From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

PhD Studies

DISKURSUS IDEOLOGI DAN PURIFIKASI HADIS

"Ra'yi> s}awa>bun yah}tamil al-khat}a', wa-ra'yu ghayri> khat}a' yah}tamil al-s}awa>b."
(al-Sha>fi>‘i>)
"We have the true knowledge, They have ideologies"
(Teun Van Dijk)

Dua statemen tersebut merupakan gejala umum eksistensi sebuah ideologi yang meskipun tidak melembaga. al-Sha>fi‘i> menciterakan sebuah ideologi yang didapat secara dialektis-dialogis dengan memberikan peluang salah dan benar dalam ideologi manapun. Sementara itu, Van Dijk tampak sedang membaca sebuah fenomena yang merupakan kebalikan dari statemen al-Sha>fi‘i>. Fenomena sosial menyatakan bahwa ideologi selalu berkonotasi negatif, dan menjadi milik orang lain serta terkesan tidak berdamai dengan idea-idea selainnya. Setiap orang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, dan karena itu ia merasa memiliki banyak pengetahuan tentang suatu hal. Dengan demikian, pada dasarnya dalam setiap komunitas sosial pasti lahir sebuah ideologi. Bahkan ideologi dapat lahir secara personal, tidak komunal.
Berbicara mengenai ideologi dalam periwayatan hadis dan relasinya terhadap otentisitas, perlu adanya data-data tentang eksistensi sebuah ideologi. Hal ini meniscayakan sebuah penelusuran terhadap ideologi para periwayat hadis. Kemudian, dari data tersebut dapat diperoleh gambaran tentang tiga hal, yaitu posisi ideologi dalam komunitas sosialnya, otoritas para penganut idelogi, dan otentisitas pesan yang mereka sampaikan. Namun, sebelum melangkah ke arah tersebut, penting kiranya membaca sebuah wacana besar tentang ideologi dalam periwayatan dan relasinya terhadap otentisitas pesan kenabian.
Oleh karena itu pada bagian ini, pembahasan difokuskan pada beberapa poin besar. Berangkat dari sebuah wacana seputar eksistensi ideologi dalam periwayatan, maka isu yang diangkat dalam penelitian ini menjadi semakin jelas. Agar semakin kuat, perlu dilakukan pengujian metodologi yang telah digunakan untuk membaca isu tersebut. Maka, hasil dari pengujian itulah yang akan menjadi statement point dalam penelitian ini yang sekaligus menjadi tawaran paradigma baru dalam membaca otentisitas pesan kenabian dalam proses periwayatan hadis.

Otentisitas Hadis dalam Perdebatan
Dalam tradisi kritik hadis terdapat beberapa kriteria kesahihan hadis yang telah ditetapkan oleh para ulama belakangan. Dari hasil penelusuran dan pengkajian terhadap metode-metode ulama klasik, ditemukanlah beberapa kesamaan yang kemudian menjadi syarat utama sebuah hadis dinyatakan valid. Validitas sebuah hadis sangat ditentukan oleh validitas sanad dan matan, karena keduanya adalah rukun hadis yang aksiomatis. Syarat-syarat tersebut adalah bahwa sebuah hadis harus disampaikan secara estafet dari seorang periwayat kepada periwayat lain hingga berujung kepada kolektor (mukharrij).
Di samping ketersambungan, masing-masing periwayat yang terdaftar dalam rangkaian sanad tersebut juga harus dapat dipastikan keadilan dan ked}abit}annya. Adil berarti baik perangainya, baik secara agama (tidak fasik) maupun sosial (tidak menyalahi etika sosial, menjaga muru>'ah).[1] Termasuk pula dalam kajian al-‘ada>lah adalah kajian tentang ideologi periwayat. Seorang periwayat dinyatakan baik jika tidak fanatik atau provokatif terhadap ideologinya.[2] Ini bukan berarti seorang periwayat dilarang keras berideologi tertentu dalam hal politik, pemikiran, atau pemahaman keagamaan. Mereka sah-sah saja berafiliasi pada ideologi dan mazhab tertentu, namun hendaknya tidak sampai terjerumus dalam jurang fanatisme. Hal ini karena sikap fanatik apalagi yang berlebihan, hanya akan melahirkan cara pandang yang picik dan ideologi yang sektarian. Berangkat dari sinilah, beberapa sarjana meragukan otentisitas hadis sebagai berita kenabian, yang bersumber dari Nabi langsung.
Maya Yazigi misalnya, dengan melihat keperpihakan beberapa orang periwayat pada sebuah ideologi, dapat membutakan mata mereka sehingga menjadi picik. Pengaruh ideologi begitu kuatnya sehingga seseorang dapat saja mengesampingkan hubungan kekerabatan demi sebuah ideologi. Kasus Muh}ammad bin Abu> Bakr menjadi sorotan utama Yazigi untuk membaca kasus tersebut. Muh}ammad yang masih sedarah dengan ‘A<'isyah justru saling berperang lantaraan memperjuangkan ideologinya. Maka, keberpihakan seorang periwayat pada sebuah ideologi dapat menjadikannya picik dan sekatraian.
Dalam tulisannya yang lain, Yazigi juga berkesimpulan bahwa hadis-hadis Nabi juga sarat dengan ideologi. Ia berkesimpulan demikian dengan melihat hadis tentang jaminan masuk surga untuk sepuluh orang sahabat Nabi. Menurutnya, hadis futuristik ini sangat ideologis, sangat politis. Ini karena hampir semua yang disebut dalam hadis tersebut adalah orang-orang yang kelak memangku jabatan strategis dalam pemerintahan pasca Nabi wafat. Maka, hadis-hadis ini pun, menurutnya sengaja dibuat untuk meredam dominasi Shi>‘ah yang mengusung Ahli Bait.
Sementara itu, terkait dengan diskursus ideologi dan orisinalitas hadis, Ignaz Goldziher (1850-1921 M), membuat sebuah kesimpulan yang senada bahwa isna>d merupakan hasil metamorfosis dari pemikiran generasi Islam awal.[3] Isna>d, menurutnya, berawal dari bentuk yang sangat sederhana dan seiring dengan perkembangan masa, mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ke-3 H. Menurutnya, terdapat banyak sekali isna>d yang digunakan oleh beberapa kelompok untuk dipasangkan pada pendapat-pendapatnya. Melalui isna>d, pendapat-pendapat kelompok tersebut menjadi tampak berasal dari orang-orang pada masa generasi awal terdahulu (al-mutaqaddimu>n). Dengan demikian, mereka memilih figur-figur yang dinilainya kompeten dan terpercaya lalu meletakkannya ke dalam daftar rangkaian yang disebut dengan isna>d itu.[4]
Kesimpulan yang sama juga datang dari C. Snouck Hurgronje (1857-1936), kawan semasa Goldziher. Menurutnya, literatur hadis adalah produk ortodoksi, yaitu hasil pemikiran dari kelompok yang dominan pada tiga abad pertama Islam. Dengan demikian, hadis tidak dapat dikatakan orisinal dari Nabi, melainkan hanyalah refleksi dari pandangan-pandangan mereka tentang Islam. Dengan kata lain, Hurgronje menegaskan bahwa hadis pada dasarnya adalah statemen para penganut ideologi yang dominan selama tiga abad pertama hijriah.[5]

Problem Ideologi dalam Periwayatan
"Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, karena boleh jadi pendengar (periwayat) lebih mengerti daripada orang yang menyampaikan."[6] Demikianlah kutipan pidato Nabi di akhir-akhir masa hidupnya di Makkah. Sebuah hadis yang menjadi dasar periwayatan hadis itu menarik untuk dikaji, terutama pada bagian terakhirnya. Di bagian tersebut tersurat dengan jelas, meski dengan varian redaksi yang beragam, bahwa banyak sekali pendengar (dalam hal ini adalah periwayat) lebih memahami pesan yang dia terima daripada penyampainya. Mendengar perintah tersebut, para sahabat Nabi yang kemudian diikuti oleh generasi-generasi berikutnya menjadi termotivasi untuk menyampaikan apapun yang pernah mereka terima, lihat, rasakan, dan dengar langsung dari Nabi. Di sinilah sebenarnya gerakan periwayatan hadis telah dimulai.
Mengingat begitu urgennya kebutuhan umat terhadap sosok paripurna yang dapat dijadikan panutan dan acuan dalam menjalani kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, maka hadis pun menjadi "konsumsi terfavorit" umat Islam generasi awal. Sosok Nabi, di samping karena adanya dukungan wahyu, juga diyakini sebagai sosok yang sukses dalam membina kehidupan sosial masyarakatnya. Sepeninggal Nabi, para generasi muslim dilanda konflik yang berawal dari perselisihan seputar hak khila>fah.
Dalam teori Antropologi, sebuah komunitas selalu membutuhkan sesosok paripurna untuk dijadikan sebagai patronase. Bagi komunitas umat Islam, telah menjadi aksioma bahwa sosok perfect pattern yang dimaksud adalah Nabi Muhammad. Sosoknya mencapai derajat tertinggi dalam hal keagamaan dan sosial. Sosok Nabi Muhammad tidaklah tergantikan karena memang diyakini tidak ada yang dapat menyamai kesempurnaannya. Meski demikian, kebutuhan akan sosok perfect pattern adalah mutlak diperlukan dan sangat urgen. Maka, siapapun yang dipercaya untuk mengemban tugas sebagai pengganti (khali>fah) posisi Nabi harus mengikuti karakter dan sifat-sifat dasar Nabi.
Karena itu, tidak heran jika kemudian banyak bermunculan orang-orang yang makar dan bahkan menyatakan diri keluar dari Islam (murtadd) sepeninggal Nabi. Segeralah kemudian umat Islam mencari-cari pusaka peninggalan Nabi yang dapat dijadikan acuan dasar untuk menentukan gerak dan langkah kerja para pengganti posisi Nabi. Dipakailah sebuah riwayat bahwa acuan dasar umat Islam yang dapat menyelamatkan mereka dari kesesatan adalah dua hal, yaitu Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Nabi.[7] Namun, riwayat itu pun ternyata memiliki varian redaksi yang berbeda sehingga pemahaman yang muncul pun tidak sama. Dalam redaksi lain disebutkan bahwa dua pusaka penyelamat umat itu adalah Kitabullah (al-Quran) dan Ahlu Bait Nabi.[8] Menariknya, kedua riwayat tersebut secara historis dinyatakan orisinal, valid, dan akurat dari Nabi.
Setidaknya, kedua riwayat yang memiliki perbedaan redaksi tersebut memunculkan dua ideologi besar yang hingga saat ini tampak tidak menyatu, yaitu Sunni dan Shi>‘ah. Dengan berdasar pada kedua hadis tersebut, masing-masing kelompok berusaha menafsirkannya hingga pada tahap mengkompromikan (al-jam‘ wa-al-taufi>q) dan juga mengunggulkan salah satu dari keduanya (al-tarji>h}).[9]
Munculnya dua mainstrim besar, Sunni> dan Shi>‘ah ternyata membuat para sarjana kontemporer tidak percaya terhadap hadis. Kassim Ahmad misalnya dengan mengamati kedua mainstrim tersebut, meragukan otoritas hadis dan bahkan orisinalitasnya. Kedua arus besar tersebut membuat Kassim semakin yakin bahwa hadis bukan berasal dari Nabi, melainkan dari para penganut dua mainstrim besar tersebut berikut turunannya. Menurutnya, jika memang hadis itu berasal dari Nabi, pastilah tidak muncul dua maisntrim yang sama sekali berbeda dalam hal hadis itu, baik dari segi materi maupun metodologi. Bahkan secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, dalam tradisi hadis Sunni> dan Shi>‘ah terdapat disparitas yang cukup mencolok.[10]
Secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa menurut Kassim Ahmad, perkembangan hadis berbanding lurus dengan perkembangan ideologi-ideologi Muslim. Ideologi patriarkisme, primordialisme, rasisme, dan politik-keagamaan melahirkan hadis-hadis yang bias. Karena itu, ia menolak jika hadis adalah orisinal dari Nabi karena misi dakwah Nabi sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran adalah bersifat universal.[11]
Jika memang pendapat Kassim itu benar, maka seharusnya setiap sekte memiliki kitab-kitab hadis yang bias ideologi dan materinya pun demikian. Di samping itu juga seharusnya tidak ada silang ideologi dalam periwayatan hadis, karena masing-masing ideologi akan memanfaatkan otoritas terbaiknya untuk meriwayatkan hadis-hadis yang melegitimasi ideologi mereka. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Tidak semua sekte memiliki kitab hadis, bahkan beberapa sekte juga menggunakan hadis riwayat sekte lain jika memang dapat dipertanggungjawabkan otentisitas dan validitasnya.
Sementara itu, bagi John L. Esposito, ada sebuah kejanggalan dalam perkembangan hadis dari masa ke masa. Kejanggalan tersebut menjadi indikasi adanya hegemoni ideologi dalam periwayatan hadis. Hadis menjadi diragukan orisinalitas dan historisitasnya karena adanya pembengkakan materi dan jumlah hadis dari masa ke masa. Pada abad ke-3 H misalnya, jumlah hadis telah berkembang menjadi ratusan ribu. Bagi Esposito, fenomena pembengkakan ini menjadi bukti konkrit bahwa hadis telah difabrikasi oleh orang-orang saleh yang mengklaim praktik keberagamaan mereka telah sesuai dengan syariat Islam.[12] Lebih lanjut, Esposito menyatakan bahwa hal itu juga menjadi indikasi maraknya pemalsuan hadis oleh faksi-faksi yang terlibat dalam perselisihan politik dan teologis.[13]
Mah}mu>d Muh}ammad Abu> Rayyah, sebagaimana Esposito, juga meragukan historisitas hadis. Menurutnya, historisitas hadis sangat ideologis sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujah. Pendapat ini didasarkan pada sejarah hadis yang sangat kental dengan ideologi politik Umawi>yah. Abu> Rayyah mendasarkan pendapatnya itu pada data riwayat Abu> Hurayrah yang diklaim meramaikan dunia penulisan hadis. Abu> Hurayrah yang tercatat sebagai sahabat yang paling akhir masuk Islam, ternyata memiliki riwayat dengan jumlah terbesar. Bahkan periwayat hadis terbanyak ini pun tidak mendapatkan pengakuan dari ‘Ali> bin Abu> T{a>lib, seorang sahabat dan kerabat Nabi.[14] Bahkan Abu> Hurayrah juga mendapatkan banyak kecaman dari para sahabat senior yang lain.[15]
Kazi juga menolak kesimpulan Esposito tersebut dengan menegaskan bahwa seluruh hadis yang beredar telah melalui uji verifikasi oleh para ulama. Keberadaan mereka yang independen dari pemerintah menunjukkan bahwa uji verifikasi tersebut tidak dihegemoni oleh politik pemerintah. Sebuah hadis hanya akan direkam dan didokumentasikan jika benar-benar terbukti sahih, meski kesahihan tersebut bersifat ijtiha>di>. Beberapa tokoh seperti Ibn Jurayj (150 H), Ma>lik bin Anas (179 H), Sufya>n al-Thawri> (161 H), H{amma>d bin Salamah (167 H), Abdulla>h bin al-Muba>rak (181 H), dan al-Awza>‘i> (157 H) telah memberikan kontribusi penting terhadap lahirnya ilmu hadis yang menjadi pondasi kokoh pengujian hadis. Sebagai konsekuensinya, banyak sekali hadis-hadis lemah dan palsu diberantas dari peredaran di masyarakat. Pada saat yang sama, hadis-hadis sahih pun diseminasikan.[16]
Ghulam Ahmad Parvez menyadari betul bahwa dalam Islam hadis adalah bersumber dari wahyu ketuhanan. Sedangkan syariah adalah sebagai akibat dari sakralitas Sunnah dan otoritasnya sebagai sumber pengetahuan. Bagi Parvez, pendapat semacam itu secara fundamental adalah salah. Bagi Parvez, al-Quran sama sekali tidak memberikan legitimasi terhadap Sunnah sebagai pemegang otoritas dalam menetapkan Syariah. Kata al-h{ikmah dalam Quran (Qs. 2:129) tidak dapat diartikan sebagai sunnah, melainkan berarti umum 'kebijaksanaan'. Selanjutnya, ayat yang memberikan legitimasi terhadap apapun yang datang dari Nabi (Qs. 59:7) juga hanya berlaku khusus pada kasus distribusi hasil jarahan setelah pertempuran (ghani>mah). Maka, ayat tersebut menegaskan agar setiap orang rela dan menerima apapun bagian ghanimah yang diberikan oleh Nabi.[17]



Ideologi dan Orisinalitas Pesan Kenabian
Adanya sekat ideologis dalam internal umat Islam menjadikan riwayat para penganut ideologi tersebut tidak dapat diterima begitu saja. Banyak penganut ideologi yang tertolak karena alasan ideologis. Meski demikian, juga banyak riwayat penganut ideologi yang  diterima dengan beberapa alasan, di antaranya tidak profokatif, atau alasan apologetik, terlalu bagus untuk ditolak. Namun, hal ini perlu dijelaskan lebih jauh mengenai standar profokasi itu.
Sebuah teori sosial menyatakan bahwa tidak ada seseorang yang tidak berideologi. Maka, masing-masing individu pastilah memiliki paradigma dan ide-ide komunal yang tentunya juga mempengaruhi cara pandang terhadap orang lain. Oleh karena itu, jika seorang kritikus itu berideologi berbeda dengan seorang periwayat, lalu menilainya sebagai profokatif, maka pernilaian itu juga perlu ditinjau ulang. Karena itulah, dalam kaidah al-jarh} wa-al-ta‘di>lseorang kritikus tidak boleh mengkritik seorang periwayat atas dasar ideologi semata, khususnya ideologi keagamaan.[18]
Hal semacam itulah yang membuat Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> (1280 H-1332 H) menolak cara pandang beberapa kritikus rija>l klasik dalam menilai idoelogi seorang periwayat. Apalagi jika seorang kritikus tersebut merekomendasikan untuk menolak periwayatan seseorang yang berideologi berbeda. Karena itu pulalah, al-Qa>simi> menolak penggunaan label "bidah" untuk para penyandang ideologi yang keluar dari ortodoksi kritikus hadis.[19]
Al-Qa>simi> menilai para kritikus rija>l belakangan telah menyimpang dari kaidah kritik yang dipegang teguh oleh para ahli hadis kenamaan masa klasik. Dalam hal ini, karya al-Bukha>ri> dan beberapa ulama hadis lain menjadi saksi atas kesimpulan al-Qasi>mi> tersebut. Banyak sekali riwayat para penganut ideologi yang dikalim bidah itu bertebaran dalam mahakarya hadis tersebut. Dengan demikian, para ulama hadis klasik pada dasarnya tidak membedakan ideologi seseorang selama masih didasarkan pada al-Kitab dan Sunnah. Mereka tampak menyadari betul tentang perbedaan pemahaman terhadap teks dan cara pandang terhadap kasus-kasus keagamaan. Maka, selama ideologi tersebut dilakukan dengan cara pandang (istidla>l) yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka tidak laik dinyatakan sesat atau bidah. Ketidakrelaan al-Qa>simi> terhadap label "bidah" tersebut tampak dalam istilah al-mubadda‘u>n sebagai tawaran pengganti dari istilah mubtadi‘ yang disematkan kepada orang-orang yang diklaim bidah itu.[20]
Melalui istilah tersebut, al-Qa>simi> mengusulkan agar ideologi para periwayat tidak dijadikan alasan penolakan sebuah hadis. Usulan ini juga didasarkan pada pernyataan Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berideologi. Maka, setiap orang pasti memiliki ideologi yang berbeda-beda, meskipun secara institusional-komunal mereka berada dalam satu barisan. Dengan demikian, tidak mungkin menolak sebuah hadis hanya karena alasan ideologi keagamaan yang saat itu belum melembaga.
Beberapa tokoh yang disebut di atas tampak memihak pada pendapat yang menyatakan bahwa riwayat para penganut ideologi keagamaan dapat diterima secara mutlak, selama berkeperibadian sosial yang baik dan berkompeten. Di lain pihak, memang terdapat sebuah sikap tegas dan keras terhadap para penganut ideologi. Hal ini pulalah yang tampak dalam pernyataan Ibn Si>ri>n yang menolak riwayat ahli bidah. Maka, riwayat pengaut ideologi bidah (non Ahlussunnah) tertolak secara mutlak.[21]
Tampaknya pendapat ini pulalah yang dianut oleh para sarjana modern seperti Muir, Goldziher, Schacht, dan Juynboll. Mereka tampak mendukung penuh pendapat ini. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan bahwa semua riwayat hadis tidak dapat diterima karena diriwayatkan oleh orang-orang yang berideologi. Pendapat mereka ini pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tiga tokoh yang disebut sebelumnya, Ibn H{ajar, al-Qa>simi>, dan ‘Abd al-Fatta>h} Abu> Ghuddah. Mereka semua menyatakan bahwa tidak ada orang yang tidak berideologi. Dan karena itulah, mazhab tradisionalis yang kemudian dipakai oleh para sarjana Barat ini menolak seluruh riwayat hadis, karena tidak ada seseorang yang bebas dari ideologi. Namun, Mazhab revisionis yang dianut oleh ketiga sarjana muslim tersebut memiliki argumen bahwa tidak mungkin seseorang tidak berideologi, namun komunikasi antar sesama merupakan hal yang niscaya dan karena itu tidak tepat jika penolakan itu murni karena ideologi.[22] Inilah yang juga kemudian melahirkan teori bahwa akan terjadi pendisfungsian hadis secara masif dan besar-besaran jika alasan ideologi digunakan untuk sebagai standar penolakan riwayat.[23]
Penulis juga tidak sepakat jika alasan penolakan adalah standar profokasi. Karena pada dasarnya para penganut ideologi—apalagi jika telah mencapai gelar ulama atau memiliki kompetensi serta otoritas secara sosial untuk menyampaikan pesan penting keagamaan—pastilah dapat dikategorikan profokatif. Tujuan utama seseorang menyampaikan pesan adalah untuk diikuti, dan dengan demikian etika sosial keagamaan pun akan terbangun dengan kokoh. Oleh karena itulah, tujuan utama periwayatan hadis adalah untuk diamalkan, bukan sekadar diinventarisir. Pengamalan yang bersumber dari pemahaman yang berbeda-beda itulah yang kemudian melahirkan ideologi. Maka, saat mengamalkan lalu menyampaikan kembali sebuah pesan yang diyakini itulah seseorang sebenarnya sedang berideologi dan memprofokasi, atau dalam bahasa yang lebih halus disebut dengan berdakwah.



[1] Al-A‘z}ami>Manhaj al-Naqd, 23-24; al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fukhu>l (Kairo: al-H{alabi>, 1356 H), 51; Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>al-Mustas}fa> min-‘Ilm al-Us}u>l (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2010), cet.2, 201, dan Jala>l al-Di>n Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i>Tadri>b al-Ra>wi> bi-Sharh} Taqri>b al-Nawawi> (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2006)197.
[2] Al-A‘z}ami>Manhaj al-Naqd, 40-41.
[3] Wahyudin Darmalaksana, Hadits Di Mata Orientalis; Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 102.
[4] Begitulah yang belakangan oleh Joseph Schacht disebut sebagai teori Projecting Back. Menurut Schacht, isna>d memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Isna>d berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Dengan kata lain, isna>d merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara aliran fikih klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir Schacht ini dikenal dengan nama Projecting Back Theory. Lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi (Yogyakarta: LKiS, cet.193; MM A‘z}ami>Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.4, 2009), 534. Pendapat ini kemudian juga ditolak oleh kolega-koleganya sendiri bahwa secara logika tidak mungkin seseorang memalsukan sanad secara tanggung. Ia mampu menyandarkan kepada sahabat yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, seperti misalnya, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, dan Ali, namun pada kenyataannya riwayat-riwayat mereka justru tidak banyak. Mereka lebih memilih sahabat-sahabat yang tidak populer seperti Abu> Hurayrah. Maka, dengan penalaran itu, sanad oleh banyak sarjana Barat juga dinilai otentik. Lihat Johann W. Fueck, "The Role of Traditionalism in Islam", dalam Hadith (ed. Harald Motzki), Great Britain 2004, pp. 3-24. Lihat juga Herbert Berg, The Development of Exegesis, 39; Ali Masrur, Teori Common Link, 93
[5] Goldziher, Schacht, dan Hourgronje menggunakan metodologi yang berbeda, meski menghasilkan kesimpulan yang sama. Masing-masing merelasikan orisinalitas hadis terhadap politik. Jika Yazigi menganalisis konten hadis tersebut, dengan cara membaca motif penokohan dalam hadis, tanpa melihat siapa yang meriwayatkan, maka ketiga sarjana ini justru membaca motif pembukuan hadis. Menurut Goldziher, kitab-kitab hadis dibuat sebagai paying hukum ideologi yang dianut oleh penulisnya. Dengan kata lain, Goldziher menyamakan buku-buku hadis dengan hadis itu sendiri. 
[6] Dalam salah satu pidatonya, Nabi bersabda, "Fal yuballigh al-sha>hidu al-gha>'iba, fa-rubba muballagh aw‘a> min-al-sa>mi‘." Lihat al-Bukha>ri>S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beiru>t: Da>r Ibn Kathi>r al-Yama>mah, 1987), ii, 619-620, hadis no. 1652-1653.
[7] Nabi bersabda, "Taraktu fi>kum amrayni> ma> in tamassaktum bihima> lan tad}illu> abadan, kita>balla>hi wa-sunnata rasu>lih." HR. Muslim.
[8] Nabi bersabda, "Taraktu fi>kum amrayni> ma> in tamassaktum bihima> lan tad}illu> Abadan, kita>balla>hi wa-‘itrati> ahli bayti>." HR. al-Nasa>'i>.
[9] Kelompok Sunni> misalnya, mentarjih hadis pertama yang menyatakan bahwa kedua pusaka Nabi yang dapat menyelamatkan umat dari kesesatan beragama adalah al-Quran dan Sunnah Nabi. Sunnah Nabi dapat disampaikan oleh siapapun, termasuk Ahli bait. Sementara itu, kelompok Shi>‘ah justru sebaliknya. Mereka meyakini bahwa yang ra>jih} adalah hadis kedua yang menyatakan bahwa dua pusaka itu adalah al-Kita>b dan Ahli Bait Nabi. Kedua pusaka itulah yang dapat menyelamatkan umat sepanjang masa dari jurang kesesatan. Maka, mereka pun memahami bahwa yang dinamakan Sunnah adalah Sunnah Nabi dan Sunnah Ahli Bait Nabi. Di saat yang sama, kelompok Shi>‘ah menilai lemah untuk hadis yang pertama.
[10] Pada dasarnya Kassim Ahmad tidak mengingkari eksistensi hadis. Hanya saja ia meragukan orisinalitasnya sebagai sabda Nabi. Karena itu pula ia juga menolak otoritas hadis dalam Islam. Lihat keterangan Kassim Ahmad dalam blog pribadinya, [http://kassimahmad.blogspot.com/2006/05/note-this-is-extended-version-of.html], diakses pada Selasa, 14 Mei 2013 pkl. 05.00 WIB.
[11] Lihat Andrew RippinMuslims: Their Religious Beliefs and Practices (New York: Routledge, 1990), vol.1, 78.
[12] Pernyataan ini juga sesuai dengan teori kebohongan dalam tradisi kritik hadis. dalam teori itu dinyatakan bahwa kebohongan yang paling berbahaya adalah kebohongan yang dilakukan oleh orang-orang saleh. Lihat Mus}t}afa> al-Siba>‘i>al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi>-al-Tashri>‘ al-Isla>mi>, (Kairo: Da>r al-Sala>m, cet.4, 2008), 89
[13] John L. EspositoIslam-The Straight Path (Toronto: Oxford University Press, 1992), 81
[14] Lihat Abu> RayyahAd}wa>' ‘Ala> al-Sunnah al-Muh{ammadi>yah, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, cet.6, t.th), 174, 176-177. Pendapat ini justru tampak aneh karena antara ‘Ali> dan Abu> Hurairah tidak terjadi perselisihan apalagi permusuhan. Bahkan Abu> Hurairah memiliki banyak sekali riwayat sahih tentang keutamaan ‘Ali> dan Fa>t}imah serta kedua puteranya. Hadis sahih tentang penunjukan Ali oleh Nabi sebagai pemegang bendera (panglima) perang Khaybar juga disampaikan oleh Abu> Hurairah. Begitu juga riwayat tentang Fa>t}imah sebagai wanita termulia umat Nabi Muhammad juga disampaikan olehnya. Seandainya terjadi permusuhan, pastilah riwayat-riwayat semacam itu tidak akan beredar. Lihat ‘Abdul Mun‘im S{a>lih{ al-‘Ali> al-‘Izzi>, Difa>‘ ‘an-Abi> Hurairah (Beiru>t: Da>r al-Qalam, cet.2, 1981), 171-174
[15] Lihat Mah}mu>d Abu> RayyahAd}wa>' ‘ala>-al-Sunnah al-Muh{ammadi>yah, 174-176.
[16] Lebih lanjut, Kazi menegaskan bahwa pengujian terhadap otentisitas hadis telah selesai pada abad ke-3 H. Oleh karena itu, tak satupun agama, Negara, partai, ataupun kelompok ideologi yang dapat menyamai mahakarya para ulama abad itu dalam hal menjamin otentisitas hadis dan sunnah. Lihat M. Azhar U. Kazi, A Treasury of Ah}a>di>th (Jeddah: Abul Qasim Publishing House, 1992), 8-9, 12.
[17] Lihat Andrew RippinMuslims: Their Religious Beliefs and Practices, vol.1, 72-74. Kesimpulan senada juga datang dari George T{ara>bishi> yang juga menafikan otorisasi al-Quran terhadap Sunnah. Menurutnya, tidak ada satu ayat pun yang melegitimasi otoritas Nabi Muhammad dalam menetapkan hukum. Maka, menurut T{ara>bishi>, satu-satunya sumber ajaran Islam yang otoritatif adalah al-Quran. Lihat George T{ara>bishi>, Min-Isla>m al-Qur'a>n ila>-Isla>m al-H}adi>th: al-Nash'ah al-Musta'nifah (Beiru>t-London: Da>r al-Sa>qi>, 2010). Lihat juga Sheila McDonough, The Authority of The Past; A Study of Three Muslim Modernists (Chambersburg, Pennsylvania: American Academy of Religion, 1970), 37-38.
[18] Lihat Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>al-Jarh} wa-al-Ta‘di>l (Beiru>t: Mu'assasah al-Risa>lah, 1979), 3-4.
[19] Lihat Al-Qa>simi>al-Jarh} wa-al-Ta‘di>l, 4.
[20] Lihat Al-Qa>simi>al-Jarh} wa-al-Ta‘di>l, 11.
[21] Terkait detail pembahasan mengenai sikap para ulama hadis terhadap riwayat ahli bidah, lihat ‘A<<'id} bin ‘Abdulla>h al-Qarni>al-Bid‘ah wa-Atharuha> fi-al-Dira>yah wa-al-Riwa>yah (Beiru>t: Da>r Ibn H{azm, 2005), 69-94.
[22] Al-Qa>simi>al-Jarh} wa-al-Ta‘di>l, 3-4.
[23] Lihat al-Qarni>al-Bid‘ah, 69

0 komentar: