From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, April 18, 2013

AKURASI SUMBER BERITA: OLEH-OLEH DARI RESTO CAFE



Secangkir Kopi panas hot Americano coffee dan sepotong Apple Turnover Puff benar-benar menghangatkan pagi itu. Segala yang beku di pagi itupun menjadi cair. Tiba-tiba ada yang mengingatkanku pada sebuah firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6)
Setidaknya ada tiga kata yang bisa dijadikan pisau analisis dari ayat tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial di masyarakat, yaitu: Fasiqun, Naba', dan Tabayyanu. Tiga kata tersebut dapat pula kita bahasakan dengan who, what, dan how.
Demikianlah cara yang diajarkan kepada kita dalam menyikapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan menyangkut akurasi sebuah berita, apalagi jika berita tersebut menyangkut harga diri, prestise, dan kehormatan orang lain, dan lebih-lebih sesama mukmin.
Ibda' bima bada'a Allah. Mari kita renungkan urutan penyebutan kata dalam ayat tersebut yang mengisyaratkan fenomena penyebaran berita, mulai dari dibawa atau disampaikan oleh orang fasik, kemudian menjadi heboh dan menghebohkan. Maka, sikap yang paling arif adalah klarifikasi agar kelak tidak terjadi dugaan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang berujung pada penyesalan. Tapi ingat, klarifikasi pun tidak boleh sembarangan.
1.       Who >> Fasiq
Sebuah berita adakalanya benar dan adakalanya bohong. Berita benar selalu muncul dari orang yang benar, dan berita bohong selalu muncul dari orang yang tidak benar. Orang benar bukan berarti orang baik, sebagaimana orang yang tidak benar juga bukan berarti selalu tidak baik.
Adakalanya orang baik juga melakukan kesalahan sehingga ucapannya tidak benar dan terjadilan kebohongan secara langsung atau tidak, dan disadari atau tidak. Begitu pula dengan orang yang tidak baik, bukan berarti ia adalah pembohong yang selalu menebar dusta dan fitnah. Adakalanya orang yang tidak baik juga berkata jujur, meski tidak banyak yang memercayainya.
Sebuah berita yang muncul dari orang baik seringkali dianggap sebagai sebuah kebenaran, sedangkan yang datang dari orang yang tidak baik (minimal perspektif sosial-zahir manusia)  hampir selalu dinyatakan bohong. Karena itulah, orang-orang yang baik tanpa disadari juga sering terjerumus dalam jurang kefasikan yang dikelilingi oleh taman-taman indah memesona. Anehnya, tidak sedikit orang yang terlanjur terperosok dalam jurang kefasikan itu kemudian merasa nyaman di sana karena merasa dikelilingi oleh taman hijau nan asri. Sebaliknya, seseorang juga seringkali gagal masuk ke sebuah taman indah karena dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Logika sekuritas berlaku dalam kasus yang disebut terakhir ini. Sebuah taman indah sengaja dipagar dengan kawat berduri karena tidak sedikit pengunjung yang mbeling sehingga merusak keindahan taman. Sebuah sabda Nabi telah mengingatkan hal ini sejak dulu,
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
Sulit memang, memastikan apakah orang itu baik atau tidak. Logika sosial seringkali digunakan untuk menjastifikasi kebaikan seseorang. Tidak ada sebuah lembaga yang berhak memberikan label baik atau buruk fasik atau shalih terhadap seseorang. Seandainya ada lembaga seperti itu, pasti hal tersebut telah mengambil alih wewenang Tuhan. Karena itu pula, seringkali seseorang menjadikan rasio dan egonya sebagai lembaga yang menurutnya otoritatif untuk mendakwa seseorang sebagai fasik atau tidak baik. Inilah yang membuat seseorang saling curiga dan kemudian naik menjadi su'u zhon, lalu naik lagi ke level fitnah. Kondisi demikian itu menjadikan pernyataan apapun yang muncul dari seseorang yang telah dianggap sebagai fasik sebagai sebuah berita heboh, tapi ceroboh. Kecerobohan itulah yang membuat berita menjadi besar dan lebih dibesar-besarkan. Jika tidak segera diredam, maka bisa menyulut api fitnah yang siap melalap habis kehormatan dan reputasi seseorang. Karena itu, berhati-hatilah dalam membawakan sebuah berita, carilah sumber yang akurat dan jangan sembarangan menyampaikannya. Waspadalah gejala fasik yang satu ini.

2.       What >> Naba'
Berita heboh dan menghebohkan. Sebenarnya sebuah berita itu tidak selamanya menghebohkan, namun karena permainan kata dan lidah semuanya jadi heboh dan besar. Tak jarang, sebuah fakta kecil-biasa diberitakan dan dibesar-besarkan dengan cara menyorot satu hal dan menyembunyikan banyak hal lain yang sebenarnya dapat menetralisir racun berita tersebut.
Sebuah berita ketika masih pada level curiga seharusnya segera diredam dengan cara dilakukan klarifikasi, karena jika tidak, dapat menjadi prasangka buruk yang kemudian mengendap di hati dan pikiran. Jika prasangka sudah mengendap dalam hati dan otak, maka tentunya akan sangat sulit untuk dihapus dan dibersihkan. Ia pun akan selalu teringat dan suatu saat muncul dalam bentuk berita bohong. Karena itu, Nabi pun mengingatkan,
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث
Hati dan otak tampaknya memang bukan storasi yang dapat menyimpan endapan prasangka tersebut. Maka, hati dan pikiran tersebut pun mencoba mengeluarkannya sedikit demi sedikit. Keduanya memang merupakan motor penggerak tingkah laku manusia. Karena itu, ketika sebuah prasangka menguat dan tak terkontrol lagi seperti itu, naiklah ia ke level fitnah.
Sebuah berita ketika masih berada pada level zhon sebenarnya masih bisa diklarifikasi dan dibuktikan kebohongannya. Bahayanya pun tidak sebesar ketika sudah masuk pada level fitnah. Sebuah prasangka buruk selama tidak diungkapkan kepada orang lain tidak menjadi masalah. Namun, jika ia sudah diyakini dan dijadikan dasar sebuah omongan sehingga timbul berita dusta, maka itulah yang sering orang-orang klaim sebagai yang lebih kejam daripada pembunuhan. Ini bukan berarti penafsiran atas sebuah ayat, wal fitnatu asyaddu min al-qatl. Berita bohong atau yang dalam Bahasa Indonesia sering diistilahkan dengan fitnah (bukan al-fitnah dalam Bahasa Arab sebagaimana dalam ayat tersebut) adalah tak ubahnya sebuah pembunuhan karakter. Jadi, tidak salah juga ungkapan umum masyarakat tersebut, "Fitnah (yang berarti pembunuhan karakter) lebih kejam daripada pembunuhan."
Berita yang telah masuk dalam prasangka sosial itu sangat sulit dihilangkan. Membuktikan kebohongannya pun tidak mudah. Logika komunal memang seringkali dijadikan sebagai patokan dan lebih diutamakan daripada logika individu.
Terkait akurasi sebuah berita, perlu kita pahami bahwa ada tiga jenis sumber penisbatan berita, yaitu nisbah dzihniyyah, kalamiyyah, dan kharijiyyah. Barangkali itulah yang disebut dengan proses kognisi berita. Sebuah pernyataan, "Joni pandai" misalnya, ketika saya mengucapkan kata tersebut, maka berita itu masih dalam taraf nisbah dzihniyyah. Saya membuat sebuah asumsi atau dugaan bahwa Joni adalah pandai. Namun, ketika anda mendengar pernyataan saya tersebut, lalu anda sampaikan lagi kepada orang lain, maka pernyataan anda tersebut adalah nisbah kalamiyyah. Anda telah mengutip pernyataan yang merupakan asumsi saya. Setelah pernyataan tersebut menjadi berita heboh bahwa Joni pandai, maka perlu dibuktikan, apakah benar ada anak bernama Joni dan apakah dia pandai?. Lalu, dilakukanlah pengujian. Jika terbukti lolos, maka benar Joni adalah anak yang pandai. Pembuktian semacam ini disebut dengan nisbah kharijiyyah. Berita itu bersumber dari fakta di luar prasangka dan omongan manusia. Jika sumber lisan (nisbah kalamiyyah) itu sesuai dengan fakta, maka berita itu benar. Sebaliknya jika tidak sesuai, maka berita tersebut bohong. Jika kebohongan itu disengaja, maka pelakunya layak disebut pembohong.

3.       How >> Tabayyun
Karakter seseorang memang berbeda-beda. Ada kalanya orang itu mudah terbawa berita dan adakalanya yang cukup tangguh dan cuek karena sistem imun dalam tubuhnya bekerja begitu aktifnya. Tapi, orang yang cuek sekalipun terkadang juga masih bisa dipengaruhi. Berita yang telah terlanjur diucapkan akan mudah tersebar dan karena itu, berhati-hatilah menyampaikan sebuah berita sebelum klarifikasi pada sumber yang paling otoritatif. Dan bagi anda yang dijadikan sebagai sumber otoritatif, berikanlah keterangan secukupnya yang paling akurat dan jujur agar tidak sampai pada fitnah. Karena jika tidak, maka anda pun bertanggung jawab atas tersebarnya berita bohong itu karena sikap diam tersebut.
Mungkin anda sedang diam karena mengamalkan sebuah ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Tapi, ingatlah konteks ayat tersebut tidak sama dengan sikap seperti diam seperti itu. Bahkan tidak tepat jika dipahami demikian. Hal ini juga pernah terjadi pada beberapa sahabat Nabi yang salah dalam memahami ayat tersebut sehingga Abu Bakar menegurnya. Sebuah hadis Nabi lebih cocok untuk konteks ini,
إن الناس إذا رأو الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن يعمهم الله بعقاب منه (رواه الترمذي)
Karena itu, jangan segan-segan untuk membantu orang yang ingin melakukan klarifikasi berita. Ingatlah kecepatan mulut dalam menyampaikan sebuah berita jauh lebih dahsyat daripada kecepatan telinga untuk menerima berita. Bahkan mulut seringkali mengambil alih profesi telinga sehingga seseorang mendengar berita bukan dengan telinga, melainkan dengan mulut. Dan ini jauh lebih bahaya karena lebih cepat tersebar. Mulut seringkali menganggap apa yang diucapkan adalah hal sepele, sementara telinga terkadang masih mau memilih-milih berita yang didengar. Demikianlah isyarat yang diberikan oleh Allah dalam sebuah ayat,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16)
Ayat tersebut menggambarkan betapa cepatnya sebuah berita tersebar luas di masyarakat. Saking cepatnya, seolah-olah seseorang menerima berita bukan dengan telinga, melainkan dengan mulut. Artinya, seseorang menerima berita langsung menyampaikannya kembali. Sementara jika menerima berita dengan telinga, ada proses kognisi yang berjalan secara sistematis. Sebuah berita didengar, disimpan, lalu diolah, baru kemudian disampaikan kembali.
Akhirnya, kita semua harus percaya pada sebuah kaidah,
ستر عيب الناس عن الناس نعمة كبيرة
Kita hanya bisa memohon agar tidak menjadi orang fasik yang mudah menyampaikan dan menerima berita bohong. Kita harus menjadi orang yang arif dan bijaksana dalam menerima berita. Segelah lakukan klarifikasi pada sumber yang paling otoritatif, tepat, dan akurat. Jangan pernah menyembunyikan berita akurat dari siapapun meski menyakitkan jika maslahatnya lebih besar agar tidak ada berimbas pada orang-orang yang tak berdosa yang sebenarnya tidak pernah ada sangkut pautnya dengan berita tersebut.
Ya Allah, jagalahmulut kami agar tidak mudah mendengarkan berita orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan jadikanlah telinga kami lebih waspada dalam mendengar apapunn yang tidak layak.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا