From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

Wednesday, January 22, 2014

Tradisi Khatam Quran di Papua

BAPAK IMAM HARUS KHATAM QURAN

“Assalamu’alaikum. Sehat Pak Ustadz?” Begitu sambutan pertama yang kami terima ketika hendak mengisi tau’iayah (ceramah) menjelang tarawih di Masjid al-Rahman. “Alhamdulillah, sehat pak. Bapak sendiri, bagaimana kah?” sahut kami menanggapi sambutan hangat itu. Setelah beberapa kalimat sambutan dan perkenalan singkat, kami mendengar untuk yang ke sekian kalinya kalimat, “Saya bapak imam di sini, dan yang ini bapak wakil imam,” atau “Saya wakil imam di sini. Kalau yang itu, bapak imam.” Pertama kali mendengar kata itu, tidak ada kesan apapun di benak kami. Kata-kata bapak imam bagi kami adalah hal yang lumrah, tak ada yang istimewa. Tapi ternyata, tidak demikian di Fakfak. Setiap kali kami masuk masjid yang baru kami singgahi, kata-kata itu tak pernah absen dari telinga kami karena memang “bapak imam” adalah jabatan mulia dan dijunjung tinggi oleh warga Fakfak. Dia lah yang berhak memipin segala ritual keagamaan di sana, khususnya di masjid.
Jabatan imam di Fakfak bukanlah sembarang jabatan. Menjadi imam tidak serta merta dapat dilakukan oleh siapapun sebagaimana di daerah lain. Hanya beberapa masjid di kota yang kami ketahui tidak seekstrim masjid-masjid lain dalam hal penunjukan bapak imam ini.
Untuk menjadi bapak imam atau wakil imam yang resmi harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu diangkat oleh warga sekitar dan disahkan oleh pemerintah atau petuanan adat. Namun syarat utama bagi seorang calon bapak imam dan wakil  imam adalah harus sudah khatam al-Quran dan telah menikah. Jika syarat-syarat itu belum terpenuhi, jangan coba-coba memimpin shalat berjamaah di masjid, kecuali jika telah mendapat restu dari bapak imam yang ada di situ. Jika tidak, jamaah tidak akan ada yang ikut shalat bersama imam baru yang bukan “bapak imam” itu.
Sepintas, syarat menjadi imam tersebut biasa-biasa saja. Tapi, ada yang menarik dari persyaratan itu. Syarat harus khatam al-Quran, ternyata tidak sekadar telah khatam membaca al-Quran begitu saja. Bahkan seorang yang telah hafal 30 juz dan memiliki bacaan yang bagus sekalipun belum tentu memenuhi syarat khatam al-Quran ini. Betapa tidak, khatam al-Quran yang dimaksud adalah sebuah seremonial perayaan khusus untuk mendeklarasikan di hadapan khalayak bahwa si polan telah khatam membaca al-Quran. Seremonial itu dilakukan secara besar-besaran dengan mengundang seluruh warga dan petuanan adat dan biasanya dilangsungkan selama sehari semalam penuh atau lebih. Setelah dideklarasikan telah khatam al-Quran dan telah menikah, barulah ia bisa dicalonkan menjadi bapak imam yang sah.
Konon, pernah ada seorang ustadz yang ditugaskan untuk safari ramadhan di salah satu masjid kampung di Bomberay. Ustadz itu sudah dikenal baik oleh warga setempat. Dia pun mendapat kesempatan memimpin shalat isya dan tarawih serta mengisi ceramah agama. Namun, setelah itu ada yang berkomentar, “Pak ustadz belum khatam Quran toh!” warga setempat memang tahu berul riwayat pak Ustadz itu dari kecil hingga dewasa. Jelas, maksud dari ucapan itu adalah “Kok pak ustadz memimpin shalat, padahal belum mengadakan seremonial khatam Quran.”
Kami juga termasuk orang yang belum memenuhi syarat itu. Maka, kami pun belum layak menjadi imam shalat di sana, kecuali di eberapa masjid yang di kota dan di beberapa kampung yang bapak imamnya telah mulai terbuka cara berpikirnya.
Di masjid al-Rahman, kami sempat diminta menjadi imam shalat isya dan tarawih di masjid ini. Tapi, tidak untuk shalat witir. Tiga rakaat penutup itu harus dipimpin oleh bapak imam dan tidak dapat terwakilkan. Kami diminta mengimami shalat dengan alasan bapak imam ingin diimami oleh ustadz dari Istiqlal Jakarta. Perlu diketahui bahwa kami di sana dikenal sebagai utusan Istiqlal, bukan Darus-Sunnah. Berkali-kali kami menjelaskan bahwa kami bukan dari Istiqlal, warga tetap saja menyebut kami sebagai utusan Istiqlal. Ini karena beberapa saat sebelum kedatangan kami di sana, Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis yang dalam kapasitasnya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal sempat singgah dan memberikan ceramah yang meninggalkan kesan indah bagi mereka. Maka, setiap kali kami memperkenalkan diri dan mengaku sebagai murid Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, mereka langsung menyebut kami sebagai utusan Istiqlal. Barangkali, karena sebutan itu pulalah yang paling mudah diingat oleh mereka karena kebesaran nama Istiqlal.
Di masjid al-Anshar di Jalan Baru, pinggri laut, kami juga sempat beberapa kali diminta menjadi imam, baik shalat fardhu atau tarawih. Bahkan di masjid ini beberapa kali kami juga diminta mengisi khutbah Jumat. Hanya saja, para pengurus masjid ini, termasuk bapak Imam dan wakilnya bukan orang asli Papua. Masjid baru ini dipimpin oleh seorang pendatang dari Ambon dan Trenggalek Jawa Timur sehingga tradisinya pun berbeda.

Dengan demikian, selama di Fakfak, kami hanya beberapa kali saja menjadi imam shalat, khususnya imam shalat wajib. Meski demikian, mereka tetap terbuka jika ada yang datang untuk mengajari mereka tentang agama dan mengaji. [AUH]

0 komentar: