From Hadith to Wisdom

From Hadith to Wisdom
Mengabarkan Pesan Nabi

Search This Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, August 6, 2013

BUKA PUASA, SANTAP SUAMI

MENYANTAP SUAMI SAAT BUKA PUASA


P
apua memang terkenal sebagai penduduk dengan populasi imigran yang sangat tinggi. Hasil sensus penduduk akhir tahun 2010 lalu menunjukkan bahwa populasi itu meningkat tajam hingga lebih dari 100 %. Kondisi semacam ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak kembalinya Papua (Irian Jaya) ke pangkuan Ibu Pertiwi, tahun 1961 para pendatang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Ambon tampak ramai-ramai mengisi kekosongan daratan terbesar di bumi persada Indonesia ini.
Banyaknya transmigran dari berbagai daerah tentu membawa warna tersendiri bagi kekayaan budaya yang dimiliki pulau paling timur Indonesia ini. Dilihat dari bahasanya, Papua di samping memiliki ragam bahasa suku, juga memiliki bahasa rumpun Indonesia bagian timur. Bahasa dan dialek Papua hampir sama dengan Ambon.
Kekayaan budaya ini tentu menjadi hal yang menarik bagi orang luar, terutama yang baru pertama kali menginjakkan kaki di bumi Papua. Hasil perkawinan budaya seperti ini menjadi ciri khas yang tidak dimiliki oleh induknya sekalipun. Ia menjadi sebuah peradaban baru yang patut dibanggakan oleh Papua. Tidak hanya bahasa tentunya, melainkan juga gaya hidup, kesenian, makanan, hingga cara berpikir yang kian modern dan progresif berkat silang budaya itu.
Kondisi inilah kami yang lihat saat pertama kali menginjakkan kaki di Fakfak yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam etnis dan suku seperti Papua, Ambon, Bugis, Buton, Jawa, Batak, dan Padang. Selama di Papua, kamipun bergaul dengan beragam karakter yang dibawa secara turun-temurun dari leluhur di daerah masing-masing. Pergaulan semacam ini membuat orang yang tinggal di sana meski hanya dalam waktu beberapa saat saja, sudah dapat mengikuti gaya dan dialek berbicara orang Papua. Warga keturunan Jawa, dengan lancarnya berbicara dengan bahasa dan dialek Papua, begitu pula warga keturunan Papua, Ambon dan Sulawesi dapat mengikuti gaya Jawa. Semuanya seolah telah membaur menjadi satu, dan milik bersama.
Demikianlah yang kami alami ketika pertama kali masuk daratan Fakfak. Banyak sekali hal baru yang belum pernah kami dapatkan di pulau Jawa ini. Kamipun seringkali salah paham, karena keterbatasan atau bahkan sama sekali belum mengenal kosa kata bahasa lokal di sana. Untuk pertama kalinya, kami terkecoh dengan kalimat “sapi shalat” dan “kopi shalat”. Untuk kali kedua, kasus yang sama terulang kembali. Lagi-lagi kami salah paham dengan ungkapan “makan suami” yang beredar di sana. Ungkapan yang juga tidak keliru jika diartikan memakan suami, sebuah tindakan tidak manusiawi dan sangat kejam. Bagi orang baru yang belum pernah tahu makna sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan jika yang pertama kali terbesit di benaknya adalah “kanibal”. Tapi tidak dengan “makan suami” di Papua yang kami dapati itu.
