From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, August 6, 2013

BUKA PUASA, SANTAP SUAMI

MENYANTAP SUAMI SAAT BUKA PUASA


P
apua memang terkenal sebagai penduduk dengan populasi imigran yang sangat tinggi. Hasil sensus penduduk akhir tahun 2010 lalu menunjukkan bahwa populasi itu meningkat tajam hingga lebih dari 100 %. Kondisi semacam ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak kembalinya Papua (Irian Jaya) ke pangkuan Ibu Pertiwi, tahun 1961 para pendatang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Ambon tampak ramai-ramai mengisi kekosongan daratan terbesar di bumi persada Indonesia ini.
Banyaknya transmigran dari berbagai daerah tentu membawa warna tersendiri bagi kekayaan budaya yang dimiliki pulau paling timur Indonesia ini. Dilihat dari bahasanya, Papua di samping memiliki ragam bahasa suku, juga memiliki bahasa rumpun Indonesia bagian timur. Bahasa dan dialek Papua hampir sama dengan Ambon.
Kekayaan budaya ini tentu menjadi hal yang menarik bagi orang luar, terutama yang baru pertama kali menginjakkan kaki di bumi Papua. Hasil perkawinan budaya seperti ini menjadi ciri khas yang tidak dimiliki oleh induknya sekalipun. Ia menjadi sebuah peradaban baru yang patut dibanggakan oleh Papua. Tidak hanya bahasa tentunya, melainkan juga gaya hidup, kesenian, makanan, hingga cara berpikir yang kian modern dan progresif berkat silang budaya itu.
Kondisi inilah kami yang lihat saat pertama kali menginjakkan kaki di Fakfak yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam etnis dan suku seperti Papua, Ambon, Bugis, Buton, Jawa, Batak, dan Padang. Selama di Papua, kamipun bergaul dengan beragam karakter yang dibawa secara turun-temurun dari leluhur di daerah masing-masing. Pergaulan semacam ini membuat orang yang tinggal di sana meski hanya dalam waktu beberapa saat saja, sudah dapat mengikuti gaya dan dialek berbicara orang Papua. Warga keturunan Jawa, dengan lancarnya berbicara dengan bahasa dan dialek Papua, begitu pula warga keturunan Papua, Ambon dan Sulawesi dapat mengikuti gaya Jawa. Semuanya seolah telah membaur menjadi satu, dan milik bersama.
Demikianlah yang kami alami ketika pertama kali masuk daratan Fakfak. Banyak sekali hal baru yang belum pernah kami dapatkan di pulau Jawa ini. Kamipun seringkali salah paham, karena keterbatasan atau bahkan sama sekali belum mengenal kosa kata bahasa lokal di sana. Untuk pertama kalinya, kami terkecoh dengan kalimat “sapi shalat” dan “kopi shalat”. Untuk kali kedua, kasus yang sama terulang kembali. Lagi-lagi kami salah paham dengan ungkapan “makan suami” yang beredar di sana. Ungkapan yang juga tidak keliru jika diartikan memakan suami, sebuah tindakan tidak manusiawi dan sangat kejam. Bagi orang baru yang belum pernah tahu makna sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan jika yang pertama kali terbesit di benaknya adalah “kanibal”. Tapi tidak dengan “makan suami” di Papua yang kami dapati itu.
Mulanya, menjelang maghrib seperti biasa, selalu tersedia makan buka puasa di rumah yang kami tinggali. Kolak atau Pisang hijau adalah menu pembatal (ta’jîl) puasa yang paling sering disajikan kepada kami. Lain kolak di sana lain pula kolak di Jawa. Di sana, kolak adalah sejenis bubur beras yang disajikan dengan dadar gulung pisang, tanpa kuah. Tak seperti biasanya, menu kali ini berbeda. Tanpa bertanya-tanya, kami sebut saja menu baru itu “sawut” karena di Jawa Timur makanan seperti itu dinamakan demikian, meski berbeda bentuk dan cara penyajiannya.
Setibanya kami dari masjid, seorang ibu keturunan Bugis datang dan menghampiri kami. “Pak Ustadz, suaminya dimakan ya. Kasih habis sudah!” ujarnya singkat sambil berlalu.
Kamipun kaget mendengar kalimat itu. “Bagaimana mungkin saya makan suami?” kata kami dalam hati. Tapi, kami cuek saja dan terus makan “sawut” yang sudah tersaji itu. Tak lama kemudian, datang salah seorang adik angkat ibu yang tadi dan makan bersama kami. “Enak toh, suaminya?” ujarnya sambil memungut makanan yang kami sebut sawut itu. Mendengar kalimat “suami” yang ini, kami pun sadar bahwa makanan itu bukanlah “sawut”, melainkan “suami” namanya. Usut punya usut, suami adalah salah satu makanan khas dari Ambon (ada pula yang mengatakan dari Buton, Sulawesi Tenggara) yang terbuat dari singkong parut yang sudah diperas airnya dan dikukus. Akhirnya, kamipun menikmati suami itu bersama-sama.
Di sana mudah sekali mencari suami dan tidak perlu repot-repot ke biro jodoh segala. Tinggal pergi ke pasar, atau membuatnya sendiri secara langsung. Tentu suami yang dimaksud adalah makanan yang kami sebut sawut tadi itu. Entah kenapa, makanan itu dinamakan suami. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang mula-mula menamakannya demikian. Menurut salah satu sumber, di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, makanan ini disebut sangkola. Sedangkan di Cia-Cia dan Wanci, Sulawesi Tenggara, dinamakan suami. Ada yang bilang bahwa nama asli makanan itu adalah kasoami, tapi kemudian orang-orang menyingkatnya menjadi ksoami. Setelah itu bermetamorfosis menjadi soami, dan akhirnya jadilah nama “suami” yang keren itu.
Cara penyajian suami pun beragam, ada yang dibiarkan telanjang di piring, tanpa baju pembungkus, namun umumnya dibentuk kerucut dan dibungkus daun pisang. Warnanya pun beragam, ada suami coklat yang biasa juga disebut suami lokal, dan ada juga suami putih yang biasa popular dengan nama suami bule. Jika sawut di Jawa Timur biasa disajikan dengan parutan kelapa, maka tidak demikian halnya suami yang biasa dimakan dengan lauk. Tapi, apapun nama, bentuk, warna dan cara penyajiannya, yang jelas suami itu enak dan kami sangat menikmatinya. [AUH] 

Saturday, June 22, 2013

KAMPUNGKU HIDUP KARENA AZAN



D
i antara agenda dakwah selama di Fakfak Papua-Barat beberapa bulan yang lalu adalah safari ke kampung-kampung. Sedianya, safari dakwah yang berpusat di kota itu, juga dijadualkan ke seluruh kampung pedalaman Fakfak. Namun karena keterbatasan waktu, agenda di beberapa kampung itu hanya sebagian saja yang dapat terlaksana.
Kampung pedalaman pertama yang kami tuju selama di Fakfak adalah Teluk Arguni. Namun, kali ini bukan Teluk Arguni yang ada di Kaimana. Teluk Arguni memang ada dua di Papua-Barat, satu di Kaimana, tanah kelahiran mantan Bupati Fakfak, dan satu lagi di Fakfak, salah satu tempat kami berdakwah. Keduanya sama-sama dikelilingi laut luas dan hanya bisa dilalui kendaraan laut.
Pulau kecil yang luasnya hanya beberapa kilometer persegi ini memang sangat terpencil. Ia bak sebuah kapal yang diam di tengah laut tak bergerak sama sekali karena memang laut yang mengangkutnya sangat ramah. Gelombang-gelombang ombak di sepanjang lautan menuju kampung ini pun tampak malu-malu dan tak sedikitpun bersuara, kecuali hanya seperti suara orang yang sedang berwudhu di kolam saja.
Di samping lokasinya yang berada persis di tengah samudera, kampung mungil ini juga dipenuhi hutan. Bahkan sepanjang perjalanan dari kota kabupaten menuju distrik Kokas yang membawahi kampung ini juga dipenuhi hutan belantara. Syukur, jalanan saat itu baru direhabilitasi sehingga perjalanan menuju distrik ini sangat lancar meski memakan waktu dua jam ditempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Praktis waktu yang selama itu tidak pakai macet sebagaimana di Ibukota Jakarta. Di sepanjang perjalanan itu hanya ada pepohonan dan sesekali tampak pejalan kaki juga binatang langka melintas. Rumah-rumah pun sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Meski demikian, hutan belantara sepanjang 170 km yang kami lalui ini sangat ramah alias aman dari tindak kejahatan, seperti perampokan dan pembegalan.
Setibanya di distik Kokas, kamipun langsung disambut oleh tokoh agama setempat. Tepat, di samping benteng pertahanan bawah tanah peninggalan Jepang pada saat Perang Dunia II, kami beristirahat sejenak sambil salat ashar. Beberapa saat kemudian, longboat yang hendak mengantar kami ke seberang pulau pun datang dan kami pun langsung melaut menuju kampung mungil nan terpencil itu.
Penyeberangan menuju Teluk Arguni dengan menggunakan longboat memakan waktu tak kurang dari setengah jam. Sepanjang pelayaran, kami hanya melihat bentangan air laut yang biru dan luas entah di mana ujungnya. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni yang hanya berisi batu cadas dan pepohonan besar nan hijau tak ubahnya seperti rambu-rambu lalu lintas di jalan darat. Tak kurang dari 100 pulau kecil tak berpenghuni itu menampakkan wajahnya yang hijau untuk menghormat dan mengantar perjalanan kami. Cahaya matahari yang sebelumnya tampak masih sangat terang pun benar-banar mengawal perjalanan laut itu.
Tepat bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, longboat yang membawa kami pun mendarat tepat di belakang sebuah rumah warga. Anak-anak yang sedang bermain-main sejenak menghentikan langkah kakinya menuju rumah masing-masing dan membalikkan muka ke arah kami. Rumah yang sebagiannya berlantai kayu dan mengapung di pinggir laut, tepat di samping longboat berparkir adalah sasaran kami. Beragam menu makanan dan jenis ikan laut pun telah disiapkan untuk kami sebagai menu buka puasa saat itu.
Di kampung yang berpenghuni hanya sekitar 120 kepala keluarga atau tiga RT saja ini tak ada satupun kendaraan darat. Baik itu sepeda pancal maupun motor, apalagi mobil. Namun bukan berarti warga setempat tidak memiliki motor atau mobil. Mereka yang memiliki kendaraan darat diparkir di distrik dan dititipkan pada kerabat yang ada di daratan seberang tempat kami pertama singgah itu. Sangat jauh memang, tapi begitulah adanya karena memang di kampung Arguni ini tidak diperlukan kendaraan darat. Betapa tidak, dari ujung hingga ke ujung kampung jaraknya tak lebih dari 500 m saja.
Teluk Arguni juga sama sekali tidak memiliki jaringan telpon apalagi internet. Selular yang masuk ke kampung ini sudah pasti tidak akan berfungsi meski dipasang antena yang sangat tinggi sekalipun. Syukur, melalui alat pemancar, siaran TV dan RRI Fakfak dapat mengudara di wilayah ini sehingga warga tidak ketinggalan berita. Hanya itulah akses informasi yang dapat diandalkan.

Kondisi yang demikian itu membuat daerah ini bak kampung mati yang tak berpenghuni sebagaimana gundukan bebatuan cadas, ditumbuhi hutan seperti yang kami jumpai di sepanjang penyeberangan tadi. Cahaya lampu yang tak begitu terang dan dan sesekali suara anak-anak berteriak ditambah gemericik ombak tak kuasa memecah keheningan kampung ini. Beruntung, masih ada yang membuat suasana kampung ini jadi hidup, yaitu kumandang adzan dan lantunan salawat nabi di tengah masjid yang belum juga sempurna direnovasi. Azan dan Salawat nabi benar-benar menjadi ruh tersendiri yang mampu menghidupkan kembali “kampung mati” itu. Raja (kepala suku) dan warga pun segera berbondong-bondong meramaikan masjid. [AUH]