NASIHAT BUAT PARA IMAM TARAWIH
Terinspirasi dari sebuah buku karya mahaguru kami, Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA, Nasihat Nabi Untuk Para Penghafal al-Quran. beliau menulis
buku tersebut dari kegelisahan beliau melihat fenomena-fenomena yang kurang baik
di sekitarnya. Banyak pembaca dan penghafal al-Quran yang hanya melafalkannya
saja, tanpa memperhatikan tajwida dan etika bacaannya. Bahkan tidak sedikit
pula yang perangainya berbalik arah dari apa yang dibacanya secara serampangan
tersebut. Miris sekali melihat fenomena tersebut. Barangkali ini termasuk yang
diramalkan oleh Rasulullah saw,
لا يبلغون حناجرهم
Apalagi jika sampai perangainya berbalik total dari apa yang dibacanya, na'udzubillah,
والقرآن يلعنه
Hal tersebut seringkali tidak kita sadari. Kita seringkali merasa sudah
benar dalam mempelajari al-Quran dan memperlakukannya. Akhlak kita terhadap
kita suci yangs atu ini seolah-olah sudah baik, namun akhlak kita ternyata
tanpa disadari telah menjauh darinya. Hadanallau wa iyyakum.
Kali ini kami mendapati fenomena yang lain. Kami tidak sedang membahas
lagi masalah al-Quran melaknati para pembacanya, atau bacaan yang hanya di
mulut saja, tak pernah melewati tenggorokan. Fenomena tarawih di bulan Ramadhan.
Kami juga tidak berpretensi sebagai orang yang baik apalagi sok baik. Kami
hanya merasa tidak nyaman dengan fenomena tersebut. Dan sebagaimana biasanya,
orang yang tidak nyaman juga berhak memberikan masukan agar mendapatkan
kenyamanan.
Ketidaknyamanan ini berawal dari sebuah kritik pedas dari seorang anak
kecil berusia sekitar 9-10 tahun yang tahun ajaran 2012 ini masuk kelas 3 SD. Anak
ini kami tahu telah tiga kali menghatamkan al-Quran dengan bacaan yang bagus,
mujawwad. Orangtuanya mendidiknya dengan baik dan kami kenal dekat dengannya. Ketika
bermakmum pada seorang hafidz, anak ini melontarkan kritiknya pada ayahnya,
"Yah, koq bacaannya jelek banget ya, tidak ada tajwidnya sama sekali."
Anak ini memang sudah dilatih membaca dengan tajwid dan lancer membacanya. Anak
sekecil itu menemukan ketidaknyamanan dalam berjamaah. Padahal saat itu, yang
dibaca adalah surat al-Baqarah. Tanpa mengikutinya sampai usai, tepatnya
setelah rakaat ke-8, ayah dan anak tersebut memutuskan untuk pindah ke masjid
sebelah yang hanya membaca surat-surat pendek namun santai. Justru di sinilah
mereka menemukan kenyamanan dalam shalat. Usai tarawih, ayah anak tersebut melaporkan
hal itu kepada kami, dan kami langsung paham apa yang dimaksudkannya. Kami pun
segera mengecek kepada pengurus masjid tempat ayah dan anak tersebut berjamaah
pertama kalinya. Keesokan harinya kami mendapatinya dengan mata dan telinga
kami sendiri. Tepat, apa yang dibicarakan anak tersebut.
Pada saat shalat isya, imam sudah tampak terburu-buru seolah-olah ingin
segera selesai. Dipilihlah bacaan pendek dan dibaca dengan begitu cepatnya.
Bacaan waqaf dibaca dengan cara washal. Ikhfa', izhar, idgham, ghunnah, mad,
dan car abaca al-Quran yang baik pun hilang semua. Lalu pertanyaannya, untuk apa terburu-buru melakukan shalat
maktubah, Isya, untuk mengejar tarawih yang sunnah? Kenapa tidak diperbaiki
isya'nya? Syukur-syukur kalau tarawihnya juga diperbaiki.
Usai shalat isya, kami pun masih megikuti tarawih di belakangnya, dan benar
apa yang dikatakan anak Sembilan tahun tadi. Anak itu bisa mengoreksi bacaan
imam yang hafal al-Quran. Satu halaman untuk setiap rakaat sehingga pada rakaat
ke-20, tepat satu juz al-Quran dihabiskan. Namun, sayang sekali bacaannya masih
seperti yang kami kemukakan tadi. Terjang habis. Sekali lagi, kami tidak butuh bacaan
secepat itu.
Kami yang merasa paling toleran dalam masalah tajwid saja menemukan
ketidaknyamanan saat mendengar bacaan itu. Kami bisa memaklumi kesalahan bacaan
orang-orang yang belajar membaca al-Quran asalkan dia memang sedang belajar. Bahkan
untuk dialek-dialek tertentu kami masih bisa maklum. Namun, kali ini tidak.
Penghafal al-Quran koq bacaannya tidak lebih baik dari pembelajar al-Quran
paling pemula sekalipun. Apalagi dia tahu ilmunya. Benar-benar tidak nyaman,
maka kamipun memutuskan untuk berhenti bermakmum dengan alasan tidak nyaman
dalam bermakmum. Beberapa kali kepala kami secara reflek menggeleng-geleng
setiap mendengar bacaan yang semrawut. Salah satu contoh, ayat "hunna
ummul kitab wa ukharu mutasyabihat." Apa persepsi anda jika dengung
pada kata hunna dihilangkan? Setahu kami dalam percakapan orang Arab
asli pun tidak akan secepat itu, dan apalagi menghilangkan penekanan bunyi nun
pada kata tersebut meski tidak mendengung. Tapi, kali ini tidak sedang
bercakap-cakap dengan bahasa Arab, melainkan sedang membaca al-Quran. Tentu,
jika dengung dan penekanan nun dihilangkan sama sekali, jadilah kata huna
yang dalam bahasa Arab berarti "di sini." Padahal, ayat tersebut
berbunyi "hunna" dengan dobel nun yang berarti "mereka
(ayat-ayat tersebut)." Dan masih banyak lagi.
0 komentar:
Post a Comment