Secangkir Kopi panas hot Americano coffee dan
sepotong Apple Turnover Puff benar-benar menghangatkan pagi itu. Segala
yang beku di pagi itupun menjadi cair. Tiba-tiba ada yang mengingatkanku pada sebuah
firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6)
Setidaknya ada tiga kata yang bisa dijadikan pisau
analisis dari ayat tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial
di masyarakat, yaitu: Fasiqun, Naba', dan Tabayyanu. Tiga kata tersebut
dapat pula kita bahasakan dengan who, what, dan how.
Demikianlah cara yang diajarkan kepada kita dalam
menyikapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan menyangkut akurasi sebuah
berita, apalagi jika berita tersebut menyangkut harga diri, prestise, dan
kehormatan orang lain, dan lebih-lebih sesama mukmin.
Ibda' bima bada'a Allah. Mari
kita renungkan urutan penyebutan kata dalam ayat tersebut yang mengisyaratkan
fenomena penyebaran berita, mulai dari dibawa atau disampaikan oleh orang fasik,
kemudian menjadi heboh dan menghebohkan. Maka, sikap yang paling arif adalah
klarifikasi agar kelak tidak terjadi dugaan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang
berujung pada penyesalan. Tapi ingat, klarifikasi pun tidak boleh sembarangan.
1. Who >> Fasiq
Sebuah
berita adakalanya benar dan adakalanya bohong. Berita benar selalu muncul dari
orang yang benar, dan berita bohong selalu muncul dari orang yang tidak benar.
Orang benar bukan berarti orang baik, sebagaimana orang yang tidak benar juga
bukan berarti selalu tidak baik.
Adakalanya
orang baik juga melakukan kesalahan sehingga ucapannya tidak benar dan
terjadilan kebohongan secara langsung atau tidak, dan disadari atau tidak.
Begitu pula dengan orang yang tidak baik, bukan berarti ia adalah pembohong
yang selalu menebar dusta dan fitnah. Adakalanya orang yang tidak baik juga
berkata jujur, meski tidak banyak yang memercayainya.
Sebuah
berita yang muncul dari orang baik seringkali dianggap sebagai sebuah
kebenaran, sedangkan yang datang dari orang yang tidak baik (minimal perspektif
sosial-zahir manusia) hampir selalu
dinyatakan bohong. Karena itulah, orang-orang yang baik tanpa disadari juga
sering terjerumus dalam jurang kefasikan yang dikelilingi oleh taman-taman
indah memesona. Anehnya, tidak sedikit orang yang terlanjur terperosok dalam
jurang kefasikan itu kemudian merasa nyaman di sana karena merasa dikelilingi
oleh taman hijau nan asri. Sebaliknya, seseorang juga seringkali gagal masuk ke
sebuah taman indah karena dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Logika
sekuritas berlaku dalam kasus yang disebut terakhir ini. Sebuah taman indah
sengaja dipagar dengan kawat berduri karena tidak sedikit pengunjung yang mbeling
sehingga merusak keindahan taman. Sebuah sabda Nabi telah mengingatkan hal
ini sejak dulu,
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
Sulit
memang, memastikan apakah orang itu baik atau tidak. Logika sosial seringkali
digunakan untuk menjastifikasi kebaikan seseorang. Tidak ada sebuah lembaga
yang berhak memberikan label baik atau buruk fasik atau shalih terhadap seseorang.
Seandainya ada lembaga seperti itu, pasti hal tersebut telah mengambil alih
wewenang Tuhan. Karena itu pula, seringkali seseorang menjadikan rasio dan
egonya sebagai lembaga yang menurutnya otoritatif untuk mendakwa seseorang
sebagai fasik atau tidak baik. Inilah yang membuat seseorang saling curiga dan
kemudian naik menjadi su'u zhon, lalu naik lagi ke level fitnah. Kondisi
demikian itu menjadikan pernyataan apapun yang muncul dari seseorang yang telah
dianggap sebagai fasik sebagai sebuah berita heboh, tapi ceroboh. Kecerobohan
itulah yang membuat berita menjadi besar dan lebih dibesar-besarkan. Jika tidak
segera diredam, maka bisa menyulut api fitnah yang siap melalap habis kehormatan
dan reputasi seseorang. Karena itu, berhati-hatilah dalam membawakan sebuah
berita, carilah sumber yang akurat dan jangan sembarangan menyampaikannya.
Waspadalah gejala fasik yang satu ini.
2. What >> Naba'
Berita heboh
dan menghebohkan. Sebenarnya sebuah berita itu tidak selamanya menghebohkan,
namun karena permainan kata dan lidah semuanya jadi heboh dan besar. Tak
jarang, sebuah fakta kecil-biasa diberitakan dan dibesar-besarkan dengan cara
menyorot satu hal dan menyembunyikan banyak hal lain yang sebenarnya dapat
menetralisir racun berita tersebut.
Sebuah
berita ketika masih pada level curiga seharusnya segera diredam dengan cara
dilakukan klarifikasi, karena jika tidak, dapat menjadi prasangka buruk yang
kemudian mengendap di hati dan pikiran. Jika prasangka sudah mengendap dalam
hati dan otak, maka tentunya akan sangat sulit untuk dihapus dan dibersihkan.
Ia pun akan selalu teringat dan suatu saat muncul dalam bentuk berita bohong.
Karena itu, Nabi pun mengingatkan,
إياكم والظن فإن الظن
أكذب الحديث
Hati dan
otak tampaknya memang bukan storasi yang dapat menyimpan endapan prasangka
tersebut. Maka, hati dan pikiran tersebut pun mencoba mengeluarkannya sedikit
demi sedikit. Keduanya memang merupakan motor penggerak tingkah laku manusia.
Karena itu, ketika sebuah prasangka menguat dan tak terkontrol lagi seperti
itu, naiklah ia ke level fitnah.
Sebuah
berita ketika masih berada pada level zhon sebenarnya masih bisa
diklarifikasi dan dibuktikan kebohongannya. Bahayanya pun tidak sebesar ketika
sudah masuk pada level fitnah. Sebuah prasangka buruk selama tidak diungkapkan
kepada orang lain tidak menjadi masalah. Namun, jika ia sudah diyakini dan
dijadikan dasar sebuah omongan sehingga timbul berita dusta, maka itulah yang
sering orang-orang klaim sebagai yang lebih kejam daripada pembunuhan. Ini
bukan berarti penafsiran atas sebuah ayat, wal fitnatu asyaddu min al-qatl. Berita
bohong atau yang dalam Bahasa Indonesia sering diistilahkan dengan fitnah
(bukan al-fitnah dalam Bahasa Arab sebagaimana dalam ayat tersebut) adalah tak
ubahnya sebuah pembunuhan karakter. Jadi, tidak salah juga ungkapan umum
masyarakat tersebut, "Fitnah (yang berarti pembunuhan karakter) lebih kejam
daripada pembunuhan."
Berita yang
telah masuk dalam prasangka sosial itu sangat sulit dihilangkan. Membuktikan
kebohongannya pun tidak mudah. Logika komunal memang seringkali dijadikan
sebagai patokan dan lebih diutamakan daripada logika individu.
Terkait
akurasi sebuah berita, perlu kita pahami bahwa ada tiga jenis sumber penisbatan
berita, yaitu nisbah dzihniyyah, kalamiyyah, dan kharijiyyah. Barangkali
itulah yang disebut dengan proses kognisi berita. Sebuah pernyataan, "Joni
pandai" misalnya, ketika saya mengucapkan kata tersebut, maka berita itu
masih dalam taraf nisbah dzihniyyah. Saya membuat sebuah asumsi atau
dugaan bahwa Joni adalah pandai. Namun, ketika anda mendengar pernyataan saya
tersebut, lalu anda sampaikan lagi kepada orang lain, maka pernyataan anda
tersebut adalah nisbah kalamiyyah. Anda telah mengutip pernyataan yang
merupakan asumsi saya. Setelah pernyataan tersebut menjadi berita heboh bahwa
Joni pandai, maka perlu dibuktikan, apakah benar ada anak bernama Joni dan apakah
dia pandai?. Lalu, dilakukanlah pengujian. Jika terbukti lolos, maka benar Joni
adalah anak yang pandai. Pembuktian semacam ini disebut dengan nisbah
kharijiyyah. Berita itu bersumber dari fakta di luar prasangka dan omongan
manusia. Jika sumber lisan (nisbah kalamiyyah) itu sesuai dengan fakta,
maka berita itu benar. Sebaliknya jika tidak sesuai, maka berita tersebut
bohong. Jika kebohongan itu disengaja, maka pelakunya layak disebut pembohong.
3. How >> Tabayyun
Karakter
seseorang memang berbeda-beda. Ada kalanya orang itu mudah terbawa berita dan
adakalanya yang cukup tangguh dan cuek karena sistem imun dalam tubuhnya
bekerja begitu aktifnya. Tapi, orang yang cuek sekalipun terkadang juga masih
bisa dipengaruhi. Berita yang telah terlanjur diucapkan akan mudah tersebar dan
karena itu, berhati-hatilah menyampaikan sebuah berita sebelum klarifikasi pada
sumber yang paling otoritatif. Dan bagi anda yang dijadikan sebagai sumber
otoritatif, berikanlah keterangan secukupnya yang paling akurat dan jujur agar
tidak sampai pada fitnah. Karena jika tidak, maka anda pun bertanggung jawab
atas tersebarnya berita bohong itu karena sikap diam tersebut.
Mungkin anda
sedang diam karena mengamalkan sebuah ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا
يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Tapi,
ingatlah konteks ayat tersebut tidak sama dengan sikap seperti diam seperti
itu. Bahkan tidak tepat jika dipahami demikian. Hal ini juga pernah terjadi
pada beberapa sahabat Nabi yang salah dalam memahami ayat tersebut sehingga Abu
Bakar menegurnya. Sebuah hadis Nabi lebih cocok untuk konteks ini,
إن الناس إذا رأو الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن يعمهم
الله بعقاب منه (رواه الترمذي)
Karena itu,
jangan segan-segan untuk membantu orang yang ingin melakukan klarifikasi
berita. Ingatlah kecepatan mulut dalam menyampaikan sebuah berita jauh lebih
dahsyat daripada kecepatan telinga untuk menerima berita. Bahkan mulut
seringkali mengambil alih profesi telinga sehingga seseorang mendengar berita
bukan dengan telinga, melainkan dengan mulut. Dan ini jauh lebih bahaya karena
lebih cepat tersebar. Mulut seringkali menganggap apa yang diucapkan adalah hal
sepele, sementara telinga terkadang masih mau memilih-milih berita yang
didengar. Demikianlah isyarat yang diberikan oleh Allah dalam sebuah ayat,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ
مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
(15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16)
Ayat
tersebut menggambarkan betapa cepatnya sebuah berita tersebar luas di
masyarakat. Saking cepatnya, seolah-olah seseorang menerima berita bukan dengan
telinga, melainkan dengan mulut. Artinya, seseorang menerima berita langsung menyampaikannya
kembali. Sementara jika menerima berita dengan telinga, ada proses kognisi yang
berjalan secara sistematis. Sebuah berita didengar, disimpan, lalu diolah, baru
kemudian disampaikan kembali.
Akhirnya,
kita semua harus percaya pada sebuah kaidah,
ستر عيب الناس عن
الناس نعمة كبيرة
Kita hanya
bisa memohon agar tidak menjadi orang fasik yang mudah menyampaikan dan
menerima berita bohong. Kita harus menjadi orang yang arif dan bijaksana dalam
menerima berita. Segelah lakukan klarifikasi pada sumber yang paling
otoritatif, tepat, dan akurat. Jangan pernah menyembunyikan berita akurat dari
siapapun meski menyakitkan jika maslahatnya lebih besar agar tidak ada berimbas
pada orang-orang yang tak berdosa yang sebenarnya tidak pernah ada sangkut
pautnya dengan berita tersebut.
Ya Allah,
jagalahmulut kami agar tidak mudah mendengarkan berita orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan jadikanlah telinga kami lebih waspada dalam mendengar
apapunn yang tidak layak.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا
وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ
لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا