang beriman dan berhijrah dan berjihad dengan harta dan jiwa-jiwa mereka di
jalan Allah, dan orang-orang yang menampung dan menolong (orang-orang yang
berhijrah dan berjihad), mereka itu sebagiannya adalah pelindung bagi sebagian
yang lain. Dan orang-orang yang beriman namun tidak berhijrah, maka tidak ada
kewajiban bagimu untuk melindungi mereka sedikitpun hingga mereka berhijrah." (Qs. al-Anfal:72)
Ayat 72 tersebut ditegaskan kembali oleh Allah
dalam ayat 74 bahwa orang-orang yang berhijrah, berjihad, atau orang-orang
menampung dan menolong mereka, semuanya adalah mukmin sejati (al-mu'minuna
haqqan) yang berhak mendapatkan ampunan dari Allah. Dari sinilah, inisiatif
hijrah adalah murni bersumber dari wahyu dan karena itu bagian dari ajaran
agama yang tidak boleh dilanggar. Melalui pesan ayat tersebut para muslim
sangat antusias untuk berhijrah hingga kemudian distop oleh Nabi pada saat
Fathu Makkah.
لا هجرة بعد الفتح، لكن جهاد
ونية
"Tidak ada keharusan
untuk berhijrah lagi, melainkan (harus tetap) berjihad dan niat yang tulus."
Hijrah bukanlah momentum untuk mencari suaka
politik dan bukan pula bentuk keputusasaan Nabi dalam berdakwah di Makkah. Kata
hijrah dan jihad bahkan seringkali disebutkan secara bersandingan dalam
al-Quran dan Hadis. Ini menunjukkan semangat umat Islam harus tetap berkobar, bagaimanapun
kondisinya.
Makna Hijrah
Hakikat hijrah seringkali diartikan sebagai
perpindahan dari kondisi yang baik menjadi lebih baik, atau dari kondisi buruk
menjadi baik. Namun jika merujuk pada konteks ayat dan hadis-hadis hijrah, tentu
maknanya adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Bahwa tempat
tujuannya itu lebih baik atau tidak, hal itu bukan esensi dari hijrah. Nabi
sendiri pernah hijrah ke Taif dan ternyata tempat itu tidak lebih baik untuk
beliau saat itu.
Sedangkan hijrah umat Islam menyertai Nabi
adalah murni bentuk ujian keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah dan
rasul-Nya. Karena itu, Nabi pun menguji ketulusan mereka dengan perintah baiat.
Maka, hijrah memang murni rencana Allah untuk Nabi dan kejayaan umat Islam
seluruhnya.
Lalu apa esensi dari hijrah Nabi ke Madinah dan
ke kota-kota lain? dan rasa-rasanya tidak akan berarti jika kita shanya
mengetahui sejarah hijrah Nabi saja tanpa mengetahui signifikansinya bagi
Indonesia. Maka, apa pelajaran yang bisa kita petik dari hijrah Nabi ini untuk
pencerahan Indonesia kita? Khusus untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
tahu terlebih dahulu sektor apakah yang akan kita benahi dan kita cerahkan di
Indonesia ini dengan menggunakan pendekatan hijrah Nabi.
Setidaknya ada beberapa masalah sosial yang
krusial di masyarakat Indonesia yang patut mendapatkan pelajaran agung dari
peristiwa hijrah Nabi, yaitu persatuan dan kesatuan, perekenomian, tata kota, dan karakter bangsa. Tentu tulisan
ini tidak akan mengupas tuntas permasalahan tersebut hingga ke akarnya,
melainkan hanya sekadar memotret. Selanjutnya, kita kembalikan kepada para
pakar masing-masing bidang dan tentunya juga kepada diri kita masing-masing
sebagai perangkat utama pembangunan Indonesia.
Hijrah, Persatuan dan
Kesatuan (Tauhid)
Berbicara mengenai tauhid, pasti orientasi pemaknaan
kita adalah kepada ketuhanan, mengesakan Allah. Nabi memang diutus untuk itu,
menegakkan tauhid di manapun dan dalam sektor apapun. Ketika di Makkah, Nabi menyerukan
hal itu sebagaimana tercermin dalam Qs. al-Ikhlas: 1-4. Begitu pula ketika
beliau sudah berhijrah ke Madinah, satu hal yang pertama kali diserukan adalah
tauhid. Hal ini misalnya, dapat kita baca dalam ayat-ayat Madaniyah seperti,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا
نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Katakanlah
(Muhammad), wahai Ahli Kitab, kemarilah kalian, (menuju) kepada kalimah yang
sama antara kami dan kalian; hendaklah kita tidak menyembah kecuali kepada
Allah dan (hendaklah) kita tidak menyekutukan dengannya sesuatupun, dan jangan
pula sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lain (sebagai) tuhan-tuhan
selain Allah." (Qs. Alu
Imran: 64)
Tauhid dalam arti ketuhanan yang Maha Esa
sangatlah jelas bagi kita. Namun, ternyata tauhid di situ juga memiliki makna
sosial. Kita perhatikan misalnya pada potongan terakhir ayat di atas, wa lâ
yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban min dûnillâh. Seseorang tidak boleh
menghamba kepada orang lain lantaran kelas sosial atau faktor lain. Begitupun
sebaliknya, seseorang tidak boleh memperbudak atau menghinakan orang lain
lantaran dinilai lebih rendah status sosialnya. Sebagai sesama manusia tidak
boleh merasa paling mulia, paling luhur, paling berkuasa bak Tuhan (arbâban).
Semua manusia adalah sama, hamba Allah. Hanya Allah-lah yang berhak mengaku dan
menjadi Tuhan, Penguasa alam, Maha Agung, Maha Luhur.
Karena itu, dalam sejarah hijrah Nabi, Nabi
juga menghapus kelas-kelas sosial berbasis kesukuan di Madinah. Nabi menyatukan
mereka (tauhid) dalam ikatan Islam. Islam yang ramah terhadap sesama.
Dan karena itu pula, akhir ayat tersebut berbunyi,
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
"Kemudian, jika
mereka berpaling (dari seruanmu), maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang Islam.'" (Qs. Alu Imran: 64)
Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam.
Kamilah orang Islam yang hanya menyembah Allah saja. Kamilah orang Islam yang
menolak keras kemusyrikan. Kami adalah orang-orang Islam yang menolak
kelas-kelas sosial pemecah umat. Kamilah orang Islam yang menolak penuhanan
sesama manusia lantaran perbedaan status sosial. Kami menyerukan persatuan dan
kesatuan di bawah naungan Allah.
Kelas-kelas sosial memang seringkali menjadi
penyakit bagi persatuan, di manapun. Di Makkah sebelum hijrah, Nabi memang
belum berhasil menyatukan umat berbasiskan tauhid. Kekolotan pemuka-pemuka
Quraisy yang didukung oleh salah satu paman Nabi sendiri lah faktor utamanya.
Sedangkan Nabi yang saat itu masih dianggap sebagai anak kecil dan yatim dinilai
tidak berhak mengatur dan menata kehidupan sosial mereka. Tersinggunglah mereka
ketika Nabi mengajak mereka untuk bersatu dalam kesetaraan. Berbagai cercaan
dan cacian pun beliau terima.
Di Madinah, Nabi berhasil merangkul seluruh
lapisan masyarakat dan membangun peradaban gemilang berbasis kesetaraan dan
persamaan derajat antar sesama (an lâ yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban).
Dua suku terbesar penguasa Yatsrib yang saling bermusuhan secara turun-temurun,
Aus dan Khazraj, pun berhasil disatukan oleh Nabi dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Nabi mengangkat harkat dan martabat anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan kaum mustdl'afîn. Tradisi mengagungkan sesama
dan merendahkan sesama (yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban) ditolak
dengan semboyan, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang Islam! (isyhadû
bi annâ muslimûn)."
Saat itulah, Nabi mulai membangun sebuah Negara,
sebuah kehidupan sosial yang berkeadilan, dan bersatu di bawah naungan Allah.
Bangunan tauhîdul ummah (persatuan umat) berdiri kokoh di atas pondasi tauhidullâh
(ketuhanan yang Maha Esa). Dengan pondasi inilah, para sahabat tidak hanya
bersatu di hadapan Nabi saja, bahkan ketika tanpa kehadiran Nabi sekalipun.
Prinsip mereka adalah bahwa Tuhan (rabb) yang mengawasi mereka bukanlah
Nabi, bukan juga kepala suku, presiden, gubernur, walikota, aparat, atau
instansi penegak hukum, melainkan Allah. Dialah yang memantau dan mendengar
seluruh gerak gerik manusia.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
"Tidak ada yang
menyerupaiNya sesuatupun, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (Qs.
al-Syura: 11)
Belajar dari pesan hijrah Nabi, untuk konteks
keindonesiaan, Bhinneka Tunggal Ika dapat dibangun kembali dengan dasar
ketuhanan yang Maha Esa. Peran agama sangat penting dalam memperkokoh persatuan
bangsa. Gerakan-gerakan transnasional di Indonesia juga banyak bermunculan
dengan mengatasnamakan agama. Belajar dari pelajaran hijrah, pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan agama harus selalu disatupadukan. Dengan
demikian, semoga tidak ada lagi gerakan-gerakan transnasional yang
mengatasnamakan agama, Islam khususnya.
Hijrah dan Green City
Barangkali istilah green city sudah
tidak asing lagi di telinga kita. Setiap Negara pasti mengidolakan konsep kota
hijau yang ramah lingkungan, layak dan nyaman untuk dihuni. Hal ini tentu
memerlukan tata kelola yang bagus dan profesional.
Belajar dari Madinah, sebagai "kota
hijau" yang dibangun oleh Nabi sebagai muhajir, setidaknya dapat
kita ambil beberapa pelajaran berharga. Memang, terkadang sebuah daerah akan
maju jika dikelola oleh para pendatang. Para penduduk pribumi seringkali tidak
memiliki inisiatif atau inspirasi kreatif untuk membangun daerahnya, kecuali
setelah belajar dari luar. Yatsrib yang kala itu masih belum berperadaban,
dihadiri oleh seorang negarawan dan pakar tata kota yang handal, mendapatkan
bimbingan langsung dari Allah. Sebuah konsep hidup dalam persatuan (tauhid)
berbasis ketuhanan yang Maha Esa yang diajarkan oleh Nabi ditolak oleh para
pemuka Quraisy Makkah karena dinilai menyalahi tradisi leluhur. Para pemuka
Quraisy itu tampaknya hendak mempertahankan tradisi leluhur mereka yang
membuatnya nyaman dalam kekuasaan mereka. Maka, ketika ada sebuah tatanan baru
yang lebih adil dan menjunjung tinggi persamaan pasti akan ditolak. Meski
demikian, Nabi tidak lantas berputus asa. Beliau pun membuktikan kebenaran
ajarannya itu di kampung orang lain, dan berhasil.
Memang, boleh saja kita memahami konsep tata
kota yang diberlakukan oleh Nabi sebagai hal yang bersifat manusiawi, dan tidak
bernilai syariat. Sebagai konsekuensinya, tidak harus menerapkan secara persis apapun
yang diberlakukan oleh Nabi di Madinah. Namun, keberhasilan dakwah Nabi di kota
barunya ini tentu juga tidak lepas dari tata kelola kota yang baik, sehingga
penduduk setempat menjadi merasa lebih nyaman bersama pemimpin baru itu. Semangat
pembangunan inilah yang patut untuk ditiru.
Meurujuk pada sebuah konsep green city
yang saat ini dikampanyekan oleh banyak Negara di dunia, terdapat delapan
komponen utama green city, yaitu green planning and design, green
open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green
building, dan green community.
Terkait dengan desain dan perencanaan kota yang
baik, dapat terlihat misalnya dari penamaan yang diberikan Nabi terhadap kota
baru ini. Beliau mengubah nama Yatsrib yang merupakan nama seorang pemuka salah
suku di sana, menjadi sebuah nama yang futuristik-prospektif, mencerminkan
cita-cita luhur, yaitu al-Madinah (Kota besar atau City, bukan sekadar town).
Meski telah berubah nama, Nabi sama sekali tidak
mengubah atau merusak komoditas utamanya sebagai penghasil kurma terbaik sampai
dengan saat ini. Nabi tetap mempertahankan citra Madinah sebagai kota pertanian
dan perkebunan. Dengan demikian kota agraris ini telah memenuhi syarat green
open space (Ruang Terbuka Hijau). Jika Nabi dapat mengantarkan
Madinah menjadi kota berperadaban dunia dengan tetap mempertahankan komoditas
pertaniannya, maka bagaimana dengan Indonesia?
Lalu bagaimana dengan green waste (hidup
hemat, tidak boros), green water, green energy, dan green building? Tentu
Nabi juga mengajarkan kita untuk tidak bergaya hidup boros yang berakibat pada
pemubadziran. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menegaskan hal itu. Sebagai
hasilnya, hidup hemat juga dapat meminimalisir sampah yang menyebabkan kota
menjadi kumuh. Sedangkan untuk program green water, jelas Nabi sangat
memperhatikan itu. Nabi pernah melarang keras untuk berlebihan dalam berwudlu
meskipun di sungai yang mengalir deras.
اسْتَقْصِدْ فِي الْمَاءِ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ
"Berhematlah dalam penggunaan air meskipun engkau sedang
berada di sungai yang mengalir." (HR.
Ibnu Majah)
Terkait dengan sarana transportasi, Nabi pun mengaturnya
dengan apik. Banyak riwayat yang menjelaskan tentang "undang-undang"
transportasi. Misalnya, sebuah hadis yang mengatur lebar jalan jika terjadi
sengketa lahan.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إِذَا اخْتَلَفْتُمْ
فِي الطَّرِيْقِ فَاجْعَلُوْهُ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ (رواه الشيخان)
'Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, "Jika
kalian bersengta tentang lahan untuk sebuah jalan, maka jadikanlah untuk jalan
itu seukuran tujuh hasta." (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya itu, dalam hadis riwayat Abu Dawud
misalnya juga ditegaskan kembali mengenai aturan itu.
عن سهيل بن معاذ بن أنس الجهنمي عن أبيه قال: غزوت مع الرسول صلى
الله عليه وسلم غزوة كذا وكذا، فضيق الناس المنازل وقطعوا الطريق، فبعث نبي الله صلى
الله عليه وسلم مناديا ينادي في الناس ، من ضيق منزلا أو قطع طريقا فلا جهاد له
Dari Suhail bin Mu'adz dari ayahnya, berkata: "Aku pernah
berperang bersama Rasul dalam sebuah peperangan. Lalu, (kulihat) banyak orang
mempersempit rumah-rumah mereka dan memotong (menutup) jalan-jalan. Lalu Nabi
mengutus seorang juru bicara untuk menyampaikan sebuah pengumuman, "Siapa
yang mempersempit rumah atau memotong suatu jalan, maka tidak berhak untuk
berjihad." (HR. Abu Dawud).
Lebih dari itu, sebuah hadis populer tentang
menyingkirkan sekecil apapun yang membahayakan para pengguna jalan juga menjadi
bukti tata kelola kota yang baik. Dan itu menjadi salah satu tolok ukur
keimanan. Dalam riwayat imam Muslim misalnya, terdapat sebuah riwayat:
عن أبي برزة قال: قلت يا نبي الله علمني شيئا أنفع به، فقال ، أَعْزِلِ
اْلأَذَى عَنْ طَرِيْقِ الْمُسْلِمِيْنَ
Dari Abu Burzah berkata, "Ya Nabi, ajari
aku sesuatu yang bermanfaat!" Nabi menjawab, "Singkirkan bahaya
(apapun) dari jalanan orang-orang Islam." (HR. Muslim)
Terakhir, yang tidak kalah menarik adalah green
community yang seringkali diartikan sebagai konsepsi kepekaan, kepedulian,
dan peran aktif masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau. Nabi
benar-benar melakukan itu, bahkan turut terlibat langsung dalam pembangunan dan
pengembangannya, tidak sekadar menginstruksikan.
Ketika membangun masjid pertama di Madinah,
para sahabat pun kagum terhadap sifat Nabi. Beliau yang terhormat justru meminta
kepada para sahabat agar membiarkan beliau terlibat langsung dalam pembangunan
masjid Nabawi. Tidak hanya itu, lansekap tata ruang kota pun beliau desain
sendiri dengan sangat apik.
Nabi telah menetapkan empat unsur pokok dalam
tata ruang dan pembangunan kota. Pertama, masjid jami’, yaitu
Masjid Nabawi. Kedua, kediaman sang pemimpin (baginda Nabi) yang
berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar yang kemudian
dikenal dengan Sûq al-Nabi (pasar Nabi). Keempat,
pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.
Program pertama yang diwujudkan oleh Nabi
sesampainya di Madinah adalah membangun Islamic Center, yaitu masjid. Di
sana segala urusan umat berpusat, khususnya yang berkaitan dengan keagamaan.
Program kedua adalah membangun komplek hunian
yang majemuk, berbaur menjadi satu antara yang kaya dan miskin, berkulit hitam
dan putih, dari suku besar dan kecil, dan sebagainya. Semuanya hidup dalam satu
komplek dan tidak disekat dalam kluster-kluster berdasarkan status sosial. Nabi
menyatukan mereka dalam satu komplek, satu kluster. Tujuannya tak lain adalah
agar saling membantu, di samping juga membina kerukunan dan persatuan umat.
Indonesia, khususnya Jakarta, perlu meniru konsep ini. Selama ini, kita dapati
warga yang kaya cenderung menyendiri atau berkelompok dalam satu kluster,
sedangkan warga miskin juga berkelompok dalam satu kluster di belakangnya,
namun dengan dinding sekat yang sangat tebal. Walhasil, interaksi, kepedulian
sosial, kerukunan, dan persatuan pun hanya menjadi mimpi di balik tembok.
Kesenjangan sosial pun semakin mengemuka.
Berikutnya, Istana atau balai kota yang dekat
dengan kediaman Nabi. Istana Nabi hanya berupa sepetak kamar, bak umumnya rumah
kost atau rumah sewa di Jakarta. Sebagai pendatang, Nabi enggan untuk
menampilkan wajah angkuh berumah megah yang membuat penduduk setempat segan
untuk berkunjung. Dengan demikian, beliau tampak sangat akrab dan sayang
terhadap seluruh rakyatnya, sampai-sampai menyebut mereka dengan istilah
sahabat, bukan rakyat atau bawahan.
Pemimpin harus dekat dan akrab dengan warganya
dan pusat pemerintahannya pun harus mudah diakses. Jika kita perhatikan alamat
Nabi di Madinah, Nabi justru tidak memilih untuk tinggal di lingkungan
orang-orang pribumi yang kaya, tinggal satu kluster dengan para konglomerat dan
jauh dari warga umumnya. Nabi justru memilih untuk tinggal tepat di samping masjid
jami' yang notabenenya sebagai pusat peribadatan, pemerintahan, dan gedung
serbaguna. Sebagai pusat pemerintahan yang sekaligus gedung serbaguna, Nabi juga
memfungsikan masjid sebagai basis pembangunan kota. Seluruh warga pun bebas
mengakses pusat tersebut, meski tidak untuk urusan ibadah, kewarganegaraan,
bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Itulah strategi Nabi dalam menata kota
untuk percepatan pembangunan. Dengan cara ini pula, Nabi dapat memantau dan
mendengarkan langsung keluhan dan aspirasi warganya.
Berikutnya adalah membangun pusat perekonomian berbasis
pasar yang kemudian dikenal dengan istilah Sûq al-Nabî. Sesampainya di
Madinah dan membangun Masjid sebagai Islamic Center, Nabi pun mulai
mengatur perekonomian Madinah. Tujuan utamanya tak lain adalah untuk
membebaskan harta-harta umat Islam dari unsur-unsur haram dan kezaliman. Dalam
literatur Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa di Madinah terdapat sebuah
pasar induk yang sudah berusia tua, Pasar Bani Qainuqa'. Pasar ini berada di
tengah komunitas Yahudi Madinah. Di pasar ini terkenal pula praktik riba,
perjudian, penipuan, kecurangan, monopoli, dan berbagai tindakan kotor lainnya.
Tentu praktik yang demikian ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam.
Menyikapi hal ini, Nabi tidak lantas kemudian
memboikot atau menghancurkan pasar Bani Qainuqa' tersebut, melainkan melakukan
diplomasi secara damai dengan mereka. Meski dengan banyak kendala yang cukup
berarti, Nabi pun tidak menyerah dan akhirnya berhasil mendirikan pasar kecil
di pinggiran Pasar Bani Qainuqa'. Pasar yang didirikan oleh Nabi ini tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan Pasar Bani Qainuqa' yang telah lama
beroperasi. Bak sebuah mall besar yang didepannya terdapat sekumpulan pedagang
kaki lima. Namun, ternyata justru pasar kecil yang hanya beroperasi dibawah
tenda besar (qubbah) yang justru kemudian menyedot perhatian banyak orang.
Tidak diragukan lagi, sistem pasarnya yang berkerakyatan dan berkeadilan lah
faktor utamanya.
Kehadiran pasar kecil yang baru ini lalu
membuat geram para pemuka pasar Bani Qainuqa'. Tidak tanggung-tanggung,
pimpinannya sendiri lah yang langsung terjun menghadapi pasar kecil ini. Adalah
Ka'b bin al-Asyraf, salah seorang pemuka Yahudi Qainuqa' yang kemudian
menggusur dan merobohkan tenda pasar Nabi. Namun, Nabi tidak berputus asa.
Beliau pun menanggapinya dengan sangat arif. Beliau hanya diam dan mengatakan,
والله لأضربن له سوقاً هو أغيظ له من هذا
"Demi Allah, aku
janji akan membangunkan sebuah pasar untuknya yang akan membuatnya lebih marah
lagi daripada ini."
Lalu Nabi pun memindahkan pasar itu dari lingkungan
Bani Qainuqa'. Beliau membebaskan sebidang tanah milik salah seorang sahabat
lalu membangunnya sendiri. Setelah pembangunan dirasa cukup, beliau berpesan
kepada para sahabatnya,
هذه سوقكم لا تتحجروا ولا يضرب عليه الخراج
"Ini adalah pasar
milik kalian persempit dan jangan pula ditarik pajak."
Dengan demikian, jelas sudah bahwa nabi
berhijrah ke Madinah untuk membangun kota percontohan hijau yang nyaman, layak
huni dan sejahtera.
Hijrah: Urbanisasi atau
Ruralisasi?
Istilah urbanisasi barangkali sudah populer di
telinga kita, namun istilah ruralisasi tampaknya belum begitu familiar di
masyarakat kita. Jika urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota,
maka ruralisasi adalah sebaliknya, perpindahan penduduk dari kota ke desa. Setidaknya,
itulah yang menyebabkan istilah urbanisasi jauh lebih familiar dan diminati
oleh banyak orang. Kesejahteraan adalah alasan utamanya. Tapi, benarkah bahwa
setiap urbanisasi pasti berbanding lurus dengan kesejahteraan? Apakah
ruralisasi selalu dihindari lantaran bayangan masa depan yang suram? Jika
memperhatikan sejarah hijrah Nabi, tentu jawabannya adalah tidak.
Pernahkah terbesit dalam benak kita bahwa hijrah
Nabi dari Makkah ke Madinah pada hakikatnya adalah ruralisasi, bukan
urbanisasi? Di sinilah, sebagai negarawan professional, Nabi justru rela pindah
dari kota ke desa, demi pemerataan pembangunan yang komprehensif. Maka,
sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa tidak benar jika Nabi hijrah ke
Madinah adalah untuk mencari suaka politik atau dukungan massa dari penduduk
Madinah. Jika memang demikian tujuannya, pasti Nabi lah yang menikmati kemajuan
Madinah, bukan membangun Madinah. Namun realitas justru menyatakan sebaliknya. Adalah
Nabi orang yang paling besar jasanya dalam membangun Madinah hingga menjadi
kota metropolitan.
Makkah jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad
sudah terkenal di seantero jagat. Makkah sebagai pusat persinggahan perjalanan
dagang antara Yaman dan Syam. Maka, tak heran jika Makkah dapat berkembang
pesat jauh sebelum Madinah karena sebagai tempat bertemunya berbagai peradaban
dunia. Tak heran pula jika kemudian profesi penduduk Makkah adalah pebisnis,
pedagang, bukan petani atau pekebun seperti halnya penduduk Madinah. Di samping
karena kesuburan tanahnya yang tidak mendukung, Ka'bah dan sumur Zamzam yang
tak pernah kering itulah tampaknya yang mengharuskan mereka untuk belajar
memanfaatkan keramaian dengan berbisnis di pasar-pasar besar pusat perdagangan
dunia (International Trade Center).
Sementara itu, Madinah hingga kehadiran Nabi,
mayoritas penduduknya adalah berprofesi sebagai petani atau pekebun yang tidak
pandai berbisnis dan berniaga. Maka, ketika hadir pertama kalinya di Madinah,
beliau menyatukan pendatang dari Makkah dengan penduduk pribumi Madinah dalam
ikatan persaudaraan berbasis Islam. Mereka pun saling berbagi wawasan dan
bertukar pikiran untuk memajukan perekonomian Yatsrib yang kemudian berubah
nama menjadi Madinah. Penduduk pribumi (anshar) memiliki tanah kebun
yang luas, namun tidak pandai memasarkan hasil buminya. Sementara para
pendatang dari Makkah (muhajirin) pandai dalam hal pemasaran dan bisnis
namun tidak memiliki komoditas yang dapat dijual. Maka, dibangunlah pasar-pasar
sebagai pusat perdagangan dan pemasaran komoditas lokal Madinah yang tidak
kalah ramainya dengan ITC di Makkah kala itu.
Saat ini Indonesia tengah dilanda krisis pemerataan
pembangunan. Kota-kota besar berkembang pesat dengan begitu cepatnya, sementara
desa-desa terpencil semakin kehilangan para pakar dan generasinya. Tampaknya tidak ada orang yang
tertarik untuk membangun desa, seperti yang dilakukan oleh Nabi. Padahal
kota-kota metropolitan bisa sebesar itu tidak lain karena peran para pendatang (muhajirin)
dari desa. Lalu, kenapa desa sendiri dibiarkan dalam ketertinggalan?
Baru-baru ini, pemerintah berencana untuk
mengirimkan tenaga-tenaga ahli dan tenaga-tenaga pendidik ke desa dengan gaji
berstandar kota. Jika demikian, tentu sangat bagus namun masih menyisakan
masalah berupa kebergantungan pada gaji dari pemerintah. Namun, tentu akan lebih
bagus lagi jika desa-desa itu diberdayakan perekonomiannya dengan membangun
pusat-pusat perekonomian yang terintegrasi dengan kota. Dengan demikian, kebergantungan
itu pun dapat dengan mudah terselesaikan. Begitulah yang dilakukan oleh baginda
Nabi sebagai pahlawan pembangunan Madinah.
Setalah beberapa tahun menjadi imigran dan
berhasil membangun Madinah, Nabi tidak kemudian melupakan tanah air tempat kelahirannya.
Beliau selalu merindukan Makkah yang telah membesarkannya dan membentuk
karakternya yang mulia itu. Maka, bertepatan dengan turunnya perintah haji pada
tahun ke-6 pascahijrah, Nabi pun berniat untuk menunaikan ibadah haji,
sekaligus mudik ke kampung halamannya. Hanya saja, saat itu gagal karena Makkah
masih dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Pada tahun berikutnya, Nabi
berhasil memasuki kampung halamannya, itu pun hanya dalam waktu yang sangat
singkat, sesingkat masa umrah. Hingga kemudian tiba pada tahun ke-10
pascahijrah, barulah Nabi berkesempatan untuk pulang kampung melaksanakan
ibadah haji, sambil membangun negeri, dan berhasil. Itulah yang biasa kita
kenal sebagai proklamasi Makkah, atau Fathu Makkah, saksi sejarah keberhasilan
Nabi membangun negerinya.
Begitulah yang dilakukan oleh Nabi.
Kesuksesannya di negeri orang tetap tidak dapat membendung kecintaannya pada
tanah air. Tampaknya beliau tidak ingin negerinya dalam keterpurukan sementara
beliau mencapai puncak kesuksesan di negeri baru di luar sana. Maka, dengan
proklamasi Fathu Makkah, Nabi berhasil menjadikan Makkah dalam tempo yang
sesingkat-sesingkatnya.
Ikhtitam
Di sinilah tampak jelas bahwa Nabi membangun sebuah
bangsa yang berkarakter dengan iman dan akhlak yang beliau contohkan sendiri. Namun,
hijrah Nabi ke Madinah bukan hanya sekadar membawa missi keagamaan itu saja,
melainkan juga seperangkat sektor kehidupan yang menjadi oleh-oleh yang paling
berharga bagi Madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib. Maka, Seorang
pemimpin di negeri manapun harus dapat mencontoh nila-nilai luhur yang
diajarkan oleh Nabi tersebut jika masih mengharapkan kesuksesan dalam pembangunan
negerinya.
Indonesia memiliki pancasila yang memuat
nilai-nilai luhur yang diajarkan Nabi itu. Indonesia dibangun atas pondasi
iman, ketuhanan yang Maha Esa, dibangun di atas pondasi kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Lalu, kenapa cahaya Indonesia masih malu-malu menyinari
dunia? Madinah yang awalnya hanya sebuah daerah kecil bernama Yatsrib itu kini
mampu menyinari dunia, lalu bagaimana dengan kita, Indonesia? Madinah dijadikan
bersinar terang (al-munawwarah) oleh Allah melalui prinsip-prinsip tadi,
maka kini saatnya kita wujudkan Indonesia al-Munawwarah. (AUH)
**Dimuat dalam Majalah Nabawi, edisi Tahun Baru Hijriah, 1435 H.