i antara agenda dakwah selama di Fakfak Papua-Barat beberapa bulan yang
lalu adalah safari ke kampung-kampung. Sedianya, safari dakwah yang berpusat di
kota itu, juga dijadualkan ke seluruh kampung pedalaman Fakfak. Namun karena
keterbatasan waktu, agenda di beberapa kampung itu hanya sebagian saja yang
dapat terlaksana.
Kampung pedalaman pertama yang kami tuju
selama di Fakfak adalah Teluk Arguni. Namun, kali ini bukan Teluk Arguni yang
ada di Kaimana. Teluk Arguni memang ada dua di Papua-Barat, satu di Kaimana,
tanah kelahiran mantan Bupati Fakfak, dan satu lagi di Fakfak, salah satu
tempat kami berdakwah. Keduanya sama-sama dikelilingi laut luas dan hanya bisa
dilalui kendaraan laut.
Pulau kecil yang luasnya hanya beberapa
kilometer persegi ini memang sangat terpencil. Ia bak sebuah kapal yang diam di
tengah laut tak bergerak sama sekali karena memang laut yang mengangkutnya
sangat ramah. Gelombang-gelombang ombak di sepanjang lautan menuju kampung ini
pun tampak malu-malu dan tak sedikitpun bersuara, kecuali hanya seperti suara
orang yang sedang berwudhu di kolam saja.
Di samping lokasinya yang berada persis
di tengah samudera, kampung mungil ini juga dipenuhi hutan. Bahkan sepanjang
perjalanan dari kota kabupaten menuju distrik Kokas yang membawahi kampung ini
juga dipenuhi hutan belantara. Syukur, jalanan saat itu baru direhabilitasi
sehingga perjalanan menuju distrik ini sangat lancar meski memakan waktu dua
jam ditempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Praktis waktu yang selama
itu tidak pakai macet sebagaimana di Ibukota Jakarta. Di sepanjang perjalanan
itu hanya ada pepohonan dan sesekali tampak pejalan kaki juga binatang langka
melintas. Rumah-rumah pun sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Meski
demikian, hutan belantara sepanjang 170 km yang kami lalui ini sangat ramah alias
aman dari tindak kejahatan, seperti perampokan dan pembegalan.
Setibanya di distik Kokas, kamipun
langsung disambut oleh tokoh agama setempat. Tepat, di samping benteng
pertahanan bawah tanah peninggalan Jepang pada saat Perang Dunia II, kami
beristirahat sejenak sambil salat ashar. Beberapa saat kemudian, longboat yang
hendak mengantar kami ke seberang pulau pun datang dan kami pun langsung melaut
menuju kampung mungil nan terpencil itu.
Penyeberangan menuju Teluk Arguni dengan
menggunakan longboat memakan waktu tak kurang dari setengah jam.
Sepanjang pelayaran, kami hanya melihat bentangan air laut yang biru dan luas
entah di mana ujungnya. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni yang hanya berisi
batu cadas dan pepohonan besar nan hijau tak ubahnya seperti rambu-rambu lalu
lintas di jalan darat. Tak kurang dari 100 pulau kecil tak berpenghuni itu
menampakkan wajahnya yang hijau untuk menghormat dan mengantar perjalanan kami.
Cahaya matahari yang sebelumnya tampak masih sangat terang pun benar-banar mengawal
perjalanan laut itu.
Tepat bersamaan dengan tenggelamnya
matahari di ufuk barat, longboat yang membawa kami pun mendarat tepat di
belakang sebuah rumah warga. Anak-anak yang sedang bermain-main sejenak menghentikan
langkah kakinya menuju rumah masing-masing dan membalikkan muka ke arah kami.
Rumah yang sebagiannya berlantai kayu dan mengapung di pinggir laut, tepat di
samping longboat berparkir adalah sasaran kami. Beragam menu makanan dan
jenis ikan laut pun telah disiapkan untuk kami sebagai menu buka puasa saat
itu.
Di kampung yang berpenghuni hanya
sekitar 120 kepala keluarga atau tiga RT saja ini tak ada satupun kendaraan
darat. Baik itu sepeda pancal maupun motor, apalagi mobil. Namun bukan
berarti warga setempat tidak memiliki motor atau mobil. Mereka yang memiliki
kendaraan darat diparkir di distrik dan dititipkan pada kerabat yang ada di
daratan seberang tempat kami pertama singgah itu. Sangat jauh memang, tapi
begitulah adanya karena memang di kampung Arguni ini tidak diperlukan kendaraan
darat. Betapa tidak, dari ujung hingga ke ujung kampung jaraknya tak lebih dari
500 m saja.
Teluk Arguni juga sama sekali tidak
memiliki jaringan telpon apalagi internet. Selular yang masuk ke kampung ini
sudah pasti tidak akan berfungsi meski dipasang antena yang sangat tinggi
sekalipun. Syukur, melalui alat pemancar, siaran TV dan RRI Fakfak dapat
mengudara di wilayah ini sehingga warga tidak ketinggalan berita. Hanya itulah
akses informasi yang dapat diandalkan.
Kondisi yang
demikian itu membuat daerah ini bak kampung mati yang tak berpenghuni
sebagaimana gundukan bebatuan cadas, ditumbuhi hutan seperti yang kami jumpai
di sepanjang penyeberangan tadi. Cahaya lampu yang tak begitu terang dan dan
sesekali suara anak-anak berteriak ditambah gemericik ombak tak kuasa memecah
keheningan kampung ini. Beruntung, masih ada yang membuat suasana kampung ini
jadi hidup, yaitu kumandang adzan dan lantunan salawat nabi di tengah masjid
yang belum juga sempurna direnovasi. Azan dan Salawat nabi benar-benar menjadi
ruh tersendiri yang mampu menghidupkan kembali “kampung mati” itu. Raja (kepala
suku) dan warga pun segera berbondong-bondong meramaikan masjid. [AUH]