Papua memang sangat terkenal sebagai
daerah dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Sumber daya alam yang masih alami
dan hanya beberapa persen saja yang telah terkelola itu membuat Papua tak
kekurangan asupan pangan. Hanya saja, sangat disayangkan di daerah yang kaya
alam itu tak diiringi dengan SDM yang memadai. Kekayaan alam yang melimpah itu
rasanya tak mungkin habis meski dimakan oleh seluruh penduduk Papua. Di samping
jumlah penduduknya yang tak seberapa dibanding luas pulau, hanya beberapa
persen saja penduduk yang mampu memberdaya-kan alam yang masih liar itu.
Di kabupaten Fakfak misalnya, saat ini
tak kurang dari 23.000 jiwa menghuni daerah muslim terbesar di Papua itu. Bahkan
luasnya saja menyamai luas propinsi Jawa Timur. Namun di tengah kekayaan alam
yang melimpah ruah itu, ternyata ada satu yang kurang. Daerah ini sangat minim
sumur.
Sumur yang merupakan salah satu sumber
kehidupan, justru tak ditemukan di sana, apalagi di kota. Faktor utamanya bukan
karena luasnya samudera yang mengelilingi daerah ini. Lagi pula, tak ada orang yang
mau setiap hari mandi di laut yang asin itu. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari,
mereka tetap saja memanfaatkan air PDAM. Setiap tiga hari sekali, masing-masing
daerah mendapat aliran air bersih scara bergilir. Air yang membentang luas
tepat di pinggir rumah seolah tak berguna untuk keperluan harian.
Daratan berupa bebatuan cadas adalah faktor
utama tak adanya sumur. Persis seperti arti nama Fakfak sendiri yang dalam
bahasa Onin (salah satu suku di Fakfak) yaitu batu cadas. Sangat konyol
kelihatannya jika ada orang yang memiliki sumur di daerah ini. Betapa tidak,
daerah yang seluruh daratannya berupa gunung batu itu hampir mustahil untuk
dibuatkan sumur di atasnya. Entah berapa puluh meter, seseorang harus menggali
batu yang ditumbuhi pepohonan besar itu untuk sekadar menemukan air.
Selama di Fakfak, kami hanya mendapati
sumur di dua daerah saja, yaitu di Arguni dan distrik Bomberay. Arguni yang
sama sekali tak memiliki alat transportasi darat itu, ternyata memiliki satu
kekayaan yang tak dimiliki daerah lain, yaitu sumur. Hanya di sinilah kami
mendengar deringan jetpam, tepat di depan masjid letaknya.
Arguni adalah bagian dari Fakfak yang
bertanah pasir datar. Bagian yang berupa bebatuan cadas di Arguni sampai saat ini
hanya ditumbuhi pepohonan saja. Karena itu, sumur dapat dengan mudah digali di
sini.
Sumur kedua, kami dapatkan di daerah Bomberay
yang dulunya menginduk kepada Distrik Kokas. Wilayah distrik ini sangat luas
dan baru dihuni sekitar 15 tahunan yang lalu seiring adanya program
transmigrasi bedol desa. Sembilan puluh persen penduduk distrik ini adalah para
transmigran asal Jawa dan Sulawesi. Ia juga satu-satunya distrik terluas di
Fakfak dan memiliki tanah datar. Hanya saja, jaraknya yang cukup jauh dari kota
membuat perjalanan ke daerah ini lebih melelahkan daripada mendaki gundukan batu
di kota. Untuk masuk daerah ini harus menerjang hutan belantara sepanjang + 170
km dan dapat ditempuh selama lima jam dengan kecepatan cukup tinggi. Kondisi
jalannya pun sangat memprihatinkan dan biasanya hanya mobil besar dan berat
saja yang dapat memasukinya. Di sana, kami masih dapat menemukan orang menimba
di sumur, sebuah aktifitas yang tak lagi kami jumpai selama lebih dari 15 tahun
lamanya.
Maka, beruntunglah kita yang ada di
daerah kaya air bersih. Oleh karena itu, mari kita jaga sumber air itu dan
jangan memubazirkannya, karena ternyata saudara kita di sana perlu tiga hari
lamanya untuk mendapatkan air bersih. Bahkan kalaupun ingin menggalinya, pasti
dianggap sebagai perbuatan yang sangat konyol. [AUH]