From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

Friday, January 24, 2014

Hijrah: Antara Ruralisasi dan Urbanisasi

HIJRAH NABI DAN PEMBANGUNAN NEGERI
Oleh: Ahmad 'Ubaydi Hasbillah

Hijrah Nabi! Apa yang terbesit di benak Anda ketika mendengar dua kata itu? Kita semua sudah tahu bahwa Nabi hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) setelah lebih kurang 13 tahun diutus menjadi Rasul. Namun, apa hikmah yang bisa diambil dari peristiwa fenomenal yang dijadikan sebagai patokan awal kalender umat Islam itu? Masing-masing orang juga dapat berbicara sesuai dengan apa yang dia ketahui. Begitu pula telah banyak ulasan dalam bentuk tulisan maupun lisan yang mengupas nilai-nilai mulia dari pelajaran agung ini. Tujuannya adalah satu, agar dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian.
Lalu, apa pula yang terbesit dalam benak kita ketika peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah itu dikaitkan dengan urbanisasi di Indonesia, dan pembangunan negeri? Barangkali ada orang yang beranggapan bahwa salah satu tujuan hijrah Nabi adalah untuk mencari suaka politik, setelah bertahun-tahun ajarannya ditolak dan keselamatannya diancam oleh para penguasa Quraisy di Makkah. Ada pula yang berkeyakinan bahwa peristiwa hijrah adalah murni perintah Allah sebagaimana disebut dalam Qs.al-Anfal.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
"Sungguh orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad dengan harta dan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang menampung dan menolong (orang-orang yang berhijrah dan berjihad), mereka itu sebagiannya adalah pelindung bagi sebagian yang lain. Dan orang-orang yang beriman namun tidak berhijrah, maka tidak ada kewajiban bagimu untuk melindungi mereka sedikitpun hingga mereka berhijrah." (Qs. al-Anfal:72)
Ayat 72 tersebut ditegaskan kembali oleh Allah dalam ayat 74 bahwa orang-orang yang berhijrah, berjihad, atau orang-orang menampung dan menolong mereka, semuanya adalah mukmin sejati (al-mu'minuna haqqan) yang berhak mendapatkan ampunan dari Allah. Dari sinilah, inisiatif hijrah adalah murni bersumber dari wahyu dan karena itu bagian dari ajaran agama yang tidak boleh dilanggar. Melalui pesan ayat tersebut para muslim sangat antusias untuk berhijrah hingga kemudian distop oleh Nabi pada saat Fathu Makkah.
لا هجرة بعد الفتح، لكن جهاد ونية
"Tidak ada keharusan untuk berhijrah lagi, melainkan (harus tetap) berjihad dan niat yang tulus."
Hijrah bukanlah momentum untuk mencari suaka politik dan bukan pula bentuk keputusasaan Nabi dalam berdakwah di Makkah. Kata hijrah dan jihad bahkan seringkali disebutkan secara bersandingan dalam al-Quran dan Hadis. Ini menunjukkan semangat umat Islam harus tetap berkobar, bagaimanapun kondisinya.

Makna Hijrah
Hakikat hijrah seringkali diartikan sebagai perpindahan dari kondisi yang baik menjadi lebih baik, atau dari kondisi buruk menjadi baik. Namun jika merujuk pada konteks ayat dan hadis-hadis hijrah, tentu maknanya adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Bahwa tempat tujuannya itu lebih baik atau tidak, hal itu bukan esensi dari hijrah. Nabi sendiri pernah hijrah ke Taif dan ternyata tempat itu tidak lebih baik untuk beliau saat itu.
Sedangkan hijrah umat Islam menyertai Nabi adalah murni bentuk ujian keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Karena itu, Nabi pun menguji ketulusan mereka dengan perintah baiat. Maka, hijrah memang murni rencana Allah untuk Nabi dan kejayaan umat Islam seluruhnya.
Lalu apa esensi dari hijrah Nabi ke Madinah dan ke kota-kota lain? dan rasa-rasanya tidak akan berarti jika kita shanya mengetahui sejarah hijrah Nabi saja tanpa mengetahui signifikansinya bagi Indonesia. Maka, apa pelajaran yang bisa kita petik dari hijrah Nabi ini untuk pencerahan Indonesia kita? Khusus untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu terlebih dahulu sektor apakah yang akan kita benahi dan kita cerahkan di Indonesia ini dengan menggunakan pendekatan hijrah Nabi.
Setidaknya ada beberapa masalah sosial yang krusial di masyarakat Indonesia yang patut mendapatkan pelajaran agung dari peristiwa hijrah Nabi, yaitu persatuan dan kesatuan, perekenomian,  tata kota, dan karakter bangsa. Tentu tulisan ini tidak akan mengupas tuntas permasalahan tersebut hingga ke akarnya, melainkan hanya sekadar memotret. Selanjutnya, kita kembalikan kepada para pakar masing-masing bidang dan tentunya juga kepada diri kita masing-masing sebagai perangkat utama pembangunan Indonesia.

Hijrah, Persatuan dan Kesatuan (Tauhid)
Berbicara mengenai tauhid, pasti orientasi pemaknaan kita adalah kepada ketuhanan, mengesakan Allah. Nabi memang diutus untuk itu, menegakkan tauhid di manapun dan dalam sektor apapun. Ketika di Makkah, Nabi menyerukan hal itu sebagaimana tercermin dalam Qs. al-Ikhlas: 1-4. Begitu pula ketika beliau sudah berhijrah ke Madinah, satu hal yang pertama kali diserukan adalah tauhid. Hal ini misalnya, dapat kita baca dalam ayat-ayat Madaniyah seperti,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Katakanlah (Muhammad), wahai Ahli Kitab, kemarilah kalian, (menuju) kepada kalimah yang sama antara kami dan kalian; hendaklah kita tidak menyembah kecuali kepada Allah dan (hendaklah) kita tidak menyekutukan dengannya sesuatupun, dan  jangan pula sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lain (sebagai) tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. Alu Imran: 64)
Tauhid dalam arti ketuhanan yang Maha Esa sangatlah jelas bagi kita. Namun, ternyata tauhid di situ juga memiliki makna sosial. Kita perhatikan misalnya pada potongan terakhir ayat di atas, wa lâ yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban min dûnillâh. Seseorang tidak boleh menghamba kepada orang lain lantaran kelas sosial atau faktor lain. Begitupun sebaliknya, seseorang tidak boleh memperbudak atau menghinakan orang lain lantaran dinilai lebih rendah status sosialnya. Sebagai sesama manusia tidak boleh merasa paling mulia, paling luhur, paling berkuasa bak Tuhan (arbâban). Semua manusia adalah sama, hamba Allah. Hanya Allah-lah yang berhak mengaku dan menjadi Tuhan, Penguasa alam, Maha Agung, Maha Luhur.
Karena itu, dalam sejarah hijrah Nabi, Nabi juga menghapus kelas-kelas sosial berbasis kesukuan di Madinah. Nabi menyatukan mereka (tauhid) dalam ikatan Islam. Islam yang ramah terhadap sesama. Dan karena itu pula, akhir ayat tersebut berbunyi,
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ  
"Kemudian, jika mereka berpaling (dari seruanmu), maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam.'" (Qs. Alu Imran: 64)
Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam. Kamilah orang Islam yang hanya menyembah Allah saja. Kamilah orang Islam yang menolak keras kemusyrikan. Kami adalah orang-orang Islam yang menolak kelas-kelas sosial pemecah umat. Kamilah orang Islam yang menolak penuhanan sesama manusia lantaran perbedaan status sosial. Kami menyerukan persatuan dan kesatuan di bawah naungan Allah.
Kelas-kelas sosial memang seringkali menjadi penyakit bagi persatuan, di manapun. Di Makkah sebelum hijrah, Nabi memang belum berhasil menyatukan umat berbasiskan tauhid. Kekolotan pemuka-pemuka Quraisy yang didukung oleh salah satu paman Nabi sendiri lah faktor utamanya. Sedangkan Nabi yang saat itu masih dianggap sebagai anak kecil dan yatim dinilai tidak berhak mengatur dan menata kehidupan sosial mereka. Tersinggunglah mereka ketika Nabi mengajak mereka untuk bersatu dalam kesetaraan. Berbagai cercaan dan cacian pun beliau terima.
Di Madinah, Nabi berhasil merangkul seluruh lapisan masyarakat dan membangun peradaban gemilang berbasis kesetaraan dan persamaan derajat antar sesama (an lâ yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban). Dua suku terbesar penguasa Yatsrib yang saling bermusuhan secara turun-temurun, Aus dan Khazraj, pun berhasil disatukan oleh Nabi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Nabi mengangkat harkat dan martabat anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan kaum mustdl'afîn. Tradisi mengagungkan sesama dan merendahkan sesama (yattakhidza ba'dlunâ ba'dlan arbâban) ditolak dengan semboyan, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang Islam! (isyhadû bi annâ muslimûn)."
Saat itulah, Nabi mulai membangun sebuah Negara, sebuah kehidupan sosial yang berkeadilan, dan bersatu di bawah naungan Allah. Bangunan tauhîdul ummah (persatuan umat) berdiri kokoh di atas pondasi tauhidullâh (ketuhanan yang Maha Esa). Dengan pondasi inilah, para sahabat tidak hanya bersatu di hadapan Nabi saja, bahkan ketika tanpa kehadiran Nabi sekalipun. Prinsip mereka adalah bahwa Tuhan (rabb) yang mengawasi mereka bukanlah Nabi, bukan juga kepala suku, presiden, gubernur, walikota, aparat, atau instansi penegak hukum, melainkan Allah. Dialah yang memantau dan mendengar seluruh gerak gerik manusia.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
"Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatupun, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Qs. al-Syura: 11)
Belajar dari pesan hijrah Nabi, untuk konteks keindonesiaan, Bhinneka Tunggal Ika dapat dibangun kembali dengan dasar ketuhanan yang Maha Esa. Peran agama sangat penting dalam memperkokoh persatuan bangsa. Gerakan-gerakan transnasional di Indonesia juga banyak bermunculan dengan mengatasnamakan agama. Belajar dari pelajaran hijrah, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama harus selalu disatupadukan. Dengan demikian, semoga tidak ada lagi gerakan-gerakan transnasional yang mengatasnamakan agama, Islam khususnya.

Hijrah dan Green City
Barangkali istilah green city sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap Negara pasti mengidolakan konsep kota hijau yang ramah lingkungan, layak dan nyaman untuk dihuni. Hal ini tentu memerlukan tata kelola yang bagus dan profesional.
Belajar dari Madinah, sebagai "kota hijau" yang dibangun oleh Nabi sebagai muhajir, setidaknya dapat kita ambil beberapa pelajaran berharga. Memang, terkadang sebuah daerah akan maju jika dikelola oleh para pendatang. Para penduduk pribumi seringkali tidak memiliki inisiatif atau inspirasi kreatif untuk membangun daerahnya, kecuali setelah belajar dari luar. Yatsrib yang kala itu masih belum berperadaban, dihadiri oleh seorang negarawan dan pakar tata kota yang handal, mendapatkan bimbingan langsung dari Allah. Sebuah konsep hidup dalam persatuan (tauhid) berbasis ketuhanan yang Maha Esa yang diajarkan oleh Nabi ditolak oleh para pemuka Quraisy Makkah karena dinilai menyalahi tradisi leluhur. Para pemuka Quraisy itu tampaknya hendak mempertahankan tradisi leluhur mereka yang membuatnya nyaman dalam kekuasaan mereka. Maka, ketika ada sebuah tatanan baru yang lebih adil dan menjunjung tinggi persamaan pasti akan ditolak. Meski demikian, Nabi tidak lantas berputus asa. Beliau pun membuktikan kebenaran ajarannya itu di kampung orang lain, dan berhasil.
Memang, boleh saja kita memahami konsep tata kota yang diberlakukan oleh Nabi sebagai hal yang bersifat manusiawi, dan tidak bernilai syariat. Sebagai konsekuensinya, tidak harus menerapkan secara persis apapun yang diberlakukan oleh Nabi di Madinah. Namun, keberhasilan dakwah Nabi di kota barunya ini tentu juga tidak lepas dari tata kelola kota yang baik, sehingga penduduk setempat menjadi merasa lebih nyaman bersama pemimpin baru itu. Semangat pembangunan inilah yang patut untuk ditiru.
Meurujuk pada sebuah konsep green city yang saat ini dikampanyekan oleh banyak Negara di dunia, terdapat delapan komponen utama green city, yaitu green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, dan green community.
Terkait dengan desain dan perencanaan kota yang baik, dapat terlihat misalnya dari penamaan yang diberikan Nabi terhadap kota baru ini. Beliau mengubah nama Yatsrib yang merupakan nama seorang pemuka salah suku di sana, menjadi sebuah nama yang futuristik-prospektif, mencerminkan cita-cita luhur, yaitu al-Madinah (Kota besar atau City, bukan sekadar town).
Meski telah berubah nama, Nabi sama sekali tidak mengubah atau merusak komoditas utamanya sebagai penghasil kurma terbaik sampai dengan saat ini. Nabi tetap mempertahankan citra Madinah sebagai kota pertanian dan perkebunan. Dengan demikian kota agraris ini telah memenuhi syarat green open space (Ruang Terbuka Hijau). Jika Nabi dapat mengantarkan Madinah menjadi kota berperadaban dunia dengan tetap mempertahankan komoditas pertaniannya, maka bagaimana dengan Indonesia?
Lalu bagaimana dengan green waste (hidup hemat, tidak boros), green water, green energy, dan green building? Tentu Nabi juga mengajarkan kita untuk tidak bergaya hidup boros yang berakibat pada pemubadziran. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menegaskan hal itu. Sebagai hasilnya, hidup hemat juga dapat meminimalisir sampah yang menyebabkan kota menjadi kumuh. Sedangkan untuk program green water, jelas Nabi sangat memperhatikan itu. Nabi pernah melarang keras untuk berlebihan dalam berwudlu meskipun di sungai yang mengalir deras.
اسْتَقْصِدْ فِي الْمَاءِ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ
"Berhematlah dalam penggunaan air meskipun engkau sedang berada di sungai yang mengalir." (HR. Ibnu Majah)
Terkait dengan sarana transportasi, Nabi pun mengaturnya dengan apik. Banyak riwayat yang menjelaskan tentang "undang-undang" transportasi. Misalnya, sebuah hadis yang mengatur lebar jalan jika terjadi sengketa lahan.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إِذَا اخْتَلَفْتُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاجْعَلُوْهُ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ (رواه الشيخان)
'Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, "Jika kalian bersengta tentang lahan untuk sebuah jalan, maka jadikanlah untuk jalan itu seukuran tujuh hasta." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya itu, dalam hadis riwayat Abu Dawud misalnya juga ditegaskan kembali mengenai aturan itu.
عن سهيل بن معاذ بن أنس الجهنمي عن أبيه قال: غزوت مع الرسول صلى الله عليه وسلم غزوة كذا وكذا، فضيق الناس المنازل وقطعوا الطريق، فبعث نبي الله صلى الله عليه وسلم مناديا ينادي في الناس ، من ضيق منزلا أو قطع طريقا فلا جهاد له
Dari Suhail bin Mu'adz dari ayahnya, berkata: "Aku pernah berperang bersama Rasul dalam sebuah peperangan. Lalu, (kulihat) banyak orang mempersempit rumah-rumah mereka dan memotong (menutup) jalan-jalan. Lalu Nabi mengutus seorang juru bicara untuk menyampaikan sebuah pengumuman, "Siapa yang mempersempit rumah atau memotong suatu jalan, maka tidak berhak untuk berjihad." (HR. Abu Dawud).
Lebih dari itu, sebuah hadis populer tentang menyingkirkan sekecil apapun yang membahayakan para pengguna jalan juga menjadi bukti tata kelola kota yang baik. Dan itu menjadi salah satu tolok ukur keimanan. Dalam riwayat imam Muslim misalnya, terdapat sebuah riwayat:
عن أبي برزة قال: قلت يا نبي الله علمني شيئا أنفع به، فقال ، أَعْزِلِ اْلأَذَى عَنْ طَرِيْقِ الْمُسْلِمِيْنَ
Dari Abu Burzah berkata, "Ya Nabi, ajari aku sesuatu yang bermanfaat!" Nabi menjawab, "Singkirkan bahaya (apapun) dari jalanan orang-orang Islam." (HR. Muslim)
Terakhir, yang tidak kalah menarik adalah green community yang seringkali diartikan sebagai konsepsi kepekaan, kepedulian, dan peran aktif masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau. Nabi benar-benar melakukan itu, bahkan turut terlibat langsung dalam pembangunan dan pengembangannya, tidak sekadar menginstruksikan.
Ketika membangun masjid pertama di Madinah, para sahabat pun kagum terhadap sifat Nabi. Beliau yang terhormat justru meminta kepada para sahabat agar membiarkan beliau terlibat langsung dalam pembangunan masjid Nabawi. Tidak hanya itu, lansekap tata ruang kota pun beliau desain sendiri dengan sangat apik.
Nabi telah menetapkan empat unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota. Pertama, masjid jami’, yaitu Masjid Nabawi. Kedua, kediaman sang pemimpin (baginda Nabi) yang berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar yang kemudian dikenal dengan Sûq al-Nabi (pasar Nabi). Keempat, pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.
Program pertama yang diwujudkan oleh Nabi sesampainya di Madinah adalah membangun Islamic Center, yaitu masjid. Di sana segala urusan umat berpusat, khususnya yang berkaitan dengan keagamaan.
Program kedua adalah membangun komplek hunian yang majemuk, berbaur menjadi satu antara yang kaya dan miskin, berkulit hitam dan putih, dari suku besar dan kecil, dan sebagainya. Semuanya hidup dalam satu komplek dan tidak disekat dalam kluster-kluster berdasarkan status sosial. Nabi menyatukan mereka dalam satu komplek, satu kluster. Tujuannya tak lain adalah agar saling membantu, di samping juga membina kerukunan dan persatuan umat. Indonesia, khususnya Jakarta, perlu meniru konsep ini. Selama ini, kita dapati warga yang kaya cenderung menyendiri atau berkelompok dalam satu kluster, sedangkan warga miskin juga berkelompok dalam satu kluster di belakangnya, namun dengan dinding sekat yang sangat tebal. Walhasil, interaksi, kepedulian sosial, kerukunan, dan persatuan pun hanya menjadi mimpi di balik tembok. Kesenjangan sosial pun semakin mengemuka.
Berikutnya, Istana atau balai kota yang dekat dengan kediaman Nabi. Istana Nabi hanya berupa sepetak kamar, bak umumnya rumah kost atau rumah sewa di Jakarta. Sebagai pendatang, Nabi enggan untuk menampilkan wajah angkuh berumah megah yang membuat penduduk setempat segan untuk berkunjung. Dengan demikian, beliau tampak sangat akrab dan sayang terhadap seluruh rakyatnya, sampai-sampai menyebut mereka dengan istilah sahabat, bukan rakyat atau bawahan.
Pemimpin harus dekat dan akrab dengan warganya dan pusat pemerintahannya pun harus mudah diakses. Jika kita perhatikan alamat Nabi di Madinah, Nabi justru tidak memilih untuk tinggal di lingkungan orang-orang pribumi yang kaya, tinggal satu kluster dengan para konglomerat dan jauh dari warga umumnya. Nabi justru memilih untuk tinggal tepat di samping masjid jami' yang notabenenya sebagai pusat peribadatan, pemerintahan, dan gedung serbaguna. Sebagai pusat pemerintahan yang sekaligus gedung serbaguna, Nabi juga memfungsikan masjid sebagai basis pembangunan kota. Seluruh warga pun bebas mengakses pusat tersebut, meski tidak untuk urusan ibadah, kewarganegaraan, bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Itulah strategi Nabi dalam menata kota untuk percepatan pembangunan. Dengan cara ini pula, Nabi dapat memantau dan mendengarkan langsung keluhan dan aspirasi warganya.
Berikutnya adalah membangun pusat perekonomian berbasis pasar yang kemudian dikenal dengan istilah Sûq al-Nabî. Sesampainya di Madinah dan membangun Masjid sebagai Islamic Center, Nabi pun mulai mengatur perekonomian Madinah. Tujuan utamanya tak lain adalah untuk membebaskan harta-harta umat Islam dari unsur-unsur haram dan kezaliman. Dalam literatur Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa di Madinah terdapat sebuah pasar induk yang sudah berusia tua, Pasar Bani Qainuqa'. Pasar ini berada di tengah komunitas Yahudi Madinah. Di pasar ini terkenal pula praktik riba, perjudian, penipuan, kecurangan, monopoli, dan berbagai tindakan kotor lainnya. Tentu praktik yang demikian ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Menyikapi hal ini, Nabi tidak lantas kemudian memboikot atau menghancurkan pasar Bani Qainuqa' tersebut, melainkan melakukan diplomasi secara damai dengan mereka. Meski dengan banyak kendala yang cukup berarti, Nabi pun tidak menyerah dan akhirnya berhasil mendirikan pasar kecil di pinggiran Pasar Bani Qainuqa'. Pasar yang didirikan oleh Nabi ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Pasar Bani Qainuqa' yang telah lama beroperasi. Bak sebuah mall besar yang didepannya terdapat sekumpulan pedagang kaki lima. Namun, ternyata justru pasar kecil yang hanya beroperasi dibawah tenda besar (qubbah) yang justru kemudian menyedot perhatian banyak orang. Tidak diragukan lagi, sistem pasarnya yang berkerakyatan dan berkeadilan lah faktor utamanya.
Kehadiran pasar kecil yang baru ini lalu membuat geram para pemuka pasar Bani Qainuqa'. Tidak tanggung-tanggung, pimpinannya sendiri lah yang langsung terjun menghadapi pasar kecil ini. Adalah Ka'b bin al-Asyraf, salah seorang pemuka Yahudi Qainuqa' yang kemudian menggusur dan merobohkan tenda pasar Nabi. Namun, Nabi tidak berputus asa. Beliau pun menanggapinya dengan sangat arif. Beliau hanya diam dan mengatakan,
والله لأضربن له سوقاً هو أغيظ له من هذا
"Demi Allah, aku janji akan membangunkan sebuah pasar untuknya yang akan membuatnya lebih marah lagi daripada ini."
Lalu Nabi pun memindahkan pasar itu dari lingkungan Bani Qainuqa'. Beliau membebaskan sebidang tanah milik salah seorang sahabat lalu membangunnya sendiri. Setelah pembangunan dirasa cukup, beliau berpesan kepada para sahabatnya,
هذه سوقكم لا تتحجروا ولا يضرب عليه الخراج
"Ini adalah pasar milik kalian persempit dan jangan pula ditarik pajak."
Dengan demikian, jelas sudah bahwa nabi berhijrah ke Madinah untuk membangun kota percontohan hijau yang nyaman, layak huni dan sejahtera.

Hijrah: Urbanisasi atau Ruralisasi?
Istilah urbanisasi barangkali sudah populer di telinga kita, namun istilah ruralisasi tampaknya belum begitu familiar di masyarakat kita. Jika urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, maka ruralisasi adalah sebaliknya, perpindahan penduduk dari kota ke desa. Setidaknya, itulah yang menyebabkan istilah urbanisasi jauh lebih familiar dan diminati oleh banyak orang. Kesejahteraan adalah alasan utamanya. Tapi, benarkah bahwa setiap urbanisasi pasti berbanding lurus dengan kesejahteraan? Apakah ruralisasi selalu dihindari lantaran bayangan masa depan yang suram? Jika memperhatikan sejarah hijrah Nabi, tentu jawabannya adalah tidak.
Pernahkah terbesit dalam benak kita bahwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah pada hakikatnya adalah ruralisasi, bukan urbanisasi? Di sinilah, sebagai negarawan professional, Nabi justru rela pindah dari kota ke desa, demi pemerataan pembangunan yang komprehensif. Maka, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa tidak benar jika Nabi hijrah ke Madinah adalah untuk mencari suaka politik atau dukungan massa dari penduduk Madinah. Jika memang demikian tujuannya, pasti Nabi lah yang menikmati kemajuan Madinah, bukan membangun Madinah. Namun realitas justru menyatakan sebaliknya. Adalah Nabi orang yang paling besar jasanya dalam membangun Madinah hingga menjadi kota metropolitan.
Makkah jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad sudah terkenal di seantero jagat. Makkah sebagai pusat persinggahan perjalanan dagang antara Yaman dan Syam. Maka, tak heran jika Makkah dapat berkembang pesat jauh sebelum Madinah karena sebagai tempat bertemunya berbagai peradaban dunia. Tak heran pula jika kemudian profesi penduduk Makkah adalah pebisnis, pedagang, bukan petani atau pekebun seperti halnya penduduk Madinah. Di samping karena kesuburan tanahnya yang tidak mendukung, Ka'bah dan sumur Zamzam yang tak pernah kering itulah tampaknya yang mengharuskan mereka untuk belajar memanfaatkan keramaian dengan berbisnis di pasar-pasar besar pusat perdagangan dunia (International Trade Center).
Sementara itu, Madinah hingga kehadiran Nabi, mayoritas penduduknya adalah berprofesi sebagai petani atau pekebun yang tidak pandai berbisnis dan berniaga. Maka, ketika hadir pertama kalinya di Madinah, beliau menyatukan pendatang dari Makkah dengan penduduk pribumi Madinah dalam ikatan persaudaraan berbasis Islam. Mereka pun saling berbagi wawasan dan bertukar pikiran untuk memajukan perekonomian Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Penduduk pribumi (anshar) memiliki tanah kebun yang luas, namun tidak pandai memasarkan hasil buminya. Sementara para pendatang dari Makkah (muhajirin) pandai dalam hal pemasaran dan bisnis namun tidak memiliki komoditas yang dapat dijual. Maka, dibangunlah pasar-pasar sebagai pusat perdagangan dan pemasaran komoditas lokal Madinah yang tidak kalah ramainya dengan ITC di Makkah kala itu.
Saat ini Indonesia tengah dilanda krisis pemerataan pembangunan. Kota-kota besar berkembang pesat dengan begitu cepatnya, sementara desa-desa terpencil semakin kehilangan para pakar dan  generasinya. Tampaknya tidak ada orang yang tertarik untuk membangun desa, seperti yang dilakukan oleh Nabi. Padahal kota-kota metropolitan bisa sebesar itu tidak lain karena peran para pendatang (muhajirin) dari desa. Lalu, kenapa desa sendiri dibiarkan dalam ketertinggalan?
Baru-baru ini, pemerintah berencana untuk mengirimkan tenaga-tenaga ahli dan tenaga-tenaga pendidik ke desa dengan gaji berstandar kota. Jika demikian, tentu sangat bagus namun masih menyisakan masalah berupa kebergantungan pada gaji dari pemerintah. Namun, tentu akan lebih bagus lagi jika desa-desa itu diberdayakan perekonomiannya dengan membangun pusat-pusat perekonomian yang terintegrasi dengan kota. Dengan demikian, kebergantungan itu pun dapat dengan mudah terselesaikan. Begitulah yang dilakukan oleh baginda Nabi sebagai pahlawan pembangunan Madinah.
Setalah beberapa tahun menjadi imigran dan berhasil membangun Madinah, Nabi tidak kemudian melupakan tanah air tempat kelahirannya. Beliau selalu merindukan Makkah yang telah membesarkannya dan membentuk karakternya yang mulia itu. Maka, bertepatan dengan turunnya perintah haji pada tahun ke-6 pascahijrah, Nabi pun berniat untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus mudik ke kampung halamannya. Hanya saja, saat itu gagal karena Makkah masih dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Pada tahun berikutnya, Nabi berhasil memasuki kampung halamannya, itu pun hanya dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat masa umrah. Hingga kemudian tiba pada tahun ke-10 pascahijrah, barulah Nabi berkesempatan untuk pulang kampung melaksanakan ibadah haji, sambil membangun negeri, dan berhasil. Itulah yang biasa kita kenal sebagai proklamasi Makkah, atau Fathu Makkah, saksi sejarah keberhasilan Nabi membangun negerinya.
Begitulah yang dilakukan oleh Nabi. Kesuksesannya di negeri orang tetap tidak dapat membendung kecintaannya pada tanah air. Tampaknya beliau tidak ingin negerinya dalam keterpurukan sementara beliau mencapai puncak kesuksesan di negeri baru di luar sana. Maka, dengan proklamasi Fathu Makkah, Nabi berhasil menjadikan Makkah dalam tempo yang sesingkat-sesingkatnya.

Ikhtitam
Di sinilah tampak jelas bahwa Nabi membangun sebuah bangsa yang berkarakter dengan iman dan akhlak yang beliau contohkan sendiri. Namun, hijrah Nabi ke Madinah bukan hanya sekadar membawa missi keagamaan itu saja, melainkan juga seperangkat sektor kehidupan yang menjadi oleh-oleh yang paling berharga bagi Madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib. Maka, Seorang pemimpin di negeri manapun harus dapat mencontoh nila-nilai luhur yang diajarkan oleh Nabi tersebut jika masih mengharapkan kesuksesan dalam pembangunan negerinya.
Indonesia memiliki pancasila yang memuat nilai-nilai luhur yang diajarkan Nabi itu. Indonesia dibangun atas pondasi iman, ketuhanan yang Maha Esa, dibangun di atas pondasi kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Lalu, kenapa cahaya Indonesia masih malu-malu menyinari dunia? Madinah yang awalnya hanya sebuah daerah kecil bernama Yatsrib itu kini mampu menyinari dunia, lalu bagaimana dengan kita, Indonesia? Madinah dijadikan bersinar terang (al-munawwarah) oleh Allah melalui prinsip-prinsip tadi, maka kini saatnya kita wujudkan Indonesia al-Munawwarah. (AUH)

**Dimuat dalam Majalah Nabawi, edisi Tahun Baru Hijriah, 1435 H.

0 komentar: