From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, June 22, 2013

KAMPUNGKU HIDUP KARENA AZAN



D
i antara agenda dakwah selama di Fakfak Papua-Barat beberapa bulan yang lalu adalah safari ke kampung-kampung. Sedianya, safari dakwah yang berpusat di kota itu, juga dijadualkan ke seluruh kampung pedalaman Fakfak. Namun karena keterbatasan waktu, agenda di beberapa kampung itu hanya sebagian saja yang dapat terlaksana.
Kampung pedalaman pertama yang kami tuju selama di Fakfak adalah Teluk Arguni. Namun, kali ini bukan Teluk Arguni yang ada di Kaimana. Teluk Arguni memang ada dua di Papua-Barat, satu di Kaimana, tanah kelahiran mantan Bupati Fakfak, dan satu lagi di Fakfak, salah satu tempat kami berdakwah. Keduanya sama-sama dikelilingi laut luas dan hanya bisa dilalui kendaraan laut.
Pulau kecil yang luasnya hanya beberapa kilometer persegi ini memang sangat terpencil. Ia bak sebuah kapal yang diam di tengah laut tak bergerak sama sekali karena memang laut yang mengangkutnya sangat ramah. Gelombang-gelombang ombak di sepanjang lautan menuju kampung ini pun tampak malu-malu dan tak sedikitpun bersuara, kecuali hanya seperti suara orang yang sedang berwudhu di kolam saja.
Di samping lokasinya yang berada persis di tengah samudera, kampung mungil ini juga dipenuhi hutan. Bahkan sepanjang perjalanan dari kota kabupaten menuju distrik Kokas yang membawahi kampung ini juga dipenuhi hutan belantara. Syukur, jalanan saat itu baru direhabilitasi sehingga perjalanan menuju distrik ini sangat lancar meski memakan waktu dua jam ditempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Praktis waktu yang selama itu tidak pakai macet sebagaimana di Ibukota Jakarta. Di sepanjang perjalanan itu hanya ada pepohonan dan sesekali tampak pejalan kaki juga binatang langka melintas. Rumah-rumah pun sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Meski demikian, hutan belantara sepanjang 170 km yang kami lalui ini sangat ramah alias aman dari tindak kejahatan, seperti perampokan dan pembegalan.
Setibanya di distik Kokas, kamipun langsung disambut oleh tokoh agama setempat. Tepat, di samping benteng pertahanan bawah tanah peninggalan Jepang pada saat Perang Dunia II, kami beristirahat sejenak sambil salat ashar. Beberapa saat kemudian, longboat yang hendak mengantar kami ke seberang pulau pun datang dan kami pun langsung melaut menuju kampung mungil nan terpencil itu.
Penyeberangan menuju Teluk Arguni dengan menggunakan longboat memakan waktu tak kurang dari setengah jam. Sepanjang pelayaran, kami hanya melihat bentangan air laut yang biru dan luas entah di mana ujungnya. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni yang hanya berisi batu cadas dan pepohonan besar nan hijau tak ubahnya seperti rambu-rambu lalu lintas di jalan darat. Tak kurang dari 100 pulau kecil tak berpenghuni itu menampakkan wajahnya yang hijau untuk menghormat dan mengantar perjalanan kami. Cahaya matahari yang sebelumnya tampak masih sangat terang pun benar-banar mengawal perjalanan laut itu.
Tepat bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, longboat yang membawa kami pun mendarat tepat di belakang sebuah rumah warga. Anak-anak yang sedang bermain-main sejenak menghentikan langkah kakinya menuju rumah masing-masing dan membalikkan muka ke arah kami. Rumah yang sebagiannya berlantai kayu dan mengapung di pinggir laut, tepat di samping longboat berparkir adalah sasaran kami. Beragam menu makanan dan jenis ikan laut pun telah disiapkan untuk kami sebagai menu buka puasa saat itu.
Di kampung yang berpenghuni hanya sekitar 120 kepala keluarga atau tiga RT saja ini tak ada satupun kendaraan darat. Baik itu sepeda pancal maupun motor, apalagi mobil. Namun bukan berarti warga setempat tidak memiliki motor atau mobil. Mereka yang memiliki kendaraan darat diparkir di distrik dan dititipkan pada kerabat yang ada di daratan seberang tempat kami pertama singgah itu. Sangat jauh memang, tapi begitulah adanya karena memang di kampung Arguni ini tidak diperlukan kendaraan darat. Betapa tidak, dari ujung hingga ke ujung kampung jaraknya tak lebih dari 500 m saja.
Teluk Arguni juga sama sekali tidak memiliki jaringan telpon apalagi internet. Selular yang masuk ke kampung ini sudah pasti tidak akan berfungsi meski dipasang antena yang sangat tinggi sekalipun. Syukur, melalui alat pemancar, siaran TV dan RRI Fakfak dapat mengudara di wilayah ini sehingga warga tidak ketinggalan berita. Hanya itulah akses informasi yang dapat diandalkan.

Kondisi yang demikian itu membuat daerah ini bak kampung mati yang tak berpenghuni sebagaimana gundukan bebatuan cadas, ditumbuhi hutan seperti yang kami jumpai di sepanjang penyeberangan tadi. Cahaya lampu yang tak begitu terang dan dan sesekali suara anak-anak berteriak ditambah gemericik ombak tak kuasa memecah keheningan kampung ini. Beruntung, masih ada yang membuat suasana kampung ini jadi hidup, yaitu kumandang adzan dan lantunan salawat nabi di tengah masjid yang belum juga sempurna direnovasi. Azan dan Salawat nabi benar-benar menjadi ruh tersendiri yang mampu menghidupkan kembali “kampung mati” itu. Raja (kepala suku) dan warga pun segera berbondong-bondong meramaikan masjid. [AUH]