BAPAK
IMAM HARUS KHATAM QURAN
“Assalamu’alaikum.
Sehat Pak Ustadz?”
Begitu sambutan pertama yang kami terima ketika hendak mengisi tau’iayah (ceramah)
menjelang tarawih di Masjid al-Rahman. “Alhamdulillah, sehat pak. Bapak
sendiri, bagaimana kah?” sahut kami menanggapi sambutan hangat itu. Setelah
beberapa kalimat sambutan dan perkenalan singkat, kami mendengar untuk yang ke
sekian kalinya kalimat, “Saya bapak imam di sini, dan yang ini bapak wakil
imam,” atau “Saya wakil imam di sini. Kalau yang itu, bapak imam.”
Pertama kali mendengar kata itu, tidak ada kesan apapun di benak kami.
Kata-kata bapak imam bagi kami adalah hal yang lumrah, tak ada yang istimewa.
Tapi ternyata, tidak demikian di Fakfak. Setiap kali kami masuk masjid yang
baru kami singgahi, kata-kata itu tak pernah absen dari telinga kami karena memang
“bapak imam” adalah jabatan mulia dan dijunjung tinggi oleh warga Fakfak. Dia
lah yang berhak memipin segala ritual keagamaan di sana, khususnya di masjid.
Jabatan
imam di Fakfak bukanlah sembarang jabatan. Menjadi imam tidak serta merta dapat
dilakukan oleh siapapun sebagaimana di daerah lain. Hanya beberapa masjid di
kota yang kami ketahui tidak seekstrim masjid-masjid lain dalam hal penunjukan
bapak imam ini.
Untuk
menjadi bapak imam atau wakil imam yang resmi harus memenuhi beberapa kriteria,
yaitu diangkat oleh warga sekitar dan disahkan oleh pemerintah atau petuanan
adat. Namun syarat utama bagi seorang calon bapak imam dan wakil imam adalah harus sudah khatam al-Quran dan telah
menikah. Jika syarat-syarat itu belum terpenuhi, jangan coba-coba memimpin
shalat berjamaah di masjid, kecuali jika telah mendapat restu dari bapak imam
yang ada di situ. Jika tidak, jamaah tidak akan ada yang ikut shalat bersama imam
baru yang bukan “bapak imam” itu.
Sepintas,
syarat menjadi imam tersebut biasa-biasa saja. Tapi, ada yang menarik dari
persyaratan itu. Syarat harus khatam al-Quran, ternyata tidak sekadar telah
khatam membaca al-Quran begitu saja. Bahkan seorang yang telah hafal 30 juz dan
memiliki bacaan yang bagus sekalipun belum tentu memenuhi syarat khatam
al-Quran ini. Betapa tidak, khatam al-Quran yang dimaksud adalah sebuah
seremonial perayaan khusus untuk mendeklarasikan di hadapan khalayak bahwa si
polan telah khatam membaca al-Quran. Seremonial itu dilakukan secara
besar-besaran dengan mengundang seluruh warga dan petuanan adat dan biasanya
dilangsungkan selama sehari semalam penuh atau lebih. Setelah dideklarasikan
telah khatam al-Quran dan telah menikah, barulah ia bisa dicalonkan menjadi bapak
imam yang sah.
Konon,
pernah ada seorang ustadz yang ditugaskan untuk safari ramadhan di salah satu masjid
kampung di Bomberay. Ustadz itu sudah dikenal baik oleh warga setempat. Dia pun
mendapat kesempatan memimpin shalat isya dan tarawih serta mengisi ceramah
agama. Namun, setelah itu ada yang berkomentar, “Pak ustadz belum khatam Quran
toh!” warga setempat memang tahu berul riwayat pak Ustadz itu dari kecil hingga
dewasa. Jelas, maksud dari ucapan itu adalah “Kok pak ustadz memimpin shalat,
padahal belum mengadakan seremonial khatam Quran.”
Kami
juga termasuk orang yang belum memenuhi syarat itu. Maka, kami pun belum layak
menjadi imam shalat di sana, kecuali di eberapa masjid yang di kota dan di
beberapa kampung yang bapak imamnya telah mulai terbuka cara berpikirnya.
Di
masjid al-Rahman, kami sempat diminta menjadi imam shalat isya dan tarawih di
masjid ini. Tapi, tidak untuk shalat witir. Tiga rakaat penutup itu harus
dipimpin oleh bapak imam dan tidak dapat terwakilkan. Kami diminta mengimami
shalat dengan alasan bapak imam ingin diimami oleh ustadz dari Istiqlal
Jakarta. Perlu diketahui bahwa kami di sana dikenal sebagai utusan Istiqlal,
bukan Darus-Sunnah. Berkali-kali kami menjelaskan bahwa kami bukan dari
Istiqlal, warga tetap saja menyebut kami sebagai utusan Istiqlal. Ini karena
beberapa saat sebelum kedatangan kami di sana, Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu
Hadis yang dalam kapasitasnya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal sempat singgah
dan memberikan ceramah yang meninggalkan kesan indah bagi mereka. Maka, setiap
kali kami memperkenalkan diri dan mengaku sebagai murid Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA, mereka langsung menyebut kami sebagai utusan Istiqlal.
Barangkali, karena sebutan itu pulalah yang paling mudah diingat oleh mereka
karena kebesaran nama Istiqlal.
Di
masjid al-Anshar di Jalan Baru, pinggri laut, kami juga sempat beberapa kali
diminta menjadi imam, baik shalat fardhu atau tarawih. Bahkan di masjid ini
beberapa kali kami juga diminta mengisi khutbah Jumat. Hanya saja, para
pengurus masjid ini, termasuk bapak Imam dan wakilnya bukan orang asli Papua.
Masjid baru ini dipimpin oleh seorang pendatang dari Ambon dan Trenggalek Jawa
Timur sehingga tradisinya pun berbeda.
Dengan
demikian, selama di Fakfak, kami hanya beberapa kali saja menjadi imam shalat,
khususnya imam shalat wajib. Meski demikian, mereka tetap terbuka jika ada yang
datang untuk mengajari mereka tentang agama dan mengaji. [AUH]
0 komentar:
Post a Comment