Mulanya, menjelang maghrib seperti biasa, selalu tersedia makan buka puasa di rumah yang kami tinggali. Kolak atau Pisang hijau adalah menu pembatal (ta’jîl) puasa yang paling sering disajikan kepada kami. Lain kolak di sana lain pula kolak di Jawa. Di sana, kolak adalah sejenis bubur beras yang disajikan dengan dadar gulung pisang, tanpa kuah. Tak seperti biasanya, menu kali ini berbeda. Tanpa bertanya-tanya, kami sebut saja menu baru itu “sawut” karena di Jawa Timur makanan seperti itu dinamakan demikian, meski berbeda bentuk dan cara penyajiannya.
Setibanya kami dari masjid, seorang ibu keturunan Bugis datang dan menghampiri kami. “Pak Ustadz, suaminya dimakan ya. Kasih habis sudah!” ujarnya singkat sambil berlalu.
Kamipun kaget mendengar kalimat itu. “Bagaimana mungkin saya makan suami?” kata kami dalam hati. Tapi, kami cuek saja dan terus makan “sawut” yang sudah tersaji itu. Tak lama kemudian, datang salah seorang adik angkat ibu yang tadi dan makan bersama kami. “Enak toh, suaminya?” ujarnya sambil memungut makanan yang kami sebut sawut itu. Mendengar kalimat “suami” yang ini, kami pun sadar bahwa makanan itu bukanlah “sawut”, melainkan “suami” namanya. Usut punya usut, suami adalah salah satu makanan khas dari Ambon (ada pula yang mengatakan dari Buton, Sulawesi Tenggara) yang terbuat dari singkong parut yang sudah diperas airnya dan dikukus. Akhirnya, kamipun menikmati suami itu bersama-sama.
Di sana mudah sekali mencari suami dan tidak perlu repot-repot ke biro jodoh segala. Tinggal pergi ke pasar, atau membuatnya sendiri secara langsung. Tentu suami yang dimaksud adalah makanan yang kami sebut sawut tadi itu. Entah kenapa, makanan itu dinamakan suami. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang mula-mula menamakannya demikian. Menurut salah satu sumber, di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, makanan ini disebut sangkola. Sedangkan di Cia-Cia dan Wanci, Sulawesi Tenggara, dinamakan suami. Ada yang bilang bahwa nama asli makanan itu adalah kasoami, tapi kemudian orang-orang menyingkatnya menjadi ksoami. Setelah itu bermetamorfosis menjadi soami, dan akhirnya jadilah nama “suami” yang keren itu.
Cara penyajian suami pun beragam, ada yang dibiarkan telanjang di piring, tanpa baju pembungkus, namun umumnya dibentuk kerucut dan dibungkus daun pisang. Warnanya pun beragam, ada suami coklat yang biasa juga disebut suami lokal, dan ada juga suami putih yang biasa popular dengan nama suami bule. Jika sawut di Jawa Timur biasa disajikan dengan parutan kelapa, maka tidak demikian halnya suami yang biasa dimakan dengan lauk. Tapi, apapun nama, bentuk, warna dan cara penyajiannya, yang jelas suami itu enak dan kami sangat menikmatinya. [AUH] 

Saturday, June 22, 2013

KAMPUNGKU HIDUP KARENA AZAN



D
i antara agenda dakwah selama di Fakfak Papua-Barat beberapa bulan yang lalu adalah safari ke kampung-kampung. Sedianya, safari dakwah yang berpusat di kota itu, juga dijadualkan ke seluruh kampung pedalaman Fakfak. Namun karena keterbatasan waktu, agenda di beberapa kampung itu hanya sebagian saja yang dapat terlaksana.
Kampung pedalaman pertama yang kami tuju selama di Fakfak adalah Teluk Arguni. Namun, kali ini bukan Teluk Arguni yang ada di Kaimana. Teluk Arguni memang ada dua di Papua-Barat, satu di Kaimana, tanah kelahiran mantan Bupati Fakfak, dan satu lagi di Fakfak, salah satu tempat kami berdakwah. Keduanya sama-sama dikelilingi laut luas dan hanya bisa dilalui kendaraan laut.
Pulau kecil yang luasnya hanya beberapa kilometer persegi ini memang sangat terpencil. Ia bak sebuah kapal yang diam di tengah laut tak bergerak sama sekali karena memang laut yang mengangkutnya sangat ramah. Gelombang-gelombang ombak di sepanjang lautan menuju kampung ini pun tampak malu-malu dan tak sedikitpun bersuara, kecuali hanya seperti suara orang yang sedang berwudhu di kolam saja.
Di samping lokasinya yang berada persis di tengah samudera, kampung mungil ini juga dipenuhi hutan. Bahkan sepanjang perjalanan dari kota kabupaten menuju distrik Kokas yang membawahi kampung ini juga dipenuhi hutan belantara. Syukur, jalanan saat itu baru direhabilitasi sehingga perjalanan menuju distrik ini sangat lancar meski memakan waktu dua jam ditempuh dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Praktis waktu yang selama itu tidak pakai macet sebagaimana di Ibukota Jakarta. Di sepanjang perjalanan itu hanya ada pepohonan dan sesekali tampak pejalan kaki juga binatang langka melintas. Rumah-rumah pun sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Meski demikian, hutan belantara sepanjang 170 km yang kami lalui ini sangat ramah alias aman dari tindak kejahatan, seperti perampokan dan pembegalan.
Setibanya di distik Kokas, kamipun langsung disambut oleh tokoh agama setempat. Tepat, di samping benteng pertahanan bawah tanah peninggalan Jepang pada saat Perang Dunia II, kami beristirahat sejenak sambil salat ashar. Beberapa saat kemudian, longboat yang hendak mengantar kami ke seberang pulau pun datang dan kami pun langsung melaut menuju kampung mungil nan terpencil itu.
Penyeberangan menuju Teluk Arguni dengan menggunakan longboat memakan waktu tak kurang dari setengah jam. Sepanjang pelayaran, kami hanya melihat bentangan air laut yang biru dan luas entah di mana ujungnya. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni yang hanya berisi batu cadas dan pepohonan besar nan hijau tak ubahnya seperti rambu-rambu lalu lintas di jalan darat. Tak kurang dari 100 pulau kecil tak berpenghuni itu menampakkan wajahnya yang hijau untuk menghormat dan mengantar perjalanan kami. Cahaya matahari yang sebelumnya tampak masih sangat terang pun benar-banar mengawal perjalanan laut itu.
Tepat bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, longboat yang membawa kami pun mendarat tepat di belakang sebuah rumah warga. Anak-anak yang sedang bermain-main sejenak menghentikan langkah kakinya menuju rumah masing-masing dan membalikkan muka ke arah kami. Rumah yang sebagiannya berlantai kayu dan mengapung di pinggir laut, tepat di samping longboat berparkir adalah sasaran kami. Beragam menu makanan dan jenis ikan laut pun telah disiapkan untuk kami sebagai menu buka puasa saat itu.
Di kampung yang berpenghuni hanya sekitar 120 kepala keluarga atau tiga RT saja ini tak ada satupun kendaraan darat. Baik itu sepeda pancal maupun motor, apalagi mobil. Namun bukan berarti warga setempat tidak memiliki motor atau mobil. Mereka yang memiliki kendaraan darat diparkir di distrik dan dititipkan pada kerabat yang ada di daratan seberang tempat kami pertama singgah itu. Sangat jauh memang, tapi begitulah adanya karena memang di kampung Arguni ini tidak diperlukan kendaraan darat. Betapa tidak, dari ujung hingga ke ujung kampung jaraknya tak lebih dari 500 m saja.
Teluk Arguni juga sama sekali tidak memiliki jaringan telpon apalagi internet. Selular yang masuk ke kampung ini sudah pasti tidak akan berfungsi meski dipasang antena yang sangat tinggi sekalipun. Syukur, melalui alat pemancar, siaran TV dan RRI Fakfak dapat mengudara di wilayah ini sehingga warga tidak ketinggalan berita. Hanya itulah akses informasi yang dapat diandalkan.

Kondisi yang demikian itu membuat daerah ini bak kampung mati yang tak berpenghuni sebagaimana gundukan bebatuan cadas, ditumbuhi hutan seperti yang kami jumpai di sepanjang penyeberangan tadi. Cahaya lampu yang tak begitu terang dan dan sesekali suara anak-anak berteriak ditambah gemericik ombak tak kuasa memecah keheningan kampung ini. Beruntung, masih ada yang membuat suasana kampung ini jadi hidup, yaitu kumandang adzan dan lantunan salawat nabi di tengah masjid yang belum juga sempurna direnovasi. Azan dan Salawat nabi benar-benar menjadi ruh tersendiri yang mampu menghidupkan kembali “kampung mati” itu. Raja (kepala suku) dan warga pun segera berbondong-bondong meramaikan masjid. [AUH]

Thursday, April 18, 2013

AKURASI SUMBER BERITA: OLEH-OLEH DARI RESTO CAFE



Secangkir Kopi panas hot Americano coffee dan sepotong Apple Turnover Puff benar-benar menghangatkan pagi itu. Segala yang beku di pagi itupun menjadi cair. Tiba-tiba ada yang mengingatkanku pada sebuah firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6)
Setidaknya ada tiga kata yang bisa dijadikan pisau analisis dari ayat tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial di masyarakat, yaitu: Fasiqun, Naba', dan Tabayyanu. Tiga kata tersebut dapat pula kita bahasakan dengan who, what, dan how.
Demikianlah cara yang diajarkan kepada kita dalam menyikapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan menyangkut akurasi sebuah berita, apalagi jika berita tersebut menyangkut harga diri, prestise, dan kehormatan orang lain, dan lebih-lebih sesama mukmin.
Ibda' bima bada'a Allah. Mari kita renungkan urutan penyebutan kata dalam ayat tersebut yang mengisyaratkan fenomena penyebaran berita, mulai dari dibawa atau disampaikan oleh orang fasik, kemudian menjadi heboh dan menghebohkan. Maka, sikap yang paling arif adalah klarifikasi agar kelak tidak terjadi dugaan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang berujung pada penyesalan. Tapi ingat, klarifikasi pun tidak boleh sembarangan.
1.       Who >> Fasiq
Sebuah berita adakalanya benar dan adakalanya bohong. Berita benar selalu muncul dari orang yang benar, dan berita bohong selalu muncul dari orang yang tidak benar. Orang benar bukan berarti orang baik, sebagaimana orang yang tidak benar juga bukan berarti selalu tidak baik.
Adakalanya orang baik juga melakukan kesalahan sehingga ucapannya tidak benar dan terjadilan kebohongan secara langsung atau tidak, dan disadari atau tidak. Begitu pula dengan orang yang tidak baik, bukan berarti ia adalah pembohong yang selalu menebar dusta dan fitnah. Adakalanya orang yang tidak baik juga berkata jujur, meski tidak banyak yang memercayainya.
Sebuah berita yang muncul dari orang baik seringkali dianggap sebagai sebuah kebenaran, sedangkan yang datang dari orang yang tidak baik (minimal perspektif sosial-zahir manusia)  hampir selalu dinyatakan bohong. Karena itulah, orang-orang yang baik tanpa disadari juga sering terjerumus dalam jurang kefasikan yang dikelilingi oleh taman-taman indah memesona. Anehnya, tidak sedikit orang yang terlanjur terperosok dalam jurang kefasikan itu kemudian merasa nyaman di sana karena merasa dikelilingi oleh taman hijau nan asri. Sebaliknya, seseorang juga seringkali gagal masuk ke sebuah taman indah karena dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Logika sekuritas berlaku dalam kasus yang disebut terakhir ini. Sebuah taman indah sengaja dipagar dengan kawat berduri karena tidak sedikit pengunjung yang mbeling sehingga merusak keindahan taman. Sebuah sabda Nabi telah mengingatkan hal ini sejak dulu,
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
Sulit memang, memastikan apakah orang itu baik atau tidak. Logika sosial seringkali digunakan untuk menjastifikasi kebaikan seseorang. Tidak ada sebuah lembaga yang berhak memberikan label baik atau buruk fasik atau shalih terhadap seseorang. Seandainya ada lembaga seperti itu, pasti hal tersebut telah mengambil alih wewenang Tuhan. Karena itu pula, seringkali seseorang menjadikan rasio dan egonya sebagai lembaga yang menurutnya otoritatif untuk mendakwa seseorang sebagai fasik atau tidak baik. Inilah yang membuat seseorang saling curiga dan kemudian naik menjadi su'u zhon, lalu naik lagi ke level fitnah. Kondisi demikian itu menjadikan pernyataan apapun yang muncul dari seseorang yang telah dianggap sebagai fasik sebagai sebuah berita heboh, tapi ceroboh. Kecerobohan itulah yang membuat berita menjadi besar dan lebih dibesar-besarkan. Jika tidak segera diredam, maka bisa menyulut api fitnah yang siap melalap habis kehormatan dan reputasi seseorang. Karena itu, berhati-hatilah dalam membawakan sebuah berita, carilah sumber yang akurat dan jangan sembarangan menyampaikannya. Waspadalah gejala fasik yang satu ini.

2.       What >> Naba'
Berita heboh dan menghebohkan. Sebenarnya sebuah berita itu tidak selamanya menghebohkan, namun karena permainan kata dan lidah semuanya jadi heboh dan besar. Tak jarang, sebuah fakta kecil-biasa diberitakan dan dibesar-besarkan dengan cara menyorot satu hal dan menyembunyikan banyak hal lain yang sebenarnya dapat menetralisir racun berita tersebut.
Sebuah berita ketika masih pada level curiga seharusnya segera diredam dengan cara dilakukan klarifikasi, karena jika tidak, dapat menjadi prasangka buruk yang kemudian mengendap di hati dan pikiran. Jika prasangka sudah mengendap dalam hati dan otak, maka tentunya akan sangat sulit untuk dihapus dan dibersihkan. Ia pun akan selalu teringat dan suatu saat muncul dalam bentuk berita bohong. Karena itu, Nabi pun mengingatkan,
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث
Hati dan otak tampaknya memang bukan storasi yang dapat menyimpan endapan prasangka tersebut. Maka, hati dan pikiran tersebut pun mencoba mengeluarkannya sedikit demi sedikit. Keduanya memang merupakan motor penggerak tingkah laku manusia. Karena itu, ketika sebuah prasangka menguat dan tak terkontrol lagi seperti itu, naiklah ia ke level fitnah.
Sebuah berita ketika masih berada pada level zhon sebenarnya masih bisa diklarifikasi dan dibuktikan kebohongannya. Bahayanya pun tidak sebesar ketika sudah masuk pada level fitnah. Sebuah prasangka buruk selama tidak diungkapkan kepada orang lain tidak menjadi masalah. Namun, jika ia sudah diyakini dan dijadikan dasar sebuah omongan sehingga timbul berita dusta, maka itulah yang sering orang-orang klaim sebagai yang lebih kejam daripada pembunuhan. Ini bukan berarti penafsiran atas sebuah ayat, wal fitnatu asyaddu min al-qatl. Berita bohong atau yang dalam Bahasa Indonesia sering diistilahkan dengan fitnah (bukan al-fitnah dalam Bahasa Arab sebagaimana dalam ayat tersebut) adalah tak ubahnya sebuah pembunuhan karakter. Jadi, tidak salah juga ungkapan umum masyarakat tersebut, "Fitnah (yang berarti pembunuhan karakter) lebih kejam daripada pembunuhan."
Berita yang telah masuk dalam prasangka sosial itu sangat sulit dihilangkan. Membuktikan kebohongannya pun tidak mudah. Logika komunal memang seringkali dijadikan sebagai patokan dan lebih diutamakan daripada logika individu.
Terkait akurasi sebuah berita, perlu kita pahami bahwa ada tiga jenis sumber penisbatan berita, yaitu nisbah dzihniyyah, kalamiyyah, dan kharijiyyah. Barangkali itulah yang disebut dengan proses kognisi berita. Sebuah pernyataan, "Joni pandai" misalnya, ketika saya mengucapkan kata tersebut, maka berita itu masih dalam taraf nisbah dzihniyyah. Saya membuat sebuah asumsi atau dugaan bahwa Joni adalah pandai. Namun, ketika anda mendengar pernyataan saya tersebut, lalu anda sampaikan lagi kepada orang lain, maka pernyataan anda tersebut adalah nisbah kalamiyyah. Anda telah mengutip pernyataan yang merupakan asumsi saya. Setelah pernyataan tersebut menjadi berita heboh bahwa Joni pandai, maka perlu dibuktikan, apakah benar ada anak bernama Joni dan apakah dia pandai?. Lalu, dilakukanlah pengujian. Jika terbukti lolos, maka benar Joni adalah anak yang pandai. Pembuktian semacam ini disebut dengan nisbah kharijiyyah. Berita itu bersumber dari fakta di luar prasangka dan omongan manusia. Jika sumber lisan (nisbah kalamiyyah) itu sesuai dengan fakta, maka berita itu benar. Sebaliknya jika tidak sesuai, maka berita tersebut bohong. Jika kebohongan itu disengaja, maka pelakunya layak disebut pembohong.

3.       How >> Tabayyun
Karakter seseorang memang berbeda-beda. Ada kalanya orang itu mudah terbawa berita dan adakalanya yang cukup tangguh dan cuek karena sistem imun dalam tubuhnya bekerja begitu aktifnya. Tapi, orang yang cuek sekalipun terkadang juga masih bisa dipengaruhi. Berita yang telah terlanjur diucapkan akan mudah tersebar dan karena itu, berhati-hatilah menyampaikan sebuah berita sebelum klarifikasi pada sumber yang paling otoritatif. Dan bagi anda yang dijadikan sebagai sumber otoritatif, berikanlah keterangan secukupnya yang paling akurat dan jujur agar tidak sampai pada fitnah. Karena jika tidak, maka anda pun bertanggung jawab atas tersebarnya berita bohong itu karena sikap diam tersebut.
Mungkin anda sedang diam karena mengamalkan sebuah ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Tapi, ingatlah konteks ayat tersebut tidak sama dengan sikap seperti diam seperti itu. Bahkan tidak tepat jika dipahami demikian. Hal ini juga pernah terjadi pada beberapa sahabat Nabi yang salah dalam memahami ayat tersebut sehingga Abu Bakar menegurnya. Sebuah hadis Nabi lebih cocok untuk konteks ini,
إن الناس إذا رأو الظالم فلم يأخذوا على يديه أوشك أن يعمهم الله بعقاب منه (رواه الترمذي)
Karena itu, jangan segan-segan untuk membantu orang yang ingin melakukan klarifikasi berita. Ingatlah kecepatan mulut dalam menyampaikan sebuah berita jauh lebih dahsyat daripada kecepatan telinga untuk menerima berita. Bahkan mulut seringkali mengambil alih profesi telinga sehingga seseorang mendengar berita bukan dengan telinga, melainkan dengan mulut. Dan ini jauh lebih bahaya karena lebih cepat tersebar. Mulut seringkali menganggap apa yang diucapkan adalah hal sepele, sementara telinga terkadang masih mau memilih-milih berita yang didengar. Demikianlah isyarat yang diberikan oleh Allah dalam sebuah ayat,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16)
Ayat tersebut menggambarkan betapa cepatnya sebuah berita tersebar luas di masyarakat. Saking cepatnya, seolah-olah seseorang menerima berita bukan dengan telinga, melainkan dengan mulut. Artinya, seseorang menerima berita langsung menyampaikannya kembali. Sementara jika menerima berita dengan telinga, ada proses kognisi yang berjalan secara sistematis. Sebuah berita didengar, disimpan, lalu diolah, baru kemudian disampaikan kembali.
Akhirnya, kita semua harus percaya pada sebuah kaidah,
ستر عيب الناس عن الناس نعمة كبيرة
Kita hanya bisa memohon agar tidak menjadi orang fasik yang mudah menyampaikan dan menerima berita bohong. Kita harus menjadi orang yang arif dan bijaksana dalam menerima berita. Segelah lakukan klarifikasi pada sumber yang paling otoritatif, tepat, dan akurat. Jangan pernah menyembunyikan berita akurat dari siapapun meski menyakitkan jika maslahatnya lebih besar agar tidak ada berimbas pada orang-orang yang tak berdosa yang sebenarnya tidak pernah ada sangkut pautnya dengan berita tersebut.
Ya Allah, jagalahmulut kami agar tidak mudah mendengarkan berita orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan jadikanlah telinga kami lebih waspada dalam mendengar apapunn yang tidak layak.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا